#Part 11 Terlupakan

10.1K 1K 15
                                    

Perkara cinta sebenarnya tak sulit, asal cinta itu tetap dijaga sebelum akad.

°•°•°•°

Jangan meletakkan cinta jika belum pasti,
Jika sebuah rasa hadir, cukup tampik dan jangan biarkan berkembang mekar jika tak mau merasakan sakitnya kecewa

°•°•°•°•°

Jarak mereka satu meter. Aila terengah-engah. Dia membungkuk memegangi lutut. Berusaha mengatur nafas. Yang dipanggil menghentikan langkah, Nizam menoleh sejenak lalu membalikkan posisi badannya sehingga mereka berhadapan.

Aila kembali berdiri tegak dan berlari kecil hingga berhenti tepat dihadapan Nizam. Aila tersenyum tipis, lalu segera menunduk. “Bisa ... kita bicara sebentar?”

Nizam menatap gadis di depannya dengan sebelah alis terangkat. Lalu, perhatiannya beralih pada jam tangan di tangan kirinya. Setelah memastikan jadwalnya tidak ada di jam segini, Nizam bersuara, “ikut saya,” ucapnya berjalan dahulu.

Aila hampir saja berteriak kegirangan kalau tidak ingat dia tengah di rumah sakit. Dengan langkah semangat Aila berjalan di belakang Nizam. Kedua sudut bibirnya terangkat menatap punggung di depannya.

Mereka kembali memasuki lift. Suasana di antara keduanya begitu canggung. Aila menunduk, memainkan jari-jemarinya.

Sementara Nizam, hanya menatap datar ke depan. Entahlah apa yang sedang dipikirkannya atau mungkin dia sama sekali sedang tidak berpikir.

Lift kembali berdenting. Mereka tenyata turun lagi ke lantai satu. Aila mengikuti lagi langkah Nizam, ternyata mereka menuju taman di samping rumah sakit. Nizam mengambil duduk di ujung bangku taman. Sementara Aila diam di tempatnya dengan canggung seiring detak jantungnya yang semakin tidak stabil.

“Silakan duduk.”

Aila mengangguk grogi. Duduk di ujung lain bangku tersebut. Aila menunduk. Menatap tangannya yang telah mendingin.

“Bicara apa?”

Dari tadi nadanya dingin, membuat Aila merasakan sesak setelahnya. Aila menghirup nafas pelan. Tidak apa, tidak salah ‘kan mengulang lagi kisah lama. Merasakan lagi sensasi memperjuangkan Nizam. Mengulangi lagi masa ketika mereka masih asing. Tampaknya, Nizam lebih asing padanya.

“Aku yang kemarin di depan Kafe. Gadis yang ngejar-ngejar kamu cuman buat ngomong.”

“Hmm.”

Aila tersenyum miris. Singkat dan auranya dingin sekali. Jika Nizam tidak lupa ingatan, akankah sikapnya seperti ini? Pasti tidak. Nizam pasti bicara lembut ya, ‘kan? Aila menggeleng, tampaknya dia terlalu berandai-andai. Semuanya telah terjadi.

“Aku Aila Az-Zahra.”

Hening

“Kamu, nggak ingat aku sama sekali, Zam?”

“Saya tidak ingat.”

Lagi, senyum tipis namun tersirat luka itu terlihat. Aila mengigit bibirnya. Rasa-rasanya air matanya ingin pecah kembali. Ayolah kenapa dia jadi cengeng sekali jika soal Nizam?

“Umi bilang kamu kecelakaan di Kairo dan lupa ingatan.”

Hening

“Rasanya kecewa saat tahu kamu lupa ingatan.” Aila mengirup nafas, mencoba mengambil oksigen yang terasa menipis di dalam paru-paru. Ia perlu banyak oksigen, biar sikap Nizam tidak membuatnya mati karena sesak.

“Dulu kita dekat, Zam. Kita satu sekolah. Dulu, aku gadis paling terkenal dengan keusilannya di sekolah. Kamu datang, waktu itu sebagai siswa pindahan. Pertemuan pertama kita, ketika aku sapa kamu di parkiran.”

Tes

Aila menunduk dalam. Ia tersenyum. “Niatnya dulu mau jahilin kamu. Aku ....” Aila mengusap air matanya yang kembali turun, “aku dulunya paling suka jahilin anak baru sama sahabat aku. Tapi, sejak melihat kamu waktu itu. Aku nggak jadi jahilin kamu, karena aku ... aku suka kamu dan ngikutin kamu.”

Aila mendongak. Menatap lurus ke depan, menatap kolam ikan di depannya sebelum kembali bicara.

“Tiap hari. Nggak, tiap waktu, tanpa tahu malu aku ikutin kamu dan terang-terangan bilang suka. Kamu risih sama kehadiran aku. Tapi aku nggak peduli dan terus ngejar kamu. Waktu itu ... aku belum hijrah. Tapi setelah tahu tipe cewek yang kamu suka dari Raihan. Aku ... aku relain-relain hijrah dan berubah demi kamu. Nggak peduli omongan orang di sekolah.” Aila tertawa kecil.

Soal apa yang terjadi selanjutnya, bahkan soal surat, apakah dia harus mengatakannya? Lalu apa respon Nizam nanti? Menganggapnya gadis yang menagih janji di saat dia tidak mengingat apa-apa sama sekali. Apa yang Nizam pikirkan nanti?

Aila melirik Nizam yang pandangannya juga lurus ke kolam ikan. Ia tersenyum miris. Wajah itu terlalu datar dan dengan mudahnya bikin hatinya ingin teriak-teriak.

Nizam kamu memberi aku harapan, membuat aku terbang. Tapi kamu juga yang memberikan aku luka. Menghempas aku tanpa aba-aba. Hingga aku terperangkap dalam ruang luka.

“Kamu nggak ingat ya, Zam?” lirih Aila. Suaranya tercekat.

“Maaf, saya sama sekali tidak mengingat Anda.”

“Kenapa harus bicara formal?” Air matanya kembali jatuh begitu saja.

“Karena kita tidak kenal.”

Jawaban itu begitu menohok dan menyakitkan. Karena kita tidak kenal. Mudah sekali semua itu terucap setelah waktu yang telah mereka lewati. Aila tahu Nizam lupa ingatan, tapi bukankah pembicaraan tadi telah menjelaskan hubungan mereka?

“Tapi kita sebenarnya kenal.”

“Mungkin dulu kita dekat. Saya minta maaf karena tidak mengingat Anda. Dari kisah yang Anda ceritakan, itu kisah SMA klasik biasa. Kalau begitu hubungan kita tidak lebih sekedar teman masa SMA.”

Bolehkah Aila berteriak. Mengatakan pada Nizam kalau laki-laki itu juga bilang menyukainya dan berjanji untuk melamarnya? Hanya teman SMA? Tidak tahukah Nizam seberapa menyakitkan kata-kata itu hingga membuat luka baru?

“Ada sesuatu yang be-“

“Hubungan kita hanya sebatas teman SMA. Sekarang kita asing. Menurut saya kisah lalu tidak perlu diungkit lagi. Tidak ada yang istimewa. Itu hanya kisah remaja SMA yang lumrah terjadi.”

Kata-kata yang menorehkan luka Lagi. Tidak bisakah Nizam tahu perasaannya saat ini? Luka kecewa belum terobati, sekarang banyak luka yang kembali ditorehkan akan sikap dan perkataannya sendiri.

“Saya sibuk. Anda sudah menjelaskan semuanya. Saya rasa sudah cukup. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Permisi.”

Nizam bangkit, berjalan meninggalkannya bersama rasa sakit. Langkah Nizam yang menjauh seolah seperti jarum yang menusuk di setiap langkah kaki itu menjauh. Sesak kian membuncah membuatnya terisak.

Aila menangis. Nizam hilang dari pandangan seiring isakan keras yang keluar dari bibirnya. Aila menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya berguncang hebat. Sakit. Hanya kata itu yang mewakilkan semuanya.

Terimakasih Nizam atas lukanya.

Rabu, 28 Agustus 2019

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rabu, 28 Agustus 2019

Wa'alaikumusalam Aila ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang