64. Apapun yang Terjadi

8.1K 260 65
                                    

Kesehatan Ricis ngedrop karena cuaca semakin dingin, saljunya juga semakin tebal. Terpaksa rute honeymoon ke Eropa dan Dubai dibatalkan Wildan. Baginya kesehatan istri dan calon bayi adalah maha penting dari segalanya. Jadi setelah tiga hari di Istanbul mereka memutuskan pulang ke Indonesia.
"Udah, jangan murung gitu, lain kali kita atur lagi family tour kita." Wildan mengusap pelan pipi Ricis yang sedang menyender manja di bahunya. Oya, mereka otewe balik ke Indonesia. Wildan tak tahu sama sekali kemurungan Ricis disebabkan oleh apa. Dugaannya istrinya sedih karena tak jadi jalan-jalan sesuai planning.
'Duh, aku bingung, terus terang ke Wildan atau gimana ya?' batin Ricis selalu berperang dalam kebingungan.

Akhirnya mereka sampai Jakarta dengan selamat. Ricis segera mendapatkan pemeriksaan intensif dari dokter kandungan. Tubuhnya lemas dan wajahnya pucat.
"Seharusnya gak apa-apa nih jika saja Bu Ricis makan teratur dan rutin minum obat."
"Obatnya dimakan, Dok, makanan yang masuk payah betul. Malas makannya parah." Wildan memandang prihatin pada istrinya yang masih terbaring di kasur periksa.
"Kok malas makan,Bu? Masa ngidamnya sudah lewat, mestinya mulai enak lho makannya." kata dokter.
"Mungkin karena capek aja Bu Dok, mudah-mudahan bisa segera pulih, lagian perbedaan masakan Turki dan masakan Indonesia mempengaruhi selera makanku juga." kata ricis sembari bangkit dari tempat pemeriksaan lalu menghampiri Wildan yang menunggunya dengan sabar.
"Oke deh kalau gitu Ibu saya kasih vitamin dan penambah nafsu makan ya, mudah-mudahan segera pulih."

Sesaampainya di rumah Ricis masih tidak berselera makan dan ogah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Wildan sampai marah melihat istrinya seperti itu.
"Dek, pikirkan anak kita di dalem, kasian dia kalau Uminya gak mau makan kaya gini. Obatnya juga terbuang aja kalau kaya gini. Makan ya, Abang suapin." Wildan masih terus berusaha membujuk istri yang masih batu.
"Nanti aja, lagi gak selera." Ricis menghindar dari suapan Wildan. Untuk kesekian kali nafas capek dan jengkel bercampur putus asa terhembus dari mulut Wildan.
"Astaghfirullah, kalau gini terus kamu mending ke rumah sakit aja, setidaknya disana ada cairan infus yang masuk ke tubuhmu." lalu Wildan meninggalkan Ricis sendirian di dapur.

Sesungguhnya Ricis ingin berterus terang ke Wildan tentang kebohongan yang dia lakukan dulu, tapi dia takut melihat ekpresi kecewa di wajah lelaki yang sangat dicintainya itu. Tapi kalau tetap disimpan sendiri, rasanya Ricis beraaat sekali. Itulah yang membuatnya tak selera makan akhir-akhir ini. Belum lagi ditambah jujur pada ayah ibu dan keluarga besarnya.
"Duh, beban banget ya Allah, aku gak sanggup lagi." Ricis membaringkan kepalanya diatas meja makan.

Wildan kaget ketika memasuki dapur sepuluh menit kemudian dia melihat Ricis tertidur atau mungkin pingsan dengan kepala terkulai di atas meja.
"Yang, hei, bangun, tidur kok disini?" Wildan menepuk pelan pipi Ricis yang mulai tirus. Tapi Ricis tak bergeming. Wajah pucat Ricis membuat Wildan panik.
"Yang, jangan bilang kamu pingsan ya?Astaghfirullah." dengan panik tubuh Ricis diangkat ke mobil. Ngebut sudah lama tak dilakukan Wildan, tapi sekarang dia melakukannya. Dua nyawa sedang bahaya, dan mungkin nyawa Wildan sendiri karena berani ngebut begini.

"Gimana istri dan anak saya,Dokter?" wajah panik Wildan menyambut dokter yang baru keluar bilik UGD.
"Detak jantung bayi lemah, pengaruh dari ibunya juga yang lemah tak bertenaga." Wildan menyingkap tirai dan memandang sedih istrinya yang tangannya sudah terpasang infus. Dokter jaga ikut memperhatikan Ricis.
"Kayanya Bu Ricis ada masalah, Pak. Tadi berkali-kali dia mengigau menyebut kata restu dan maaf." Wildan memandang dokter dengan terkejut.
"Saya juga gak tahu istri saya punya masalah, kami baru pulang honeymoon, mestinya semua makin baik." Wildan seolah berkata pada diri sendiri.
"Ok, kalau gitu saya tinggal dulu, Bu Ricis dalam tahap observasi, nanti kalau sudah stabil kita pindahkan ke kamar rawat, permisi." Wildan mengangguk sembari mengikuti kepergian dokter itu dengan matanya.
"Kamu ada masalah apa,Dek? Hobi betul nyimpan masalah dari aku. Kamu gak percaya lagi ya?Apa segitu tak berdayanya aku di mata kamu sehingga menyembunyikan semuanya?" helaan nafas berat mencerminkan betapa kecewanya Wildan pada istrinya.

Dua jam kemudian Ricis sudah berada di kamar perawatan. Baru saja Wildan memasuki ruangan inap setelah sebelumnya menghubungi keluarga Ricis. Ternyata Ricis sudah sadar. Dia memandang Wildan yang berjalan mendekatinya.
"Abang, apa yang terjadi?Kok aku sudah di rumah sakit?" tanya Ricis lemah.
"Kamu pingsan di meja makan," memandang Ricis dalam. "ada masalah apa sih? Cerita dong. Katanya kalau sudah suami istri semuanya lebur, tapi kok kamu gini?" jemari Wildan meremas lembut jemari Ricis yang bebas infus. Ricis menunduk tak berani menatap kecewa di mata Wildan.
"Maaf..," setetes air mata jatuh, lalu diikuti tetes lainnya. "maaf sudah berbohong sama kamu, sama semua keluarga juga." suara Ricis parau. Kernyitan bingung terlukis di wajah lelah Wildan.
"Kamu ada salah apa sama aku dan keluarga?"
"Aku sudah berbohong," memandang Wildan sambil menguatkan tekad mengakui semuanya. "aku berbohong demi mendapatkan restu orang tua untuk menikah denganmu."
"Apa maksudmu, Yang?" Wildan semakin bingung. Memantapkan hati Ricis menceritakan semuanya.
"Astaghfirullahal'adziim, makanya pernikahan kita banyak masalah, Dek, ternyata proses awalnya sudah kaya gini." Wildan kecewa.
"Tapi semua kulakukan agar kita bisa bersama, Wildan!" Ricis ngegas karena merasa Wildan tak memihaknya. Artinya Wildan tidak sungguh-sungguh berjuang untuk menikahi Ricis, arti yang lain lagi, Wildan tak mencintai dirinya seperti besarnya rasa cinta Ricis ke Wildan. Itu persepsi Ricis saat melihat reaksi Wildan.
"Ah, entahlah! Aku bingung dengan semua ini. Kamu dan kita harus berani jujur ke orang tua, harus minta maaf ke mereka, termasuk ke Mas Riyan dan keluarganya. Ricis Ricis." Wildan meremas rambut bingung.
"Baiklah, Aku akan jujur. Harus!" kata Ricis penuh tekad. Dia siap menghadapi resiko.

Saat sore hari keluarga Ricis datang menjenguk. Syabiq tidak ikut karena percuma ikut, anak kecil tidak boleh masuk ke ruang inap rumah sakit. Ditambah lagi bocah ganteng itu masih capek karena baru saja pulang liburan.
Ayah dan ibu serta dua kakak Ricis segera saja mengerubungi ranjang.

"Gimana kabarnya, Dek? Kecapean ya di Turki?" tanya Ibu.
"Gak capek badan, tapi pikiran." Ricis memandang keluarganya. Dalam hati Ricis bertekad akan mengakui perbuatannya bertahun lalu. Bagi Ricis keluarganya sangat penting dan berharga, sangat jahat jika menyembunyikan kebohongan dari mereka.
"Kok bisa,Dek? Orang hanimun biasanya bahagia. Gak bagus rute tripnya atau biro travel Abang gak rekom pelayanannya?" tanya Mba Oki heran.
"Bagus, semua bagus, masalahnya dari Ricis sendiri. Ricis mau jujur soal sesuatu." mata Ricis memandang Wildan yang kebetulan juga sedang menatapnya.
"Ada apa toh,Dek? Kok Ibu jadi khawatir ya?"
"Iya, ada apa? Jangan banyak pikiran, kamu lagi hamil." Ayah Ricis memandang bungsunya cemas. Semuanya cemas sih. Lihat saja, seluruh atensi hanya fokus ke Ricis saja.
"Adek sudah berbohong untuk mendapatkan restu menikah dengan Wildan, tapi Wildan tak salah karena dia tak tahu sama sekali masalah ini." semua menunggu kelanjutan pengakuan Ricis dengan mulut menganga.
"Ricis....." mengalirlah cerita yang sama seperti yang diceritakan pada Wildan. Ayah dan Ibu Ricis langsung mencari kursi untuk duduk, lutut mereka lemas."
"Adeeek, kok bisa gitu? Kenapa gak terus terang dari awal bahwa kamu suka Wildan?" Mba Oki masih sulit untuk percaya.
"Adek sedang mencari saat yang tepat untuk mengakuinya ke Ayah dan Ibu serta Mba Oki dan Mba Cindi. Tapi keburu Ibu sakit dan menjodohkan Adek dengan Mas Riyan."
"Kenapa gak kamu tolak, Dek?" Ibu Ricis mengurut dahi keriputnya.
"Adek gak tega dan gak mau Ibu kecewa sama Adek, tapi akhirnya Adek malah melakukan hal yang memalukan seperti ini, maaf." Isak Ricis memenuhi kamar.
"Padahal Ibu gak nyangka juga kamu gak protes dijodohin sama Riyan."
"Adek mau jadi anak penurut, tapi ternyata Adek gak sanggup pisah dengan Wildan. Adek membohongi semuanya, maafkan Adek, Adek siap menerima hukuman dari keluarga. Untuk Bang Wildan..," mata sembab Ricis memandang lelaki yang terpekur di sisi ranjang. "Aku bersedia diceraikan begitu anak ini lahir."
"APA?!!!" kesiap kaget memenuhi ruangan.

Masih ada yang nungguin cerita ini? Saya harap semua masih nungguin ya karena hanya tersisa satu atau dua bab lagi menjelang end. Semoga saat kekasih hati mencapai ending di wattpad, di dunia nyata Wilcis couple Starting their married. Aamiin. SAH, InsyaAllah


Kekasih Hatimu (Wildan dan Ria Ricis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang