19. Balas Budi

868 72 9
                                    

Ito masih sibuk mengelap hidungnya dengan tisu. Untung saja Atta membawa kartu ATM untuk membeli sebungkus tisu. Kalau tidak, mungkin bahu Atta akan jadi korban menjijikkan ingus dari Ito.

Pria itu tampak bersusah payah mengatur emosinya. Dilihat dari jauh pun, dengan mata yang sembab, Ito tetap tampan. Lucu, menggemaskan. Bagi Atta bahkan sosok Ito yang ia lihat sekarang sangat bertolak belakang dengan Ito yang ia lihat di sekolah.

"Sudah, Non?" tanya Mbok menyodorkan segelas air putih yang disediakan oleh perawat.

"Oh, iya. Lebih baik kayaknya, Bu."

Mbok terkejut. "Non, non! Jangan panggil Bu ya, panggil Mbok ajah. Lebih adem. Hehe." Mbok tersenyum kecil, malu-malu kucing.

Atta hanya tersenyum. Selanjutnya ia menyuguhkan minuman itu pada Ito. Segera saja pria itu menengguk habis segelas minuman walau dengan perasaan yang sedang hancur.

"Anak ambis fisika bisa nangis juga ya," Sindir Atta pada Ito yang masih sibuk mengelap ingus.

Ito diam. Tak bereaksi apapun berharap gadis itu tak perlu berbicara lagi. Suasana hatinya sedang tidak baik. Apalagi dilanda rasa malu karena tiba-tiba seolah meminta agar Atta tidak pergi darinya.

"Berarti Atta bisa les sama Ito ya!" seru Atta dengan mata berbinar, berharap Ito langsung mengiyakan.

"Berisik lo. Nyesel gue shareloc." Ucap Ito berjalan pergi keluar UGD untuk mencari udara segar sendirian.

Atta menyusul Ito dan memanggil nama pria itu beberapa kali. Namun memang benar, Ito cukup memiliki ego yang tinggi soal harga diri.

"Ito sendiri yang minta Atta buat gak pergi!" Seru Atta mensejajarkan langkahnya dengan Ito.

"Gue gak sadar pas ngomong. Giliran udah sadar pengen taubat nasuha gue!"

Atta menatap Ito dengan kesal.

"Itooooo!" Atta pun menarik kerah kemeja Ito, membuat pria itu berteriak ampun karena malu dilihat banyak orang.

"Makasih dulu yang bener!"

"MAKASIH!"

"Bukan gitu! Yang ikhlas!"

Ito diam. Membuat Atta makin kesal karena tidak direspon.

"Ito makasihnya—"

"Ikhlas itu seperi surah Al-Ikhlas. Tidak ada kata 'ikhlas' di dalamnya."

Pernyataan Ito sontak membuat Atta bertekuk mulut. Tak mampu lagi berdebat dengan jawaban Ito yang dipikir secara logika pun, pasti akan mendapatkan nilai sempurna.

Atta melepaskan cengkramannya dan berjalan mengikuti Ito. Menikmati suasana dingin rumah sakit malam hari. Ditemani suara ricuh kendaraan kota yang lalu lalang sambil teriak-teriak sebatas tukang nasi goreng jalanan.

"Ito berarti kita teman kan?" Tanya Atta seolah memecah kesunyian di antara keduanya.

"Terserah lo aja. Males gue pusing-pusing ngurusin lo."

"Ngurusin Atta mah gak capek, To!"

"Pretttt!"

Atta tertawa. Jawaban Ito seperti itu tidak pernah terkira oleh telinga kecil Atta hingga membuat shock.

"Yaudah mulai besok kita berteman." Jawab Ito ringan. Seolah menjadi jawaban dari seluruh kerewelan Atta.

"Gitu dong nurutt!" Atta tersenyum puas.

"Lo juga boleh belajar di rumah gue. Atau gue ke rumah lo. Atau belajar di tempat lain, senyaman lo aja. Yang penting kita belajar bareng." Ito menarik simpul di ujung bibirnya.

Atta awalnya masih mencerna. Hingga beberapa menit setelahnya baru ia sadari pernyataan Ito yang benar-benar ia sukai.

"SUMPAH TO? SERIUSSS? GAK PRANK KANN??? HOREEEEE!!!!!" Atta berteriak dengan kagum karena sangat menyukai respon yang diberikan Ito. Lagi-lagi menjadi kebiasaan, tangan Atta nyosor untuk memeluk seseorang terdekat saking senangnya. Namun hal itu langsung ditolak Ito dengan mentah.

Akhirnya keduanya menjadi canggung dan Atta berjalan di samping Ito tanpa banyak bicara.

"Thanks, ya."

Atta bingung. Rasanya suara Ito jadi lebih tulus dari sebelumnya.

"For??"

"Mungkin kalo gak ada lo, gue gak akan bisa belajar menikmati segala masalah hidup. Makasih lo udah buat gue tenang malam ini."

Jantung Atta berdegup kencang. Ucapan terimakasih Ito disertai senyuman ikhlas membuat Atta tak berhenti memegangi jantungnya agar tak berlari kemana-mana.

"Lo udah makan malam? Kalo belum ayo—"

"Belum! Ayo makan bareng!"

Tanpa aba-aba, Atta segera menarik lengan Ito untuk menyusuri jalan raya depan rumah sakit dan mencari beberapa makanan yang bisa mengenyangkan perut.

Malam itu rasanya menjadi waktu bagi Ito untuk menyetop segala perasaan sedih dan was-was. Sejenak ia ingin merasakan indahnya masa remaja bersama orang yang mau menemani tanpa pamrih. Sejenak juga ia melupakan kenyataan pahit yang sedang ia lalui sekarang.

Akhirnya sampailah mereka pada sebuah warung nasi goreng. Memesan dua piring dan menunggu cukup lama sambil berbincang. Atta senang, ia jadi bisa lebih mengenal Ito yang ternyata lebih hangat dari yang ia duga.

"Ito punya cewek impian?" Tanya Atta membuat Ito jadi bingung harus menjawab apa.

"A-anu, . . eng-enggak ada, sih." Ito menutupi segala kenyataan wanita impiannya.

Atta memajukan bibirnya. Beberapa menit hening, nasi goreng datang dengan cepat. Pada saat itu, Ito jadi ingin menanyakan bagaimana pria yang disukai Atta. Gapapa, iseng aja bagi Ito. Barangkali ia bisa mendapat info penting tidak penting.

"Kalo cowok impian lo?" tanya Ito menyendok nasi lalu melahapnya.

Atta diam dahulu. Gadis itu menatap Ito cukup lama tanpa ekspresi yang bisa ditebak.

Beberapa detik menatap Ito, Atta menundukkan pandangannya. "Ya, Kak Aksa, sih."

Deg.

Tak tahu apa, sepertinya ada bagian syaraf harapan yang dimiliki Ito seolah pupus begitu saja. Ia jadi ingat, selama ini bahkan dari awal pun, yang Atta suka selalu Aksa. Lagipula kenapa juga Ito jadi tiba-tiba berharap tidak jelas, pada gadis yang jelas-jelas telah menjadi milik sahabatnya sendiri.

"Sering chat sama Aksa?" Bibir Ito seolah tersihir untuk menanyakan hal diluar logis semacam itu.

"Oh, sering. Cuma karena Kak Aksa kelas XII, jadi dia lebih banyak les. Jadi suka kangen, hehehe."

Ito mengunyah nasi gorengnya perlahan. "Kalau chat bahas apa?" lagi-lagi kalimat aneh terlontar begitu saja dari bibir Ito.

Atta jadi heran. Mengapa pertanyaan Ito seolah berubah jadi introgasi polisi yang pernah ia tonton di tv-tv sebelumnya.

"Kenapa tanya-tanya?" Atta mendekatkan wajahnya dengan ekspresi serius. Tanpa senyum sedikitpun.

Ito menengguk minumnya, lalu buru-buru mengipasi leher yang bertetesan oleh keringat dingin.

"Ya gapapa. Barangkali bisa buat bahan chat gue sama gebetan." jawab Ito berusaha sebaik mungkin menutupi gugupnya. Memang Ito handal dalam hal akting begini.

Atta memundurkan wajahnya dan hanya menjawab "Oh" dengan singkat tanpa angkat bicara lagi.

Selama diam itu, Ito jadi memikirkan banyak hal yang dilalui Atta dan Aksa. Ito jadi semakin tertampar, bahwa Atta akan dan selalu mencintai sosok Aksa tanpa tapi.

"Kalo lo jadian sama Aksa, kasih tau gue."

"Kalo Ito jadian sama gebetan Ito juga, kasih tau Atta."

Setelah itu tak ada lagi yang mau angkat bicara duluan. Keduanya sama-sama diam, menikmati nasi goreng yang jadi tidak nikmat karena harus dinikmati bersama orang yang salah.

*tbc

ALTERITO - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang