#Part 31 Akad

12.8K 1K 120
                                    

Pada dasarnya keajaiban yang kita harapkan terjadi, tak akan terjadi jika Allah telah menetapkan semuanya

°•°•°•°•

Sebulan kemudian

Pernikahan adalah acara sakral yang selalu ditunggu dengan debaran. Apalagi pernikahan dengan seseorang yang dicinta. Gairah semangatnya malah memuncak lebih tinggi.

Jumat pagi, seorang pria yang sudah bergelar Dokter itu menatap dirinya di cermin. Dengan baju pernikahan berwarna putih keemasan di padu peci putih, belum lagi wajah yang kini begitu memancarkan kebahagiaan itu kini menjadikannya berkali-kali lebih tampan.

Nizam tersenyum menatap dirinya, ada ketegangan di sana. Sejenak, dia melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul tujuh. Dia telah siap, baik fisik maupun mental. Jauh-jauh hari Nizam sudah menyiapkan bacaannya juga agar kelak pernikahannya berjalan lancar tanpa pengulangan.

Tok tok tok

Assalamualaikum? Kak mobil udah siap.”

Nizam menoleh, menatap pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Iya, Dek,” sahutnya. Setelah menatap kembali penampilannya pagi ini, Nizam berjalan mantap dan membuka pintu dengan senyum lebar.

“Senang banget yang mau nikah.” Zahra mencibir.

“Iya dong. Pernikahan itu acara sakral dan ditunggu-tunggu.”

Zahra terdiam sejenak. Sakral dan ditunggu-tunggu. Bagaimana dengan kak Aila yang menunggu pernikahannya dengan sang kakak delapan tahun tapi batal? Jujur, Zahra lebih mau Aila menjadi kakak iparnya, tapi dia tahu  keputusan Aila memang sudah benar. Zahra berharap semoga kak Aila memang menemui jodoh yang baik dan mencintainya dan Zahra sangat meminta pada Allah agar sang kakak- Nizam, lupa ingatan selamanya.

Zahra tersenyum miris. Hati perempuan mudah rapuh jika menyangkut perihal cinta. Satu yang Zahra syukuri, Aila tidak di sini. Setidaknya kak Aila tidak melihat pernikahan ini.

“Dek?”

Zahra mengerjap begitu tepukan pelan mendarat di bahunya. Gadis itu mendongak, menatap Nizam yang menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

“Iya?”

“Kok ngelamun?”

“Gak kok, Kak. Ya udah yuk ke bawah. Semuanya udah nunggu.”

Nizam mengangguk. Lalu keduanya berjalan ke bawah dengan Nizam yang tak hentinya tersenyum sedang Zahra yang setengah melamun setengah sadar. Gadis itu masih tampak tak rela kakak kandungnya akan bersanding dengan yang lain.

Kak Aisyah memang baik dan ramah, lembut dan penuh perhatian. Tapi tetap saja ... Zahra menghela nafas. Di liriknya sang kakak sejenak, Kak Nizam apa nggak kepikiran kak Aila sama sekali ya?

Sedetik kemudian, Zahra mengeleng pelan. “Udahlah Zahra, Qadarullah.”

“Wes, pak Dokter ganteng banget hari ini.”

Langkah keduanya berhenti ketika Raihan yang tiba-tiba datang. Raihan dengan kemeja putih dan celana hitam dasar kini tersenyum menggoda menatap sang sahabat yang sebentar lagi akan mengucap akad.

“Wow Rai.”

Barakallah Bro.”

Raihan tersenyum tulus, memeluk Nizam ala laki-laki. Nizam tertawa kecil.

“Belum.”

“Nggak masalah. Yang penting gue duluan ngucapin.” Raihan terkekeh.

“Gimana, Zam? Tegang.”

Wa'alaikumusalam Aila ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang