24. Kita

467 36 0
                                    

"Makasih ya, To. Cuma lo yang paling ngerti gue."

"Gue beruntung punya sahabat macem lu, To."

"GUE CUMA TAKUT, TO!"

"Gua juga perlu cari diri gua sendiri kan, To?"

Dengan sekejap kedua mata Ito berkedip berulang kali. Ia memastikan bahwa dirinya masih bernyawa dan tidak sedang di neraka ataupun surga. Langit-langit berwarna putih terang dengan cahaya lampu yang menyilaukan mata. Ia mengangkat tangan kirinya untuk menutupi cahaya, namun ia menyadari sebuah selang infus menempel padanya.

"Adek sudah sadar?" Suara manis seorang ibu yang berumur kisaran 30 sampai 40 an berjalan mendekati Ito dan menatap dengan serius.

"Anak saya barusan cerita kalau kamu teman kelasnya terus pingsan depan dia. Jadi saya bawa kesini kamu. Kata dokter, suhu badan kamu tadi tinggi banget jadi sampai pingsan. Tapi kamu sudah rasa lebih baik?" Tanya ibu tadi yang merupakan bunda Atta.

Ito mengangguk pelan dengan ragu. Ia menatap pada selang infus yang menusuk tepat pada peredaran darahnya. Dirasa-rasa begini, pegal juga.

"Tante boleh telfon orang tua kamu?"

Pertanyaan Bunda Atta seolah membuat Ito ingin menjawab 'tidak'. Bagaimanapun ia paham situasi buruk yang sedang ia jalani sekarang. Kini ia malah memperburuk.

"Ayah saya kerja sampai larut malam, Tante. Ibu saya juga masih dirawat." jawab Ito pelan.

"Oo, di rumah sakit ini juga?"

"Enggak. Yang dekat sama rumah."

"Ibu kamu sakit apa? Parah ya?"

Ito diam sejenak. Lagi-lagi ia ragu kalau harus menjawab dengan pernyataan keracunan obat diet.

"Kecapekan aja, Tante."

Ito tersenyum kecil.

"Owalah.. Alhamdulillah kalau gitu. Kamu cepat sembuh ya, supaya bisa rawat ibu kamu juga." Bunda Atta mengusap pelan rambut Ito layaknya kepada anak sendiri.

Usapan itu membuat Ito jadi rindu masa-masa dahulunya. Ia merindukan nyanyian malam sebelum tidur dan dongeng yang dibawakan kedua orang tuanya. Ia merindukan itu semua, sebelum akhirnya jadi sebuah masalah keluarga seperti sekarang ini.

Dari kejauhan Ito melihat Atta seperti buru-buru membawa tentengan kantung plastik putih. Gadis itu tersenyum padanya.

"Buah gratissss!" Seru Atta menunjukkan kantung itu pada Bundanya.

Perbincangan antara Atta dan bundanya membuat Ito jadi makin terbawa perasaan. Ia benar-benar merindukan keluarga sehangat ini. Betapa beruntungnya mereka yang hadir dalam keluarga sempurna dan penuh perhatian.

"Ini, To. Apel. Udah dikupas, bersih 100% higienis!" seru Atta menjulurkan potongan buah apel dengan bangga.

Pria itu mengambil dan menggigit untuk pertama kalinya. Ia mengangguk-angguk sebagai kode bahwa ia sangat menyukai makanan itu. Wajah Atta jadi makin sumringah dan semangat untuk mengupas buah demi buah.

"Bunda keluar dulu, dek." Bisik Bunda Atta menepuk pundak Atta pelan dan dibalas dengan anggukkan.

Suasana jadi canggung apalagi saat Atta malah sibuk mengupas buah apel. Padahal Ito sangat ingin memanfaatkan momen begini untuk berbincang banyak dengan Atta. Sudah ia putuskan dengan tekad. Ia akan menyelesaikan perjuangannya untuk membuat Atta tak jatuh ke tangan pria yang salah.

Dalam lubuk hati Atta pun ia memiliki banyak pertanyaan mengenai ucapan Ito tadi. Ia jadi berpikir-pikir apakah Ito hanya sebatas ngelindur atau pria itu memang sungguhan. Sungguh tak menginginkan ia dan Aksa jadian.

ALTERITO - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang