59. We Must Talk About Money

8.5K 266 29
                                    

Syabiq sekolah di tempat elit, paling elit malah untuk ukuran di Depok. Ibu-ibu sosialita bertabur disana. Lihat deh di pojok kelas, sekelompok ibu-ibu sedang asik ngobrol sambil tangan diangkat-angkat menampakkan susunan gelang puluhan gram yang membuat mata silau. Hari ini pembagian raport kelulusan dari sekolah taman kanak-kanak. Kebayang dong gimana ibu-ibu kalau sudah ngumpul.
Ricis ikut ngobrol dengan para ibu-ibu. Kehebohan mereka membangkitkan keceriwisan Ricis yang sudah lama tak tersalurkan. Gimana ya? Ngumpul sama temen-temen dia gak punya teman, lagian dia gak suka nongkrong lagi sejak beberapa tahun lalu. Ngumpul sama tim sudah sangat jarang karena memang mereka sekarang sudah jalan sendiri-sendiri. Tapi karena merasa sudah sangat dekat, mereka tetap merasa satu tim. Jadi otomatis keceriwisan Ricis disalurkan ke Wildan sang suami. Hasilnya apa? Si babeh suka menginterupsi keceriwisan Ricis dengan  bibirnya. Duh, dasar Babeh! Kalau sama Syabiq beda lagi, Ricis ceriwisnya level 3, dianya mah level 5. Kalah debat mulu Ricis sama anaknya.
“Liburan kemana, Jeng?” tanya salah seorang mama muda ke Ricis.
“Belum direncanakan, Jeng, hamil muda gini susah perjalanan jauh.”
“Bisa aja sih, pakai fasilitas VIP beres itu. Mau senyaman apa bisa. Biro trevel suamiku punya fasilitas itu.” Lah, si Ibu rupanya sedang memasarkan jualan suami. Ricis tersenyum saja menimpali. Mama or Momi yang lain pada tertarik. Mereka berlomba ingin tahu jasa traveling yang dikelolah suami si ibu muda tadi.
“Jeng, trip to hongkong berapa? Bisa diskon lah ya?”
“Iya, Jeng, trip to New york? Atau Dubai? Kepo juga dong.” Seru mama yang berbadan agak subur. Akhirnya si Ibu-ibu or mama-mama muda sibuk menceritakan keunggulan masing-masing tempat destinasi. Ricis dalam hati bersyukur semasa gadis dia sudah mengunjungi banyak tempat wisata di seluruh dunia. Tapi jujur Ricis ingin mengulang berlibur ke tempat-tempat romantis tersebut bersama suami dan anak. Baiklah, dia akan membicarakan hal ini dengan Wildan.
Ricis menelpon Wildan karena acara Syabiq sudah selesai.  Suaminya itu tadi pagi gak bisa ikut mendampingi karena kantornya sedang sibuk desain baru.
“Udah selesai, Yang?” sapa Wildan kala panggilan terhubung.
“Udah, kamu jemput atau gimana?”
“Oke, tunggu ya, love you.” Wildan menutup panggilan. Ricis selalu masih berdesir setiap Wildan say I Love you padanya.
“Nunggu suami, Jeng Ricis? Coba suami ngizinin bawa mobil sendiri ya, gak bakal nunggu-nunggu kaya gini. Capek lho. Bilang aja sama suami jangan terlalu protektif lah, kita-kita perempuan muda ini butuh waktu juga bersenang-senang, ngecengin brondong sesekali kan lumayan.” Cerosos seorang mama muda yang terkenal paling heboh. Ricis tertawa saja menanggapi si Ibu.
“Hati-hati Mom Erika, ketahuan suami ngecengin brondong bisa gak cair uang jajan sebulan.” Sela seorang Ibu yang berdiri di samping Ricis.
“Gak bakal tahu, Jeng, dia sibuk kerja, malah senang dia mah kalau kita gak ngerecokin.” Ricis geleng-geleng kepala mendengar obrolan mereka. Tak lama sebuah mobil sedan bermerk berhenti di samping Ricis, mobil Wildan. Wildan keluar menghampiri istri tercinta dan anak kesayangan. Sontak mama-mama yang ada disitu silau dengan kehadirannya.
“Ada brondong, Jeeeng!” seru Bu Erika. Yes, Wildan memang masih seganteng itu. Belum terlihat bahwa dia sudah mau punya dua anak. Itulah untungnya menikah muda.
“Mari Ibu-ibu, suami saya sudah jemput, duluan yaaa.” Ricis melambai ke teman-teman wali murid sekolah Syabiq yang masih banyak bergerombol ngerumpi ria ala sosialita, dan Wildan masuk dalam topik rumpi mereka. Gak rela dong si Enyak. Wildan tersenyum ke arah Ibu-ibu sembari menggandeng mesra tangan Ricis dan Syabiq menuju mobil mereka.
“Gimana mau ngecengin brondong, aku udah punya satu di rumah.” Ricis tertawa. Wildan heran karena tak mengerti keadaan.

“Ada apa sih, Yang? Senyum-senyum sendiri?”
“Gak ada.” Jawab Ricis masih sambil menahan senyum. Wildan juga ikut tersenyum walau gak tahu apa yang disenyumin. Lihat senyum istri dengan mata tertutup itu membuatnya senang sekali.
“Abi, tadi Umi dan teman-teman ngomongin brondong, apaan tu, Bi?” tanya Syabiq dari kursi belakang. Ricis akhirnya tergelak. Anaknya itu punya tingkat kepo yang luar biasa, antenanya juga tinggi sekelas satelit, bisa menyerap obrolan absurd sekalipun.
“Brondong? Brondong jagung apa brondong manis?” Wildan ikut tertawa karena sudah paham apa yang membuat Ricis senyum dari tadi.
“Brondong jagung, brondong manis sudah ada di rumah.”
“Gak enak pasti, enakan brondong manis kan?” Wildan melirik Ricis.
“Gak usah genit, nyetir aja yang bener.”
“Siap Nyonya.” Wildan kembali fokus nyetir tapi bibirnya masih tersenyum. Diomongin ibu-ibu, gadis-gadis abege dimanapun dia muncul adalah ujian tersendiri untuk Wildan. Walau dia yakin hatinya tak akan berpaling dari Ricis, tapi perhatian yang diterimanya kadang membuatnya baper juga.
“Abi, Umi, brondong tu apaan daaaah?” Syabiq bertanya gak sabar. Dia berdiri diantara dua kursi Abi dan Uminya.
“Itu lho, Sya, kamu pernah makan rebus jagung? Yang kamu makan itu jagungnya, yang dibuang itu brondongnya.” Jawab Ricis bercanda. Syabiq mencibir.
“Itu bonggol jagung Umiiiii.” teriaknya gemes.
“Hahaha, maaf Umi becanda, masih mau tau gak?”
“Ogah!” Syabiq merajuk. Dia memakai earphone biru yang dihubungkan ke iphone miliknya. Tenang, itu iphone gak ada paket internetnya, jadi Syabiq gak bakal macam-macam kok.
“Tuh, anak bujang merajuk, tanggung jawab.” Wildan melirik Ricis yang masih tersenyum. Kok dua lelaki di hidupnya ini makin lucu ya kalau merajuk?
“Iya deh, nanti sampai di rumah Umi bujuk.” jawab Ricis sembari melihat Syabiq di belakang. Yang dilirik pura-pura gak peduli. Ulu-ulu….

Malam ini Ricis gak bisa tidur. Pikirannya terbang ke berbagai Negara dan tempat wisata yang pernah dijelajahinya dulu. Sekarang musim libur, kandungannya juga sudah lewat trimester pertama, rasanya Ricis ingin jalan-jalan. Lampu kamar tiba-tiba nyala. Wildan rupanya menyadari istrinya belum tidur, diapun bangun dan duduk menghadap Ricis.
“Kenapa gak tidur? Ada yang sakit?” dibelainya surai panjang istri yang lepas dari ikatan.
“Gak ada yang sakit, Cuma ada yang lagi dipikirkan aja.” Jawab Ricis malas-malasan.
“Apa sih? Jangan mikir sendiri, capek.”
“Mm, aku mau jalan-jalan, liburan ke Eropa atau keliling dunia, kaya artis itu lho, Bi.” Ricis menatap Wildan. Yang ditatap langsung terdiam. Dia sadar belum pernah mengajak istri dan anaknya berlibur. Jangankan ke luar negeri, ke dalam negeri aja belum. Wildan merasa bersalah. Tapi gimana ya? Dia sedang melebarkan usaha. Tabungannya terfokus kesana, belum ada budget untuk jalan-jalan.
“Maaf ya, Yang, Abang belum punya anggaran untuk hal seperti itu, tabungan sedang terpakai untuk perluasan usaha.” Wildan memandang Ricis dengan rasa bersalah.
“Aku kan punya uang, pakai itu aja kenapa?” Ricis balik memandang Wildan minta persetujuan. Selama ini Wildan tak pernah mau memakai uang yang dia punya untuk usaha. Laki-laki dua puluh lima tahun itu ingin berjuang dengan keringat sendiri, bukan dimodalin istri, walau dia tahu Ricis punya simpanan yang tak sedikit.
“Jangan, Dek, itu kewajiban suami untuk menyenangkan istri dan anak, tapi sabar ya, mudah-mudahan tahun depan kita sudah punya tabungan yang cukup untuk jalan-jalan.” Tuh, kan? Ricis gak tahu mau ngomong apa lagi. Apakah dia harus memaksa? Ntar ujungnya berantem, Ricis gak suka. Tapi keinginan jalan-jalan sudah di ubun-ubun. Apakah ini ngidam juga?
“Bang, aku ikhlas kok pakai tabunganku untuk jalan-jalan. Kan uangku uangmu juga, gak usah dibeda-bedakan gitu.” Ricis berusaha merubah cara pandang wildan. Wildan diam tak mau dibantah. Akhirnya Ricis berbaring, tepatnya pura-pura tidur, tak mau lagi berdebt dengan Wildan. Dia sedih Wildan tak menerima usulannya.

To be continiu ya...part 2 nyusul. Baca ini aja duluuuu

Kekasih Hatimu (Wildan dan Ria Ricis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang