3. Perhatian Pertama Kali

22.1K 629 22
                                    

Dari pagi badan Wildan tak enak. Pusing dan lemes membuatnya tak berdaya. Sarapan pagi yang disediakan Mba Yanti tak disentuhnya. Wildan terkapar di sofa bed ruang kantor Ricis official. Hari baru jam delapan. Sunyi. Boim dan Ogun baru saja pulang menjelang subuh. Jae sudah dua hari izin pulang kampung karena orang tuanya sakit. Tinggallah Wildan sendirian di kantor ini.

"Aduh, pusing bet ya Allah," keluhnya.

"Mau muntah," lalu dia berlari ke kamar mandi yang berada di samping kolam renang. Wildan memuntahkan seluruh isi perutnya. Tertatih Wildan berjalan masuk kembali dan menyenderkan diri di sofa ruang tivi. Keringat bercucuran dari keningnya. Matanya terpejam. Wildan menghela pelan nafasnya mencoba menghalau rasa pusing yang masih terasa.

"Wildan, kamu kenapa? Sakit?" tiba-tiba Ricis sudah dilihatnya menunduk didepannya saat dia membuka mata karena kaget. Tak disangkanya si Bos sudah turun jam segini. Biasanya habis syuting malam Ricis akan beristirahat di kamarnya dan baru turun habis makan siang jika tak ada kerjaan diluar semisal endorsan.

"Iya,Umi, pusing, mual, barusan muntah." Keluhnya. Ricis menyentuh kening Wildan.

"Kamu demam, badanmu panas. Ke dokter yuk."

"Gak usah Umi, ntar juga sembuh sendiri."

"Jangan ngeyel deh. Yuk. Eh, bentar aku telpon Mas Anggi dulu bantu mapah kamu ke mobil." Ricis lalu mengambil handphone dan menelpon drivernya. Wildan masih bersandar di kursi. Kepalanya semakin pusing.

"Apa Mba Ricis?" Anggi sudah muncul di ruang tivi.

"Kita bawa Wildan ke dokter, lemas sekali dia. Badannya panas. Bantu papah ya."

"Mas Wildan, ayo saya papah ke mobil."

"Maaf ngerepotin, Mas." Wildan menyambut uluran tangan Anggi yang membantunya berdiri. Tubuh Wildan oleng ketika berjalan ke garasi. Sigap Ricis membantu menopang tubuhnya agar tidak tumbang. Wildan jadi tak enak hati sudah menyusahkan bosnya.

"Maaf ya,Mi merepotkan." Katanya lemas.

"Yang penting kamu cepat sampai ke dokter dan diobati, aku gak mau timku sakit." Ricis membantu Wildan masuk ke kursi penumpang dan menyusul duduk disampingnya. Mobilpun segera melaju menuju klinik terdekat. Ricis mengeluarkan minyak kayu putih dari tasnya dan mengoleskan minyak itu ke pelipis Wildan yang masih mengernyit pusing.

"Biar agak segeran kepalanya," katanya ketika Wildan membuka mata karena perhatian bos cantiknya itu.

"Makasih Umi."

"Sini geser dikit, biar dipijitin." Suruh Ricis. Wildan patuh menggeser tubuhnya mendekat ke bos.

"Putar badannya hadap jendela," perintah Ricis lagi. Wildan nurut. Lalu dirasakannya tangan Ricis yang lembut memijit-mijit tengkuknya terus ke bahu dan punggung atas. Memijat tulang bahunya hingga bunyi sendawa Wildan menghiasi sunyi deru mobil.

"Tuh, kamu masuk angin berat. Merah banget ini. Duh, kamu belum makan ya." Ricis lanjut ngomel. Wildan tersenyum lemah. Merasa lucu karena mode perhatian berubah jadi mode ngomel begitu saja.

"Gak selera Umi."

"Capek banget ya?"

"Sepertinya agak berlebih capeknya,"

"Huhum, kita memang ngejar setoran banget kerjanya sebelum liburan ke bali. Maaf ya kalau kamu jadi sakit."

Wildan menggeleng.

"Gak papa Umi, perjuangan memang perlu pengorbanan, sayanya aja mungkin yang belum bisa menyesuaikan diri dengan ritme kerja."

"Kalau kamu capek banget, ngomong aja, gak usah sungkan. Kita tim."

"Iya, kita tim, dan saya sayang sama tim ini." Kata Wildan pelan hampir tak terdengar.

"Apa Wil? Sayang apa?"

"Sayang..."

"Mba, sudah sampai nih. Langsung turun kita?" interupsi Anggi memecah percakapan Wildan dan Ricis.

"Oh dah sampai ya, oke, Mas, bantu Wildannya lagi nih."

"Siap,Mba, Yuk Wildan, turun pelan-pelan." Seperti tadi Anggi dan Ricis memapah tubuh Wildan ke dalam klinik besar itu.

Pemeriksaan segera dilakukan terhadap Wildan. Ricis selalu menemaninya.

"Gimana,Dokter?" tanya Ricis tak sabar ketika Wildan baru selesai diperiksa.

"Sepertinya gejala tipus,"

"Astaghfirulloh, trus gimana nih,Dok? Kasih pengobatan terbaik ya." Ricis cemas. Wildan memperhatikan itu semua dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan. Dari tadi rasa itu sudah menjalarinya. Perhatian Ricis membuatnya tergugah dan haru.

"Istirahat yang cukup dan saya akan kasih obat terbaik."

"Makasih,Dokter."

Sepulangnya dari rumah sakit Ricis menyuruh Mba Yanti asisten rumah tangganya untuk membuatkan Wildan bubur dan jus buah-buahan agar kondisi tubuhnya bisa kuat kembali.

"Makasih banyak atas perhatiannya ya,Mi. Kamu yang terbaik." Kata Wildan haru.

"Iya..., yang penting kamu cepat sembuh. Kita mau jalan-jalan ke Bali, masak sakit sih, gak seru. Minum obatnya ya!,"

"Pasti, saya akan sehat secepatnya,Mi.

BUkan obat saja yang membuat Wildan bersemangat sekali untuk sehat, tapi perhatian bos nya yang membuatnya bertekat, dia harus kuat dan sembuh dengan cepat.

HAi the Ricis, sudah rekomkan cerita ini belum ke teman-teman yang lain? Kalau perlu kita buat cerita penggemar Ricis lebih bnyak lagi. Vote nya diterima dengan senang hati ya....sehat selalu dan tetap semangaaat

Kekasih Hatimu (Wildan dan Ria Ricis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang