"Kenapa sih, lu ga pernah betah di rumah?" tanya Ito mendorong trolly sambil menemani Aksa memilih beberapa bahan.
"Ya, gapapa. Ga betah aja, sih." Aksa mengambil sayur dari rak dan tertawa garing.
"Semua hal ada alasannya. Lu masuk toilet nongkrong berjam-jam juga ada alasannya.."
"Kalo itu sih gagal boker nikmat, HAHAHA.." Aksa tertawa lepas sambil berjalan menuju kasir.
Ia meletakkan hasil belanjaannya ke dekat meja kasir dan menunggu penghitungan.
"Totalnya seratus sembilan ribu rupiah, kak." Ucap petugas kasir dengan senyum manis.
Aksa tersipu malu dengan agak lebay. Ito memutar bola matanya pelan lalu menyenggol lengan Aksa. "Lebay lo, bayar anjing." bisik Ito berusaha meminimalisir toxic.
"Masih muda, jangan dipanggil 'Kak'." Kata Aksa memberikan lembaran uang pas dan berjalan keluar supermarket.
Ito meraih kunci motor di saku celana dan menaiki motornya bersama Aksa. Setelah itu mereka pergi menuju Starbucks untuk membeli kopi sesuai janji Aksa sebelumnya.
Dalam pikiran Ito, alasan mengapa Aksa bisa ikut masuk Leonidas masih menjadi misteri. Selama ini ia mengenal Aksa sebagai sosok yang ramah dalam memandang adik kelas. Di saat PLS juga, Aksa bukan sosok yang suka memarahi adik kelas, justru ia menjaga senyumnya agar terus terbagi untuk seluruh warga sekolah.
Kalau dipikir, Aksa adalah anak yang sempurna. Ayahnya seorang dokter dan ibunya adalah petinggi bank yang sering pulang larut malam. Namun walau begitu, seluruh permintaan Aksa selalu terpenuhi. Aksa menjadi anak yang mandiri dan tumbuh besar bersama pengasuh.
Walau tak banyak tahu tentang Aksa, Ito merasa yang ia miliki sekarang sangat jauh terbalik dengan pria penuh senyum itu. Ito merasa bahkan tak ada satupun yang bisa mencintainya sama seperti kedua orang tua Aksa. Ito rasa, Aksa terlalu sempurna untuk bergabung dengan Leonidas, definisi rumah bagi mereka yang merindukan rumah.
Sesampainya di tempat yang dituju, Ito melangkah masuk mendahului Aksa dan memesan beberapa minuman dengan sigap. Aksa menjulurkan kartu ATM-nya dengan ringan dan memilih tempat duduk.
"Adem banget gila." Puji Aksa mendengar lagu lantunan Feby Poetri diputarkan.
"Tobat goblok, coba denger ayat kursi?" tawar Ito ikut duduk di samping Aksa.
"Itu juga adem sih,"
"Iya, tapi ntar lu kebakar." Ito mengeluarkan buku tugasnya dan mulai mencari bagian bertuliskan PR untuk dikerjakan.
"Rajin amaaaat." Aksa menggoda Ito sambil meraih pulpen di genggaman lelaki rajin itu.
"DIEM ANJING GUE MAU NGERJAIN!" bentak Ito disertai tawa Aksa yang menggelegar.
Ito menatap datar dan kembali mengerjakan tugasnya. Beberapa detik setelah itu pesanan mereka datang dan Aksa menyedot minumannya lebih dulu.
"Gua punya alasan kenapa gua ga pernah betah sama rumah." Ucap Aksa secara tiba-tiba dengan tatapan lesu.
Ito diam, pura-pura tidak menggubris pernyataan Aksa.
"Bokap nyokap gua selalu ngelatih gua buat jadi orang yang sempurna." Lanjut Aksa tersenyum pahit.
Ito menghentikan aktivitasnya tanpa menatap Aksa. Pria itu menundukkan pandangan. Ia menggigit bibir bawahnya karena ragu untuk berkata. Rasanya dadanya sedikit tersayat karena harus memulai ungkapan yang selama ini ia pendam.
"Gua selalu berharap bisa jadi anak normal. Bisa main bola dengan bebas, ga takut kotor sampai-sampai orang tua ikut campur urusan lu sendiri. Gua butuh dunia bebas, gua juga perlu cari diri gua sendiri kan, To?" Aksa berkata dengan lirih dan ragu.
Ito masih diam. Kini pandangannya mengarah pada Aksa yang meremas rompi di genggamannya dengan erat.
"Gua gatau alasan gua hidup. Kenapa gua harus turuti semua kemauan orang tua gua, atau kenapa gua perlu jadi sesempurna itu di mata orang. Gua bahkan gatau sampai sekarang gua lakuin semua ini buat apa, To."
Ito menyodorkan tisu pada Aksa.
"Gua ga nangis, tolol." Aksa dengan lantang mengucapkan kata kasar dan meyakinkan Ito dengan senyum.
"Kali aja." Ito menahan tawa geli dalam diafragmanya.
Ito tersenyum. Ia memikirkan topik lain barangkali untuk mengobati luka hati Aksa. Keduanya sama-sama diam selama beberapa menit.
"Gua udah mata-matain cewek semalem hari ini." Kata Ito dengan bangga, membuat rasa sedih Aksa teralihkan.
"Gimana gimana?"
"Sesuai apa yang gua perkirakan, dia bukan orang yang buruk juga. Dia tadi juga sempat bela-bela Leonidas." Jelas Ito dengan bibir yang sibuk menyeruput minumannya.
"Bela Leonidas? Berani? Hahaha,"
Ito mengangguk mantap. "Mungkin dia sebesar itu suka sama lu. Better lu jangan banyak anggurin atau ngeperlakuin dia dengan buruk. She's a good person." Ito menutup bukunya, memperhatikan wajah Aksa yang lebih berbunga dari sebelumnya.
"Udah, gausah halu. Yok, balik!" Ajak Ito membangunkan Aksa dari lamunan menyeramkannya.
***
Aksa membuka pintu rumah pelan. Nampaknya pembantunya sudah tidur dan ia pulang dengan berhasil. Sebelumnya Aksa sempat merayu-rayu Ito untuk mengajaknya main sebentar karena keadaan yang benar-benar tak ia sukai tentang rumah. Akhirnya Ito mau tidak mau mengajak Aksa berkeliling sambil mencari referensi tempat nongkrong.
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Aksa segera masuk kamar dan mengambil baju untuk ganti. Pandangannya terfokus pada sebuah buku di meja belajar.
'Pelajari ini ya, minggu depan harus done semua. Ini buku panduan Bahasa Jerman. Kamu pelajari sampai lancar, setelah itu Papa carikan guru private Bahasa Jerman.'
Aksa tak mengindahkan buku itu dan berjalan ke kamar mandi. Ia mengguyur seluruh badannya dengan air dingin. Walau udara sudah lebih dingin akhir-akhir ini, Aksa lebih memilih untuk menyelimuti panasnya hatinya karena orang tua sendiri.
Ia membiarkan tetesan air mata mengalir di pipinya. Rasa muak yang tak pernah ia relakan pergi kini mengalir bersama air dan busa-busa. Ia meninju tembok dengan keras, membuat jemarinya memerah.
"Leksmana Aksa Ariyon, ayo berhenti jadi orang cengeng! JANGAN LEMAH LU ANJING!" bentaknya pada diri sendiri disertai segala rasa benci menguap bersama nafas kasarnya.
Ia kembali memukul tembok dengan jemarinya namun sia-sia. Tembok itu tak rusak sedikitpun, melainkan jemarinya jadi penuh luka.
Aksa menyandarkan keningnya di tembok sambil merasakan air shower terus membasuh tubuhnya. Tetesan darah dari jarinya beberapa kali hanyut terbawa air kotor.
"Manusia lemah lu, Sa." bisiknya kembali merendah pada diri sendiri.
Di luar kamar, foto masa kecil Aksa bersama kedua orang tuanya masih terpampang jelas di samping televisi. Saat itu adalah masa-masa dimana ia masih merasakan kasih sayang yang tulus tanpa meminta pamrih sedikitpun. Hingga saat ia mulai SMP, seluruh sikap kedua orang tuanya seolah menekannya untuk menjadi orang yang berambis besar menguasai dunia.
"Aksa kangen Mama sama Papa yang dulu.." bisiknya di dalam kamar mandi dengan air yang mengalir tak karuan derasnya.
*tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERITO - On Going
Teen Fiction"Cinta pertama itu bukan orang pertama yang kamu pacari, tapi orang pertama yang mampu melihatmu tanpa jaim dengan nyaman." -Austin Nicholas - Gara-gara menyatakan perasaan secara terang-terangan, Atta jadi buronan gengster SMA Tjraka. Selain diinca...