25. Pindah Rumah (?)

13.1K 337 20
                                    

"Bang, harus ya pindah rumah? Disini aja kenapa? Depok kan jauh." Untuk kesekian kalinya Ricis memastikan pendengarannya, Wildan ngajak pindah rumah.

"Kita kan sudah nikah, sebagai suami saya gak mau dibilang cuma numpang aja sama istri. Makanya saya ajak Ayang pindah kesana." Ricis menghela nafas panjang. Dia berat meninggalkan rumahnya, di sisi lain harus nurut pula kata suami. Tapi gimana ya. Ricis bingung.

"Kita kan aktifitasnya disini,Bang. Ribet bolak-balik Depok Kebagusan." Wildan memandang Ricis yang sedang memijit kepalanya. Sebenarnya Wildan gak keberatan tinggal disini, namun desakan dari keluarganya yang mengharuskan Wildan pindah ke rumah sendiri dengan dalih harga diri sebagai laki-laki. Wildan sudah beli rumah setahun yang lalu tapi belum dihuni.

"Mungkin kita ambil jalan tengah aja, Yang, kita bagi hari, misal disini tiga hari disana empat hari, atau ganti-ganti hari." Wildan menawarkan jalan tengah. Ricis nampak pasrah.

"Ya sudah, kita coba aja dulu, kalau gak efektif kita disini aja ya." Ricis masih menampakkan keberatannya walaupun sudah pasrah, mungkin bahasa lainnya pasrah tapi tak rela.

"Gak efektif gimana?" Wildan menghampiri Ricis. Dia memegang tangan istrinya yang nampak banyak pikiran.

"Gimana ya, aku tuh udah nyaman disini, tempat kerja sekaligus rumah. Membayangkan pindah-pindah rasanya ribet. Lagian kan sama aja, mau rumahku mau rumahmu, semua rumah kita."

"Ya bukan gitu. Maksudku sebagai kepala keluarga kudu nunjukin bahwa aku juga bisa tanggung jawab, walaupun tidak semewah rumah ini aku punya rumah juga, dan itu harus difungsikan." Ketegangan mengalir diantara mereka. Ricis melepaskan pegangan tangan Wildan. Dia baring menghadap dinding membelakangi suaminya. Wildan meremas rambutnya. Ini beda pendapat yang paling menyita emosi keduanya. Yang satu bertahan dengan alasan kenyamanan, yang satu karena harga diri.

"Kamu gak percaya sama aku,Cis?" tanya Wildan. Dia juga sudah berbaring dengan posisi telentang. Matanya nanar menatap langit-langit.

"Kalau gak percaya ngapain aku terima kamu." jawab Ricis menahan tangis. Menurut Ricis sekarang ini, Wildan terlalu memaksakan kehendak, tidak peduli pada kenyamanannya, dan dia kesel.

"Lalu kenapa sepertinya kamu keberatan keluar dari zona nyamanmu dan menuruti kehendak suami, percaya padanya bahwa suamimu bisa membahagiakanmu, bisa menjaminmu."

"Aku, aku belum terbiasa." akhirnya isak Ricis terdengar. Wildan menoleh. Tak tahan dia memeluk istrinya dari belakang.

"Aku sudah mengambilmu dari orang tuamu dengan perjanjian langsung dengan Allah bahwa aku akan bersikap baik sebagai suami, trust me, okey?" bisiknya sambil meninggalkan jejak basah di tengkuk Ricis. Ricis menegang menahan geli. Selanjutnya dia rasakan bibir Wildan semakin intens bergerak ke arah lehernya, menggigit, menghisap, membuat Ricis kesusahan menahan desah. Ini suaminya kenapa sih, orang lagi ribut kok malah berakhir mesra-mesraan.

"Cis, hadap sini dong. Masa membelakangi suami?" Wildan menarik Ricis agar menghadap padanya. Ogah-ogahan Ricis menuruti kata Wildan.

"Kok pake nangis?" Jemari Wildan mengusap lembut air mata istrinya.

"Sedih, kamu maksa." Ricis nangis lagi. Wildan memandang Ricis lembut.

"Abang gak maksa, cuma mau diberi kesempatan untuk menunjukkan bahwa Abang juga punya posisi yang layak dimata orang lain. Yah, walau kita tidak hidup karena komentar orang, tapi yang masih sesuai kebiasaan yang berlaku, kenapa mesti tutup mata. Misalnya ada tudingan Wildan Alamsya nikah sama Ricis nyari harta, pingin numpang beken, ntar bisanya cuma morotin istri. Kamu pikir aku gak terganggu dengan semua itu? Makanya bantu aku tunjukkan ke dunia bahwa aku juga punya karya, tidak seperti yang mereka katakan." 

"Aku gak pernah mikir kamu kaya gitu, selama ini kamu kerja, gak numpang." ternyata Ricis terusik kala suaminya dikata tidak punya karya.

"Makanya kamu kasih aku kesempatn untuk tunjukkan ke mereka bahwa aku gak seperti itu, salah satunya dengan tinggal di rumah yang aku beli." Ricis memejamkan mata, mencoba menyesapi semua hal yang dirasakannya. Akhirnya dia mantap dengan kesimpilan bahwa dia akan ikut kemana Wildan membawanya. 

Selamat weekend...Long weekend bagi saya karna dua hari libur. Bersyukur. Gimana konfliknya? Wajar gak sih Wildan berpikiran seperti itu? Atau tap apa suami menikmati saja fasilitas yang sudah dipunya istri? Koment ya...hepi riding gaeeesss

Kekasih Hatimu (Wildan dan Ria Ricis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang