ADT*19 {Permintaan Maaf}

2.9K 146 0
                                    

"Bila sudah takdirnya, yang seharusnya bertemu akan bertemu, yang seharusnya terpisah akan terpisah, sejauh atau sedekat apapun jaraknya."

----------

Aku masuk ke kamar. Lalu duduk di tepi ranjang dengan sebatang coklat yang masih ditanganku. Aku melihat coklat itu. Tidak berniat membuka atau memakannya.

Kling!

Satu pesan masuk. Aku mengambil ponsel dan membuka pesan itu. Ah-- ternyata dari Fatur.

Faturahman
Buka coklatnya.

Itu kata Fatur. Akhirnya aku membuka coklat itu. Pertama, aku membuka bungkus paling luar.

Hm? Tunggu. Ada sebuah kertas?
Dengan rasa penasaran, aku membuka kertas itu.

Assalamualaikum, Bidadari.
Aku mau bilang ini sama kamu.
Maaf selama ini aku selalu buat kamu kesal atau marah-marah.
Maaf kalau aku sebagai calon suami kamu nggak sesuai dengan ekspetasi kamu.
Aku banyak kekurangan, yaa mungkin dengan kelebihan yang ada di diri kamu, aku bisa mengisi kekurangan itu.
Maaf ya, InsyaAllah aku bisa berubah menjadi lebih baik. Bantu aku agar bisa berubah. Aku juga akan bantu kamu.

Pipiku basah. Ya, aku menangis. Apa yang telah aku lakukan sampai Fatur minta maaf seperti ini? Apa aku sudah terlalu egois? Sekarang, aku harus menemui Fatur. Aku segera menghubungi Fatur.

Drttt... Drttt...

Setelah tersambung, aku langsung berbicara, "Assalamualaikum, Fatur."


"Waalaikumsalam.
Kenapa, Nis?" Tanya Fatur di seberang sana.

"Aku mau ketemu. Sekarang kamu dimana?" Tanyaku

"Aku dijalan, mau pulang ke rumah," katanya.

"Kamu putar balik sekarang, kamu pergi ke taman dekat rumah aku. Aku tunggu kamu disana."

"Ada apa?" Tanyanya, alih-alih berkata iya.

"Nggak apa-apa, aku mau ketemu aja."

"Anisa? Kamu nangis?"

Ah, aku ketahuan. Apa Fatur bisa membaca pikiranku?

"Ah-- ng-ngga kok."

"Ya udah aku putar balik sekarang."

"Aku tunggu, makasih."

"Iya, aku tutup ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku mematikan ponselku dan menaruhnya di atas ranjang. Selanjutnya aku berlari keluar rumah. Aku melewati Bunda, Ayah, dan Hana yang sedang serius menonton televisi.

"Kak!" Teriak bunda.

Aku tetap berlari. Seperti ada yang menyumbat telingaku dengan sesuatu, jadi aku berasa di buat tuli.

"Kakak, mau kemana?" Teriak bunda.

"Sudahlah, Bun. Mungkin Anisa lagi buru-buru," kata ayah.

"Tapi, Yah. Dia nggak pamit dulu sama kita. Bunda takut kenapa-kenapa."

"Kan ada Allah."

Aku terus berlari dan berlari. Aku tidak sadar bahwa aku berlari tanpa alas kaki. Kakiku sudah terasa perih karena menginjak beberapa batu yang tajam.

Aku dan Dia Ta'aruf?!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang