"Lo pulang sama gue." Pinta Ito kesekian kalinya demi membayarkan rasa menyesalnya karena membuat Atta hampir dalam bahaya.
"Gak ah. Atta mau pulang sama teman-teman."
"Gue juga teman lo kan? Pulang sama gue ya? Oke?"
"Apa sih, kok maksa-maksa."
Ito menarik lengan Atta. "Ta,"
Setelah berpikir sekian kalinya, akhirnya Atta mengiyakan ajakan Ito. Padahal ia yakin bahwa dirinya baik-baik saja. Ia hanya kedinginan, ia bisa baik-baik saja saat di Jakarta. Kenapa pula Ito memaksanya pulang bersama.
Dalam perjalanan, Atta tak ingin banyak bicara dengan Ito. Pikirannya pun masih kalang kabut, apalagi soal pernyataan Rakha waktu itu yang membuatnya makin penasaran. Tidak. Bukankah Ito sudah bilang bahwa ia bukan Leonidas? Maka sudah jelas jawabannya, Rakha hanya pembual.
Sesampainya di Jakarta, Ito segera memberhentikan motornya di sebuah apotek. Ia membeli beberapa obat panas dan kompresan. Padahal Atta yakin dia sudah sangat baik-baik saja.
Sesampainya di rumah Atta, Ito segera menyusun obat yang barusan dibeli. Lalu menempelkan sebuah kompresan tempel pada dahi Atta.
"To, Ito lagi kesambet apa sih?"
Pria itu hanya diam. Memberikan senyum kecil sebagai tanda lega.
"Itoo, Atta itu sehat yah. Atta gak sakit okey, jadi stop—"
"Jangan. Biar gitu aja. Gue takut lo kenapa-napa, Ta."
Atta tak berani lagi memotong ucapan Ito. Terlebih dengan kedua mata pria itu yang tergambar dengan jelas ketulusannya.
Tak lama, langkah Bunda Atta dari dalam rumah terdengar cukup kencang. Rupanya Bunda menawarkan makanan pada Ito. Sepertinya Bunda memang suka memasak untuk Ito.
"Jadi Atta sempat menggigil disana?" Tanya Bunda sambil menyajikan sepiring opor.
"Iya, Bunda. Dan itu, Ito akui Ito yang salah Bunda. Seharusnya Ito gak marah karena Atta rewel." Jelas Ito menyendok sesuap nasi dengan lahap.
"Enggak Bundaaa! Atta gak kenapa-napa! Atta sehat wal afiat aja nih! Itu mah, si Ito ngarang! Mau dapat perhatian Bunda aja dia!"
Ito menatap Atta dengan kedua mata membulat. "Ta, gue gak pernah bohong sama Bunda."
"Gak bohong tapi melebih-lebihkan ya buat apa, ishh!"
"Kan nyata—"
"Iya tapi setelah ditolong Kak Aksa, Atta langsung sembuh!"
Ito tak berani lagi menjawab perdebatan diantara keduanya. Ia memilih memalingkan wajah dan menyantap kembali masakan Bunda. Sementara Bunda Atta hanya bisa tertawa. Terlebih, Bunda memang menginginkan anak lelaki. Persis seperti Ito yang lucu dan penurut.
Tiba-tiba ponsel Ito berdering. Ia segera mengangkat panggilan tersebut. Rupanya panggilan dari salah satu kawan Leonidas yang menyuruhnya kumpul di markas.
"Bunda, Ito pamit dulu. Salam buat Ayah. Gue pulang dulu ya, Ta." Kata Ito sambil buru-buru memakai jaketnya dan menghilang begitu saja.
Atta pun heran. Panggilan sepenting apa sampai mengharuskan Ito mau untuk buru-buru pergi.
Ito melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Sepertinya Austin sedang membahas suatu hal penting sampai harus kumpul di markas sekolah. Padahal kan masih bisa berbincang di kafe atau semacamnya. Kecuali ini adalah suatu rahasia yang hanya boleh disimpan oleh Leonidas.
"Gue udah putuskan. Leonidas bakal cari tahu siapa pelaku kecelakaan besar yang menyebabkan ketua umum Damianos meninggal." Seru Austin dengan lantang.
Salah satu di antaranya melotot ke arah Austin. "Kita gak bisa gali informasi seenaknya, Tin! Gue tahu kakak lo meninggal gara-gara balap liar itu, tapi lo gak bisa kalau suruh kita ikut campur masalah yang sudah terkubur bertahun-tahun!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERITO - On Going
Teen Fiction"Cinta pertama itu bukan orang pertama yang kamu pacari, tapi orang pertama yang mampu melihatmu tanpa jaim dengan nyaman." -Austin Nicholas - Gara-gara menyatakan perasaan secara terang-terangan, Atta jadi buronan gengster SMA Tjraka. Selain diinca...