Special Chapter : Karin Zifarusni

3K 107 1
                                    

Follow Instagram-ku dong~
Ehehehehe
=> @dina.nv_

------------

Suara seseorang yang sedang menyiarkan berita dalam benda persegi panjang yang tersimpan di ruang tamu itu memenuhi seisi ruangan.

"Hujan asam yang sudah terjadi sejak tiga hari yang lalu ini tidak kunjung berhenti. Bahkan hujan ini menyebar luas hingga daerah pedalaman seperti--"

Kringggg

Sebuah ponsel yang tersimpan manis di atas sofa dekat dengan pemiliknya berbunyi nyaring. Sang pemilik ponsel itu mengambil ponselnya dan menekan sebuah tombol disana.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabnya setelah mendengar salam dari ujung telepon.

"Karin, hari ini Papa pulang larut lagi. Kamu nggak apa-apa kan cuma berdua sama Bibi di rumah?"

Karin menghembuskan napasnya. "Iya, Pa, nggak apa-apa." Toh, Karin udah biasa semenjak Papa dan Mama cerai.

"Yasudah, kunci pintu rumah rapat-rapat. Jendela juga jangan lupa dikunci, jangan sampai ada celah buat orang jahat masuk."

"Iya, Pa."

"Papa tutup teleponnya ya, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Pip.

Sambungan telepon langsung terputus begitu Karin menjauhkan ponselnya dari telinganya. Ia menyandarkan kepalanya pada punggung sofa, menatap langit-langit rumahnya yang ber-cat putih.

Karin memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali saat orang tuanya dulu masih berkumpul bersamanya di rumah ini. Perlahan air matanya turun, melewati pipi nya dan berhenti dengan menetes pada jilbabnya.

"Ma, Karin kangen," gumamnya.

Ting!

Sebuah notifikasi kembali masuk ke dalam ponselnya. Ia meraih ponselnya dan membuka notifikasi itu. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, memastikan bahwa sesuatu di layar ponselnya ini tidak salah.

Terdapat seorang laki-laki dengan wajah khas Indonesia sedang merangkul seorang perempuan dengan wajah Asia-Eropa. Wajah laki-laki itu berseri-seri.

"Ini ...," Karin menggeser-geser layar ponselnya berulang kali dengan wajah yang panik. "I-ini Devan? Dan ... perempuan lain?"

Matanya mulai berkaca-kaca.

***

Karin sedang duduk di kursi kayu panjang di bawah pohon rimbun yang menaungi dirinya. Tangannya menggenggam erat ponselnya. Pandangannya mengarah pada satu titik, dimana ada seekor kucing yang sedang memakan makanan dari tong sampah.

"Assalamualaikum."

Karin mengalihkan pandangannya. "Waalaikumsalam, Zafar."

Zafar sudah duduk di kursi kayu yang berada di seberang Karin.

"Zafar," panggil Karin parau. "K-kamu tahu Devan, kan?"

Zafar terdiam. Ia tahu bahwa itu adalah kekasih Karin yang sedang kuliah di luar negeri.

"I-iya, saya tahu," jawab Zafar sambil menundukkan kepalanya.

"Dia ...," Karin menegup salivanya. "Dia udah sama perempuan lain --tapi saya nggak tahu pastinya. S-saya ...."

Zafar langsung mengangkat kepalanya, menatap perempuan yang duduk berhadapan dengannya ini dengan tatapan tidak percaya. 'Enggak, enggak boleh,' batin Zafar.

"Ternyata gini ya rasanya," Karin tersenyum getir. "Gini rasanya ditinggalin dua orang yang kita sayang sekaligus," ia mengusap ujung matanya.

"Kemarin Mama tinggalin Karin, terus sekarang Devan juga?" air mata yang sudah memenuhi kantung mata Karin akhirnya jatuh perlahan-lahan, melewati pipinya.

"Jangan menangis," Zafar mengulurkan tangannya, namun langsung ia tarik kembali ketika ia sadar bahwa Karin bukan mahram nya.

"M-maaf," Karin terkekeh sambil terus mengusap wajahnya. "Saya nggak berniat nangis di depan Zafar, maaf, kamu jadi lihat saya yang seperti ini."

"Tidak apa," Zafar memainkan jemarinya. 'Apa aku harus bilang sekarang?'

Mereka berdua larut dalam pikiran masing-masing, hingga yang terdengar di sekitar mereka hanya obrolan-obrolan orang lain serta suara kendaraan bermotor.

"Karin, saya boleh bicara sesuatu?"

Karin menatap laki-laki di depannya itu, ia tersenyum walaupun matanya masih sembab. "Silakan."

"Um-- s-saya," jantung Zafar berdegup lebih kencang dari biasanya, napasnya pun terasa susah. "Saya suka sama Karin. Saya ingin mempersunting Karin, apakah Karin bersedia?" ucapnya dalam satu tarikan napas.

Karin menutup mulutnya tak percaya. Bahkan jantungnya pun turut berpacu lebih cepat.

"Maaf kalau saya bilang di waktu yang nggak tepat, ini pasti buat kamu bingung. Tapi perasaan saya ke kamu sudah ada sejak lama, d-dan itu sudah nggak bisa saya pendam lagi," jelas Zafar. "Jadi kamu boleh pikir-pikir dulu," ia tersenyum. "Saya bersedia menerima jawaban apa saja."

Karin masih diam membeku. Otaknya masih belum mencerna kejadian barusan. Jadi, barusan Zafar melamar dirinya?

Zafar memang laki-laki yang baik, tapi Karin belum memiliki perasaan untuk laki-laki itu. Namun, perasaan bisa datang kapan saja, kan? Itu akan tumbuh jika ada ikatan di dalamnya.

"Bissmillah," Karin menarik napasnya dalam-dalam. "Saya bersedia."

Zafar hampir saja terjengkang ke belakang jika ia tidak mengontrol dirinya tadi. "B-beneran?"

Karin mengangguk, senyumnya terlukis jelas di wajahnya. "Tapi maaf saat ini saya belum memiliki perasaan ke Zafar."

Zafar berdiri. "Enggak apa-apa, perasaan bisa tumbuh nanti. T-tapi kamu beneran terima lamaran saya tadi? Kamu serius, kan?"

"Iya, Zafar."

"Alhamdulillah," Zafar melompat kegirangan, lalu berakhir dengan menangkup wajahnya sambil melipat lututnya di atas rumput hijau. Ia menatap perempuan di depannya itu dengan wajah bahagia. "Terimakasih. Terimakasih banyak."

Karin membalas dengan senyuman lebar. "Saya juga, terimakasih banyak."

"Secepatnya saya akan ke rumah kamu dengan membawa orang tua saya," Zafar langsung berdiri.

Karin tertawa melihat tingkah Zafar yang sebelumnya belum pernah ia lihat. "Saya tunggu, Tuan Zafar."

---------------

Assalamualaikum.
Kejutan pertama🎉🎉
Ini emang gajebo sih kata aku mah ceritanya, abisnya puyeng aku teh:/

Oya, masih ada kejutan lainnya loh~ tunggu terosss yaaa

[DinaN]❤

HAPPY READING!

Aku dan Dia Ta'aruf?!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang