#Part 29 Mengkhitbah Aisya?

11.3K 1K 129
                                    


Jangan mengambil keputusan di saat hati masih ada keraguan. Karena memutuskan tanpa sepenuh hati kelak akan menjadi bumerang untuk diri sendiri.

°•°•°•°

Vano berdiam lama di samping mobilnya dengan pandangan lurus pada rumah yang sudah lama tidak disinggahnya. Kedua sudut bibirnya tertarik, kilasan kenangan lama itu hadir begitu saja tanpa diminta. Ingatan pada masa SMA, di mana dulu seringkali dia datang ke sini mengantar jemput gadis itu.

"Lo mau masuk apa bengong?" Dian memutar bola matanya malas melihat Vano yang diam di depan gerbang. Meninggalkan Vano, gadis itu kini memencet bel hingga seorang satpam muncul.

"Iya Mbak, Anda cari siapa?"

Dian memicing melihat satpam berkumis di depannya, dulu tak ada satpam di rumah sang sahabat, Namun sekarang banyak perubahan yang dilihatnya dari rumah Aila. Dari cat rumah yang beda, hingga pepohonan dan bunga semakin banyak memenuhi area depan rumah.

"Saya mau bertemu dengan sahabat saya, Aila."

"Maaf Mbak, Non Aila udah ke luar negeri."

"Luar negeri?" Vano kini berjalan mendekat, mengulangi lagi kalimat yang baru saja ditangkap Indra pendengarannya.

"Sejak kapan?"

"Tiga hari yang lalu."

"Akkhh ..."  Vano membuka kaca mata hitamnya dan berteriak kesal melampiaskan semuanya. Baru saja, baru saja dia akan mulai memperjuangkan Aila kembali, baru saja dia bahagia bisa menetap kembali di Indonesia. Tapi, bahagianya seolah seperkian menit dan menit ke berikutnya tega diambil paksa oleh kenyataan yang begitu kejam.

"Van?" Dian menatap Vano Iba.

"Ke mana Aila pergi?"

"Maaf, saya juga tidak tahu "

"Bapak pasti tahu!"

Baik satpam maupun Dian sama-sama terkejutnya akan bentakan dan tatapan tajam dari seorang Vano. Pak Tono- satpam tersebut mengelus dada beliau pelan.

"Astaghfirullah Den, nggak percayaan. Pihak keluarga merahasiakan besar di mana non Aila sekarang berada. Hanya keluarga yang tahu."

Vano mengusap wajahnya frustrasi, helaan nafas gusar meluncur dari bibirnya. Sepersekian detik tendangan keras laki-laki itu membuat Dian dan Pak Tono kembali kaget.

Dian menatap Vano horor lalu kembali menatap Pak Tono yang berdiri dibalik pagar."Pak, emang ada apa sampai dirahasiakan?"

"Maaf Non, Saya tidak mempunyai hak untuk menyampaikannya."

"Bunda Aila ada?"

"Ada, Non."

"Boleh saya ketemu beliau?"

"Sebentar, coba saya tanyakan dulu."

Dian mengangguk. Setelahnya pak Tono berjalan menjauh menuju pintu utama rumah minimalis itu.

"Ngapain lo ketemu nyokap Aila? Kita ke sini ketemu Aila, bukan nyokopnya," ujar Vano ketus.

Dian menoleh. "Bego!"

Buk!

"Argh!"

Satu pukulan mendarat mulus di kepala bagian belakang Vano. Membuat laki-laki itu mendesis geram.

"Sakit bego!"

"Gelar aja yang keren, masalah gini bego banget." Dian melihat kedua tangannya, menatap malas pada Vano yang kini menatap tajam. "Dengar ya tuan Vano, dengan kita ketemu Umi Aila, kita bisa korek informasi yang jelas kemana Aila pindah."

Wa'alaikumusalam Aila ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang