Pada dasarnya, karena ketulusan dalam mencintailah membuat seseorang memilih bertahan sekalipun luka itu begitu dalam
°•°•°•°•°
Usai sholat subuh, Aila langsung meleset ke bawah untuk membuat sarapan. Ketika sibuk berkutat dengan bahan dapurnya, umi datang disusul bunda. Jadilah ketiganya masak bersama di dapur. Mereka terlibat obrolan seru. Bunda dan umi yang sebelumnya tidak terlalu dekat kian menjadi akrab dan setidaknya Aila tidak canggung seperti semalam.
“Sini, Mi biar Aila aja.” Aila mengambil alih piring yang dibawa umi. Membawanya ke meja makan dan menyusunnya. Lalu, setengah jam kemudian kembali pulang balik menata makanan bersama umi dan bunda.
“Nah, Ayah belum turun. Bunda panggil dulu. Aisyah saya izin dulu. Panggil juga ya kak Ahmadnya.”
“Silakan Ariana.”
“Aila, panggil Kak Adra, Nak.”
Aila melirik jam. Mengangguk. Ali, Adra, Kyai dan ustdaz Rifqi tadi pergi sholat ke mesjid dan sudah balik ketika mereka tengah memasak tadi. Segera ia izin pada Umi untuk ke atas, umi pun ternyata juga mengajak kyai.
Dari sofa ruang tamu atas terdengar suara lantunan Al-Qur’an. Bisa Aila tebak itu ustadz Rifqi, karena Adra lebih memilih mengaji di dalam kamar daripada di luar. Ia kembali melanjutkan langkahnya, mengetuk pintuk kamar Adra.
“Sarapan udah siap, Kak.”
Adra mengangguk, mengambil tas kerjanya lalu menutup pintu.
“Tolong panggil ustadz juga, Kak. Lagi ngaji di sofa.”
Sebelah alis Adra terangkat. “Ustdaz?”
“Iya ustadz Rifqi.”
“Kenapa dipanggil ustadz, Dek?”
“Soalnya juga ustadz di pensantren Aila.”
Adra mengangguk mengerti. “Jadi lo udah kenal sama Rifqi?”
“Aila cuman tahu beliau ustadz sekaligus anak Kyai. Aila tunggu di bawah. Jangan lama.” Aila memilih meninggalkan Adra sebelum banyak pertanyaan yang akan menghujaninya. Adra mengangguk, memanggil Rifqi lalu mereka turun ke bawah.
Pagi itu meja makan ramai. Mereka makan dalam diam hingga selesai. Ali dan Adra berangkat kerja. Kini tinggalah keluarga kyai dan dia berserta sang bunda. Setelah membersihkan sarapan pagi dan mencuci piring, Aila pamit ke dalam kamarnya. Umi juga balik ke kamar menyusul kyai untuk menyusun barang mereka. Mereka akan pulang pagi ini. Ali dan Ariana mencoba menahan sampai siang, tapi mereka menolak karena pensantren tidak bisa ditinggal lama.
Aila berjalan ke kamarnya, begitu membuka pintu, Rifqi yang baru keluar dari kamar Adra memanggil. Kepalanya menoleh. Rifqi berjalan mendekat. Lalu menyerahkan sebuah kertas padanya. “Ini nomor saya, jika sudah ada jawaban hubungi nomor itu.
Jawaban. Itu kembali membuatnya perang batin. Aila mengangguk. Memilih masuk kamar dan mengunci pintu. Dibalik pintu ia menatap lama nomor itu. Bahkan antara menerima atau tidak. Itu masih abu-abu.
***
Setelah melepas kepergian kyai dan keluarga. Aila juga pamit pada Ariana untuk berjalan-jalan keliling. Hanya untuk melepas rindu. Dia diizinkan asalkan bersama sopir. Aila setuju. Kini dia meminta pak Aron untuk mengantarnya ke kafe dekat sekolah lamanya. Kafe langganan dia dan sahabat lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wa'alaikumusalam Aila ✓
Spirituale[SAKUEL ASSALAMUALAIKUM NIZAM] "Bisa kita perbaiki ini dari awal?" Aila refleks menoleh cepat dengan mata terkejut. "Zam ...." "Aku ... aku mencintai kamu." Djuarr!! Tangis Aila pecah, hatinya ngilu. Terlambat Nizam, kenapa baru sekarang? Delapan ta...