17. Only You Forever

11.8K 275 30
                                    

Dengerin dulu mulmednya.
Warning (17+)
Sory typo everywhere

Acara pertunangan Ricis berlangsung mewah dan lancar. Cincin rumput ilalang versi emas itu melingkar pas di jari manisnya. Ricis sempat terperangah kala calon suami melingkarkan cincin itu. Kelebatan kenangan saat mendaki dengan Wildan hadir begitu saja. Khususnya momen saat editor yang membuatnya jatuh hati itu mencabut bunga liar dan membuatnya menjadi cincin. Dengan konyolnya Wildan bersimpuh di rerumputan sembari meraih jemarinya dan berkata : "will you marry me soon?" Sontak saja cuitan dari tim Ricis dan rombongan lainnya membahana di tengah rerumputan ilalang itu. Walau hanya candaan Ricis sangat terkesan. Saat itu belum ada saling ungkap perasaan diantara mereka. Jadi Ricis pikir Wildan hanya membuat lawakan agar suasana jadi seru.
"Alhamdulillah pas cincinnya. Pandai kamu nyari cincin untuk Ricis, Yan. Kami sangka kamu bisanya megang racikan obat saja." Riyan tersenyum simpul mendengar candaan keluarganya. Yap, dia memang sekaku itu pada dunia diluar pekerjaannya. Dia ahli farmasi yang genius. Dapat beasiswa berkali-kali kuliah keluar negeri. Sekarang dia jadi staf ahli di perusahaan farmasi terkenal berskala internasional.
"Ricis senyum dong, nanti jelek dilihat, dibikin film lho iki. Tuh kameramen susah payah ngambil gambar sampai jongkok segala." Ricis mengangguk memandang ibunya dan mencoba tersenyum ke kamera.
"Perlihatkan cincinnya biar fansmu tau kalau kamu udah gak jomblo lagi." kali ini giliran kakak Ricis nomor dua yang ngasih pengarahan. Ricis patuh mengangkat cincin bunga ilalang versi emas itu ke arah kamera. Wildan yang jadi juru kameranya tersenyum samar kala melihat cincin itu pas di jari manis Ricis. Ricis tersenyum ke kamera dengan senyum manis dan cantik bahkan malam ini jauh lebih cantik. Wildan mengaguminya lewat lensa. Salahkan pekerjaannya yang tak memungkinkannya untuk menghindar dari situasi menyakitkan seperti ini. Ternyata hatinya tidak bisa disetel seperti inginnya. Dia masih saja mengagumi gadis itu.

Sepanjang acara Ricis tak melepas tatap dari Wildan. Sedangkan Wildan sangat serius dengan kerjanya. Ricis menyadari Wildan mencoba profesional. Jadi Ricis juga mau profesional. Dia sekarang sudah sah jadi calon istri orang. Kata kakaknya yang pertama, Mba Oki, Ricis harus bertanggung jawab terhadap pernikahannya nanti dan prosesnya dimulai dari sekarang.
----------------------
"Umi, untuk menyemarakkan hari kemerdekaan kami berencana naik gunung dan upacara bendera disana. Boleh kan, Mi?" izin Rio sembari duduk di sofa depan Ricis. Gadis yang baru sebulan bertunangan itu menoleh dengan dahi mengernyit.
"Kalian mau mendaki tanpa aku?" Aries, Wildan dan Ela ikut gabung lesehan di karpet.
"Maaf, Umi, kami bukannya gak mau ngajak tapi kurang dua minggu lagi umi nikah. Gak baik pergi-pergi jauh, apalagi ke gunung." Aries mengemukakan alasan tidak mengajak Ricis.
"Ah, itu hanya mitos, bismillah aja. Lagian aku perlu refresing, sudah lama kita gak pergi sama-sama."
"Izin dulu sama Ibu ayah," kata Wildan.
"Sama calon suami juga." sambung Rio.
"Gak bakal diizinin, jadi kita langsung pergi aja. " Ricis keras kepala. Wildan gemas.
"Gak boleh gitu." ujarnya. Ricis cuek saja.
"Yuk siap-siapkan peralatan tempur. Jangan takut, nanti yang kena marah bukan kalian tapi aku."
Akhirnya tim Ricis pasrah dengan keputusan bos mereka. Siapa sih yang berani nentang?

Keesokan subuh mereka berangkat. Sore sudah sampai di lokasi. Rupanya para pendaki yang mau merayakan kemerdekaan di puncak gunung ramai. Beruntung Mba Riri manajer mereka berhasil mendapatkan villa sewaan yang bagus dan tak jauh dari jalur pendakian.
Lewat tengah malam waktu biasa para pendaki memulai pendakian. Udara dingin menusuk tulang. Cahaya bulan purnama menerangi jalan setapak yang mereka lalui.
"Sini saya bawa botol minumnya, Mi. " Wildan menjajari langkah Ricis yang dengan konyolnya menggendong botol air isi dua liter. Ricis terkejut sejenak mengetahui Wildan berjalan di sampingnya. Diapun menyerahkan botol itu.
"Makasih." Wildan mengangguk dan memasukkan botol dalam tas ransel.
"Hati-hati." peringatnya saat Ricis tersandung tumbuhan semak yang menjalar. Semakin ke atas jalur semakin sempit, Wildan senantiasa menempatkan diri di belakang Ricis, mengamati pergerakan gadis itu tanpa suara. Keinginan melindunginya begitu kuat.

Menjelang subuh para pendaki berhasil mencapai puncak. Kala subuh datang Wildan dan tim serta pendaki yang lain sholat subuh dengan syahdu di tengah desau angin.

Sekitar jam 9 pagi matahari mulai terik. Para pendaki memulai acara peringatan HUT RI dengan khidmat. Bendera berkibar perkasa di tiang kayu yang tumbuh di puncak. Tapi cahaya matahari tiba-tiba meredup. Salah seorang pendaki berpengalaman memperingatkan kemungkinan bakal ada badai. Semua pendaki tergesa membereskan tenda dan perlengkapan masing-masing.
"Buruan, badai dah mulai datang!" entah suara siapa. Yang jelas setelahnya rombongan pendaki berlarian menuruni gunung. Wildan mencari Ricis yang entah dimana. Dia balik lagi ke atas memastikan gadis itu sudah ikut turun dengan yang lain. Tapi dia panik melihat seseorang yang sedang mencari sesuatu di sela semak rerumputan.
"Ricis! Apa yang kamu lakukan disini? Ayo turun. Badai akan datang!" teriaknya disela gemuru angin. Ricis terkejut melihat masih ada manusia yang tertinggal selain dirinya, dan itu Wildan.
"Cincin, aku mencari cincin. Cincin tunanganku hilang!" Ricis masih saja ngotot menyibak semak dengan panik. Wildan segera menyambar tangannya dan berlari menarik Ricis dari puncak.
Ricis masih protes dengan berteriak cincinku sembari masih menoleh ke belakang dan ingin balik kesana.
"Nanti saya beli yang baru, sekarang kita harus turun secepatnya. Bahaya!" Wildan terus menuntun Ricis hati-hati menuruni jalur licin. Teman-teman sudah tak terlihat lagi. Ricis mengernyit mendengar kata-kata Wildan barusan. Tapi tak ada waktu untuk bertanya.

Setengah jam mereka sampai di pos dua. Para pendaki rupanya menunggu disana. Wajah mereka khawatir terutama tim Ricis. Ela bahkan langsung memeluk Ricis.
"Umi kok tadi gak ikut lari? Maaf Ela takut dan tidak menemani Umi. " Ricis menepuk punggung Ela. "Gak apa-apa, saya harus nyari sesuatu tadi. C.."
"Umi, kita harus segera turun lagi, deru badai semakin dekat. " Wildan sengaja memotong percakapan Ricis. Dia tak mau semua mengetahui gadis itu kehilangan cincin tunangannya.
"Ayo semua, turun cepat tapi tetap hati-hati!" perintah Mas Bagus selaku pimpinan rombongan entah sejak kapan. Merekapun kembali menuruni gunung dengan cepat sementara gemuruh mengejar di belakang mereka. Wildan menggenggam tangan Ricis sepanjang jalan. Dia ingin memastikan gadis itu selamat.

Akhirnya mereka berhasil mencapai kaki gunung. Anehnya suara gemuruh itu hilang sama sekali. Berganti kesunyian khas pegunungan. Suara kicau burung menyambut matahari yang berhasil menyembul dari lingkupan awan hitam. Mereka semua menyadari suatu keanehan telah terjadi tapi memilih tidak membicarakannya. Tahu sama tahu saja.

Hari sudah sore, Ricis dan tim mengistirahatkan badan yang letih di kamar masing-masing. Wildan keluar kamar bersamaan dengan Ricis yang masih gelisah. Wildan mengerti apa sebabnya, makanya dia memutuskan untuk pergi membeli cincin itu lagi.
"Umi, saya izin mau keluar." Ricis memperhatikan Wildan yang sudah rapi bersih plus..ehem, ganteng seperti biasa. "Mau kemana, apa gak sebaiknya istirahat dulu? Kan capek." Wildan menggaruk belakang telinga tanda salah tingka atas perhatian mantan kekasihnya itu.
"Saya ada janji dengan teman. InsyaAllah malam balik.
Ricis ingin bertanya lagi tapi segan. Akhirnya dia mengangguk mengizinkan. Wildan tersenyum dan segera menaiki mobil sewaan yang mereka sewa selama kegiatan disini.

Waktu Isya sudah lama berlalu Malam semakin larut. Ela yang terakhir menemani Ricis duduk di ruang tamu. Semua timnya dilanda kantuk berat karna badan yang lelah luar biasa sehingga mereka pamit tidur duluan. Ricis tak bisa tidur. Perasaannya gelisah karna cincin hilang dan alasan sebenarnya yang lebih besar Wildan belum pulang. Takut kenapa-napa atau melakukan apa-apa.

Kegelisahan Ricis hilang kala mendengar deru mobil. Dia segera membuka pintu.
"Lho, Umi kok belum tidur?" Wildan kaget. Ricis memberi jalan masuk bagi Wildan. Setelah mengunci pintu Wildan mengikuti Ricis yang duduk di ruang tamu. Dia membuka jaket kulit tebal menyisakan kaos putih lengan pendek.
"Kamu kok baru pulang jam segini? Aku gak bisa tidur, takut kenapa-napa." Wildan terharu dan tersanjung Ricis mengkhawatirkannya. Dia tersenyum dan mendekati Ricis.
"Saya tadi nyari ini, muter-muter. Alhamdulillah ketemu.
"Coba mana jarimu? Pas gak?" Wildan duduk di karpet tebal sedang Ricis di sofa. Dia meraih jemari Ricis dan menyematkan cincin bermata rumput ilalang yang sama persis demgan cincin yang hilang. Dan cincin itu melingkar pas dijari manis Ricis. Gadis itu tak percaya Wildan melakukan ini padanya.
"Kamu kembali ke puncak gunung sendirian? Nyari cincin ini? " tanyanya takjub. Wildan kaget Ricis berfikir sampai kesitu. Jelas gak dong. Dia dari kota dan menuju toko perhiasan yang dulu dia singgahi. Tapi kalau dia ngaku beli cincin ini di kota ketahuan dong suami Ricis ngasih cincin tunangan biasa saja. Jadi Wildan mengangguk membenarkan asumsi Ricis. Keharuan hadir di mata Ricis. Gadis cantik itu turun dari sofa dan duduk memeluk Wildan yang memang sedang duduk di karpet. Wildan terkesima. Diapun membalas pelukan Ricis ragu. "Wildan.." Ricis tak dapat berkata-kata. Wajah mereka kini sangat dekat. Hanya sinar bulan dan bintang yang menerangi ruang tamu lewat tirai jendela yang tersingkap.

Kekasih Hatimu (Wildan dan Ria Ricis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang