Kamu satu hal yang tidak pernah absen dalam doa dan setiap harapku. Tapi kenapa semesta seolah tak mau kita bersatu?
°•°•°•°•°•
"Nizam mengalami kecelakaan hebat tiga tahun lalu. Dan Nizam ...."
"Kakak kenapa sih digantung?" Aila mulai resah. Kata-kata Adra bagai menamparnya. Adra yang tidak menyelesaikan ucapannya justru membuatnya kesal.
"Nizam amnesia, Dek."
Mata Aila membulat. Tubuhnya seketika membeku. Nizam amnesia? Kalau begitu Nizam melupakannya dan surat itu ... Nizam ... Aila menunduk. Haruskah harapannya pupus begitu saja. Impian bersanding dengan Nizam hanya akan menjadi angan semu belaka? Kenapa? Kenapa takdir tega di saat hatinya telah menaruh harap.
•••••
"Bunda, ayah dan kak Adra udah berangkat kerja ya?" Aila mengambil duduk di sebelah Ariana yang tengah fokus memperhatikan kajian Islam itu indah. Kini waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, karena masih mengantuk Aila melanjutkan tidurnya sehabis Subuh. Perjalanan dari pesantren ke rumah kemaren begitu melelahkan, belum lagi sampai di rumah dia tidak langsung istirahat.
"Udah. Belum mandi ya?" Ariana menoleh. Aila nyengir. "Mandi gih. Kita ke pasar beli bahan dapur."
"Siap, Bun. Tunggu ya."
"Ya udah cepat ya. Jangan lama-lama."
"Siap komandan." Ariana terkekeh. Aila segera meleset menuju kamarnya. Setelah mengambil handuk dan baju, Aila masuk ke kamar mandi dan keluar lima belas menit kemudian dengan gamis pink lembut dan dengan gardigan panjangnya berwarna putih.
Aila mematut dirinya di cermin setelah mengambil ciput dan jilbab segi empat berukuran 135 cm. Setelah memakai pelembab dan menabur bedak bubuk, Aila membentuk jilbabnya dan memakainya dengan cepat. Setelah memberi pin l, Aila tersenyum. Kini, tinggal lip gloss.
Selanjutnya Aila berjalan menuju lemari. Mengambil sling bag senada dengan bajunya lalu memasukkan ponsel dan dompetnya di sana. Selesai. Aila segera keluar dari kamar sebelum Ariana datang memanggil.
"Udah?" Ariana dengan gamis berwarna biru bermotif dan jilbab birunya baru saja sampai di ruang tamu.
Aila mengangguk. "Udah, Bunda. Yuk!"
Keduanya kini berjalan beriringan menuju mobil. Pak Aron telah siap dan segera membuka pintu. Beberapa detik setelahnya, mobil hitam mereka melaju di jalanan siang yang tidak terlalu padat. Aila memperhatikan jalanan di luarnya dari balik kaca jendela, setelah lama tidak berada di sana membuat banyak yang berubah. Ada bangunan baru, trotoar yang diperbaiki dan masih banyak lagi.
"Bun, kita ke Pasar apa Supermarket?"
"Pasar, Nak."
Aila mengangguk. Tatapannya menembus keluar jedela. Begitu melewati sekolah, membuat Aila begitu rindu sekolah lama. Apa kabar sekolahnya? Ia rindu semua tentang sekolah. Suasana belajarnya, teman-teman kelasnya, sahabat lamanya dan Nizam.
Nizam?
Aila mengigit bibirnya kuat-kuat. Nama Nizam saja mampu membuat hatinya kini jungkir balik. Kenangan bersama Nizam di SMA selalu menjadi hal yang membuatnya tersenyum. Aila merasa malu jika mengingat betapa tak tahu malunya dia mengikuti Nizam dulu kemana pun. Semuanya tentang Nizam, seolah berputar dalam benaknya. Saat dia ikut nonton bioskop, omongannya yang ceplos ceplos. Saat dia memperhatikan Nizam sholat dan rentetan perjalanan kisah SMA hingga surat terakhir itu. Aila terenyum tipis. Jika dulu dia masih punya harapan pada Nizam, akankah kini dia masih bisa berharap. Bahkan Nizam tidak mengingatnya. Jadi bagaimana mungkin Nizam datang kepadanya. Haruskah dia berjuang lagi? Seperti dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wa'alaikumusalam Aila ✓
Spiritual[SAKUEL ASSALAMUALAIKUM NIZAM] "Bisa kita perbaiki ini dari awal?" Aila refleks menoleh cepat dengan mata terkejut. "Zam ...." "Aku ... aku mencintai kamu." Djuarr!! Tangis Aila pecah, hatinya ngilu. Terlambat Nizam, kenapa baru sekarang? Delapan ta...