47. Go Public

10.2K 310 41
                                    

Wildan mematut tampilan diri di kaca. Kemeja Hitam beraksen daun-daun bambu dipadu dengan semi jas warna hitam dan celana kaki coklat terang. Tak lupa parfum kesukaan sejak bujangan, kesukaan istri tepatnya.
"Abi berapa lama di luar kota?" Sabiq bermanja-manja sambil memeluk kaki Wildan.
"Sore InsyaAllah Abi pulang, jagain Umi ya." senyumnya pada Syabiq yang sudah sangat lengket dengannya. Bersyukurnya Wildan sudah bisa mendapatkan hati anaknya setelah lima tahun alfa.
"Syabiq mau ikut."
"Uminya gak mau ikut, Syabiq, ntar kalau Syabiq ikut siapa yang jagain Umi?"
"Iya juga sih. Umi kenapa gak mau pergi sama Abi? Kan enak, disana banyak orang. Pasti banyak yang minta tanda tangan sama Abi kan? Syabiq juga mau diminta tanda tangannya." Wildan tersenyum melihat anaknya merajuk. Ricis belum mau tampil di depan publik. Andai saja mau, tentu sudah diajak kemana-mana. Jadwal bedah buku Wildan padat akhir-akhir ini.
"Umi lagi gak suka tampil didepan orang banyak, Syabiq. Oya, Umi mana?"
"Apa sih? Umi disini." Ricis masuk kamar. Di tangannya ada tuperware berisi bekal Wildan.
"Jangan lupa makan." pesannya pada Wildan kala memasukkan bekal itu ke dalam tas. Wildan tersenyum senang dibekali istri. Lebih senang lagi kalau istri mau ikut, tapi gimana lagi, kepercayaan diri Ricis belum sepenuhnya pulih.
"Abi berangkat ya." Wildan meraih tas dan mencium kepala Syabiq. Beriring mereka keluar kamar. Ricis memandang kagum kegantengan Wildan yang tampil makin berkharisma.
"Ngapa sih lihatnya gitu kali?" Wildan jadi salah tingkah dilihatin Ricis. Berasa masih bujangan diliatin gadis cantik. Ini kenapa dah. Pikir Wildan.
"Kamu gagah banget, awas jangan genit sama penggemar."
"Idih, kapan aku genit?"
"Ya siapa tahu, fansmu kan banyak gadis-gadis cantik." Ricis mencibir. Wildan jadi gemes. Kalau gak ada Syabiq pasti tu bibir sudah digigit.
"Yang di rumah lebih cantik kemana-mana." Akhirnya Wildan mencium pipi Ricis. Gak mau lebih di depan Syabiq yang antenanya sekelas satelit.
Mobil panitia datang menjemput. Wildan mencium Syabiq dan Ricis sekali lagi sebelum masuk mobil.
"Hati-hati di rumah, telpon kalau ada apa-apa ya." pesannya.
"Iya, kaya mau pergi lama aja. Daah, Assalamualaikum, Abi."
"Foto yang banyak ya Abi, kirim ke Syabiq." pesan Syabiq pula. Wildan mengangguk sambil tersenyum. Mobil pun berlalu.
"Umi, kita jalan-jalan yuk, bosan di rumah gak ada Abi." ajak Syabiq kala Ricis hendak menutup pagar.
"Kemana?"
"Ke supermarket yang dekat saja. Syabiq mau es krim." Ricis berfikir sebentar.
"Ya udah, Umi kunci pintu dulu."

Ricis memegang tangan Syabiq saat berjalan di trotoar jalan. Kala melewati rumah tetangganya yang kata Pak RT rumahnya Iqbal Ramadhan Ricis tak bisa menahan mata untuk mengamati rumah tersebut. Ada keinginan memencet bel untuk bertemu sang artis, tapi Wildan tidak mengizinkannya. Baginya kata suami adalah titah selama tidak melanggar aturan agama. Dia tobat, tak mau melawan suami lagi. Ricis tidak akan lupa kejadian lima tahun yang lalu.
"Mi, herdernya kok gak nyalak? Syabiq lempar batu ya,Mi?" Syabiq rupanya juga mengamati rumah bercat putih tersebut. Ricis kaget dengan ide anaknya.
"Jangaaaan. Gak baik ganggu makhluk Allah walau cuma herder, eh, apalagi herder. Galak." peringat Ricis. Syabiq tersenyum gak enak hati. Mereka lalu melanjutkan perjalanan. "Mi, kita kok jarang ya jalan-jalan begini, Umi di rumah aja. Syabiq bosan, makanya suka ke tempat Nyai." Ricis tercenung mendengar kata-kata Syabiq. Sejak balik ke Jakarta Ricis memang sangat jarang keluar. Belanja bulanan pesan online saja. Sayur-sayuran untuk dimasak Wildan yang beli ke supermarket.
"Oke, lain kali kita lebih sering jalan ya."
"Asiik." Syabiq nampak sangat gembira. Ricis merasa bersalah pada Syabiq karena sudah membuat anaknya terkurung bersamanya di rumah bermain aneka mainan kesukaan Uminya.
"Mi, ada Oom-oom di belakang kita, dari tadi jepret-jepret aja kerjanya." kata Syabiq pelan. Ricis reflek menoleh ke belakang. Benar saja, ada seorang pria yang memakai masker dan kacamata berjalan di belakang mereka. Ricis jadi takut. Dia mempercepat langkah. Bangunan supermarket sudah di depan sana. Langkah orang di belakang juga makin cepat, dan tepat ketika Ricis hendak menyebrang tangannya ditarik oleh seseorang. Ricis terpekik namun mulutnya ditutup oleh seseorang itu. Dia meronta-ronta melepaskan diri. Syabiq memukul-mukulkan tangannya yang kecil ke orang tersebut.
"Ricis, tenang, aku gak akan menyakitimu, aku hanya ingin bicara." Ricis menegang. Dia ingat suara itu.
"Antonio!?" jerit tertahan keluar dari bibirnya.
"Iya, aku Antonio."
"Lho? Ini kan Oom yang tinggal di sebelah? Om Iqbal Ramadhan kan?" Antonio terdiam mendengar celotehan Syabiq. Kemiripan wajahnya dengan sang artis memudahkannya berkamuflase menjadi artis tersebut, termasuk membohongi Pak RT kala melapor untuk tinggal di kawasan itu. Pesona senyum dan tutur katanya melenakan Pak RT sehingga lupa meminta fotocopy KTP.
"Mau apalagi kamu? Tak puas dipenjara? Atau mau masuk lagi kesana?" ancam Ricis. Antonio panik.
"Jangan laporin aku,Cis, Aku kesini cuma mau minta maaf atas prilakuku dahulu." Antonio menjauh dari tubuh Ricis. Wajahnya yang memang mirip Iqbal nampak sendu, tidak ada tanda-tanda akan berbuat hal yang menyakiti, tapi Ricis belajar dari pengalaman. Dia tak boleh termakan bujukan atau kata-kata Antonio lagi. Ricis memegang erat tangan Syabiq dan hendak pergi menjauhi Antonio, tapi lagi-lagi Antonio menahan lengannya.
"Ricis..apakah kamu betul-betul bahagia dengan lelaki itu?" tanyanya sendu.
"Kalau ada kata-kata lebih dari bahagia, saya akan pakai kata-kata tersebut. Jadi tolong ya, jangan ganggu saya lagi." kata Ricis dingin.
"Syukurlah, kalau gitu saya legah, saya ingin kamu bahagia, ternyata bahagiamu bukan dengan saya. Saya mau pamit. Saya gak akan ganggu kamu lagi, dan maaf atas perbuatan saya lima tahun yang lalu. Sudah lama saya mencarimu sejak keluar dari penjara. Saya bahkan menyewa rumah di samping rumahmu di kawasan ini. Akhirnya hari ini Tuhan menghendaki kita bertemu. Semoga saya bisa bahagia sepertimu, Ria Yunita."
"Ya, betul, Antonio, carilah bahagiamu sendiri. Kamu lelaki normal kalau kamu mau. Jangan ikuti bisikan-bisikan jahat yang menghantuimu. Pulanglah ke Batam, mendekatlah ke keluargamu, karena keluarga adalah kebahagiaan sejati kita." Antonio termenung mendengar kata-kata Ricis, sampai dia tidak menyadari Ricis sudah berlalu dari hadapannya.
"Baiklah, Ricis, aku akan coba mencari bahagiaku sendiri, dan itu bukan kamu." lalu dia melangkah pergi.

Ricis masih mengatur napas kala sampai di supermarket. Syabiq khawatir melihat Umi nya yang nampak ketakutan. Diam-diam dia menghubungi Abi dengan rekaman suara di whatsapp. Tak lama Wildan nelpon.
"Abi, Umi diganggu orang jahat." adunya. Ricis terduduk lemas di salah satu kursi kafe di samping pintu masuk.
"Kami di supermarket, Bi. Iya..Assalamualaikum." Syabiq menyimpan iphone milik Umi yang tadi dipinjamnya. Dihampirinya Umi tersayang yang nampak pucat dan gemetar.
"Om, minta air putih boleh?" tanyanya pada pemilik kafe. Si pemilik terkejut sebentar melihat kehadiran anak kecil ganteng di dapurnya.
"Untuk apa,Dek?"
"Umi saya butuh air putih, dia baru diganggu orang jahat." Syabiq menunjuk Ricis. Pemilik kafe bergegas membawa segelas air putih kesana.
"Mba Ria Ricis ya? Ini minumnya, Mba.." Ricis tersadar akan kondisinya dan memandang bingung lelaki sebaya di depannya.
"Air putih?" tanyanya bingung.
"Syabiq yang minta, Umi, minum deh biar agak baikan." Si bocah ganteng membantu Uminya minum. Pemilik kafe terpana pada pemandangan di depannya.
"Ini beneran Mba Ria Ricis sang Youtuber itu? Saya the Ricis lho,Mba, sudah lama saya tidak melihat Mba muncul di youtube, tim Ricis masih sekali sebulan. Apa kabar,Mba?" Mau gak mau Ricis menemukan dirinya kembali setelah beberapa saat tadi seolah kehilangan orientasi.
"Iya, saya Ria Ricis, makasih ya sudah mendukung saya dulu."
"Mba, sampai sekarang The Ricis masih menunggu kemunculan Mba Ricis, apalagi kabar Mba sudah kembali ke Jakarta tersebar luas di akun fansbase, kami semua nunggu, Mba.." Ricis terharu. Ternyata dia belum dilupakan penggemarnya. Ricis berprasangka para penggemarnya dulu telah melupakannya sejak dia menghilang selama lima tahun.
"Makasih sudah mendukung saya. InsyaAllah saya lebih kuat jika kalian The Ricis selalu mendukung." Ricis tersenyum.
"Pasti, Mba, kami tunggu Mba Ricis comeback ke dunia Youtube." harapnya.
"Doakan aja ya." si penggemar tersenyum bahagia.
"Abiiii, kami disini." Suara Syabiq memanggil Wildan mengalih perhatian Ricis. Dia melihat suaminya itu tergesa menghampiri dengan wajah sangat khawatir, sama pucatnya dengan dirinya tadi.
"Sayang, kamu gak kenapa-napa kan?" Wildan langsung memeluk Ricis dengan protektif. "Alhamdulillah, sudah agak tenang. Antonio mencegat kami di jalan. Ternyata yang di sebelah rumah bukan Iqbal ramadhan, tapi dia." Adu Ricis.
"Astaghfirulloh, apalagi yang dimaui jahannam itu?" Wildan tak bisa menahan emosi. Dia tak suka ada orang yang mengganggu keluarganya, mengganggu istrinya.
"Katanya dia mau pamit."
"Jadi yang tinggal di sebelah benar Antonio seperti dugaanmu semula?" Wildan memastikan. Ricis mengangguk.
"Kenapa Pak RT bisa kecolongan gitu? Kita lapor polisi aja ya."
"Gak usah, Bi, tadi dia cuma mencegat Ricis dan minta maaf. Mudah -mudahan dia beneran sudah sadar."
"Tapi tetap harus dilaporin Pak RT." Wildan masih kesal. Ricis mengelus lengannya agar tenang.
"Lah, acara Abi gimana? Kok balik lagi?" Ricis baru tersadar.
"Terpaksa ditunda, jadi pembicara terakhir saja. Aku lebih mengutamakan kalian." Dia mencium kepala Ricis.
"Kami ikut acara Abi boleh?" pinta Syabiq. Wildan memandang Ricis minta persetujuan istrinya.
"Kasian penggemar Abi udah nunggu, Ayo kita kesana." respon Ricis.
"Kamu mau ikut? Alhamdulillah." Wildan lega sekali pergi acara didampingi istri.
"Iya, tapi gak papa pakai baju gini?" Ricis melihat baju yang dia pakai. Setelan gamis hitam dan jilbab corak dominasi pink.
"Cantik kok, yuk berangkat. Kita masih punya waktu."
"Makasih ya, Mas air putihnya. Kami harus pamit dulu, ada acara." pamit Ricis pada pemilik kafe yang dijawab dengan senyum sumringah. Siapapun bahagia melihat kebahagiaan keluarga youtuber itu.

Wildan menghubungi panitia acara yang sangat bersyukur acara bedah buku bisa dilaksanakan sesuai rencana. Mobil panitia yang masih menunggu di depan supermarket memudahkan Wildan untuk secepatnya ke lokasi acara.

"Abi, nanti Syabiq duduk samping Abi boleh?" tanya Syabiq saat mobil sudah melaju.
"Syabiq mau duduk samping Abi? Kenapa?" tanya Wildan sambil mengelus kepala Syabiq yang bersender padanya. Mereka duduk bertiga di kursi penumpang.
"Syabiq mau diundang acara-acara juga kaya Abi."
"Bisaaa, tapi Syabiq punya karya dulu, nulis buku umpamanya." Ricis menimpali.
"Nanti Syabiq nulis buku tentang capung dan teman-teman." Syabiq menghayal, matanya menerawang menembus atap mobil. Ricis dan Wildan jadi gemes melihatnya. Kompak mereka mencium Syabiq di pipi kiri dan pipi kanan.
"Wajahnya Wildan Alamsya, narsisnya Ria Yunita." seloroh Wildan.
"Semoga soleh kaya Abi juga ya, Bi..." ujar Ricis sambil melirik Wildan manja.
"Aamiin.." senyum bahagia menghiasi bibir keduanya.

Sepanjang perjalanan Ricis disibukkan menjawab tanya Syabiq tentang apa saja yang menarik perhatiannya, sementara Wildan ingin menuntaskan satu urusan. Dia ingin memastikan Antonio tidak tinggal di sebelah rumahnya lagi.

Pekanbaru hujan seharian gaes, dingin..jadi mikirnya kamu semua juga dingin, aku angetin deh. Semoga suka,jadi teman ngopi menjelang maghrib ini. Salam bahagia. Bahagiain aku juga ya dengan vote dan komen yang banyaaaaak...see you next part.

Kekasih Hatimu (Wildan dan Ria Ricis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang