26 September 2016,
Deru motor dengan knalpot modif seolah meramaikan suasana malam hari di jalanan Menteng, Jakarta. Malam itu tepat pukul satu malam dan segerombolan pria masih sibuk dengan motornya masing-masing. Diantaranya, seorang pria dengan wajah kebulean tengah berdoa dan berharap dapat menyelesaikan pertikaian ini. Ia mengibaskan rambutnya lalu mengangkat jempol sebagai tanda 'oke'.
Tak lama setelahnya dua motor mulai melaju dengan kecepatan diatas rata-rata. Tatapan pria tadi seolah memberikan simbol bahwa semua akan baik-baik saja. Tikungan yang sudah ada di depan mata pun siap ia lewati. Satu nama yang ia perjuangkan saat itu, "Damianos".
BRUKKKK
Benturan kelas di kepalanya membuat pria tadi jadi tak bisa berpikir banyak. Yang ia lihat samar-samar hanya cahaya motornya dan tawaan dari beberapa orang. Kedua tangannya berusaha meraih motor yang terletak jauh dari tempatnya terbaring lemas. Seluruh badannya seperti dihantam batu tanpa ampun.
"Tuhan... Tolong..."
***
Ito terbangun dari tidurnya. Alarm ponsel berdering berulang kali, menampilkan waktu subuh dan adzan yang berkumandang. Ia segera bangun dan melaksanakan ibadah paginya. Selesai hingga salam, ia mengusap kepalanya pelan karena sedikit sakit. Mimpi yang barusan ia rasakan terasa nyata, bagaikan drama yang diperankan olehnya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu dengan jelas mengganggu. Ito segera berdiri dari lantai dan membukakan pintu kamar. Ia melihat sosok Si Mbok sedang berdiri sambil menunjuk pada sarapan yang ada di meja. Ito tersenyum kecil. Masih subuh begini saja, Si Mbok sudah rajin menawarkan sarapan.
Akhirnya Ito memutuskan untuk makan dahulu sebelum mandi. Tumben saja Si Mbok begini, biasanya justru memberi makanan setelah ia meminta.
Si Mbok mendekatkan diri pada Ito. "Semalam Nyonya tidur di sofa, Den. Maaf ya, Mbok ganggu pagi-pagi. Mbok gak tega lihatnya, jadi Mbok harap, Den bisa bantu pindahin Nyonya, ya?"
Ito mengedarkan pandangannya. Ia menemukan sosok perempuan renta sedang berbaring di sofa dengan selimut tipis. Hatinya jadi merasa iba. Ia memberhentikan makannya lalu dengan segera menggendong badan kecil ibunya ke kamar.
Ia menatap ibunya sejenak. Kadang hal-hal kecil seperti tidur malaikat dunianya ini, mampu membuat Ito sangat merindukan masa lampau.
Waktu berjalan cepat, akhirnya menunjukkan pukul tujuh lebih dan Ito telat lagi. Padahal sudah bangun lebih awal, tetap saja tidak mampu berangkat awal. Yah, lagipula hanya pelajaran fisika. Ia juga sudah cukup paham hingga bolos pelajaran sehari pun tak apa bukan?
Sesampainya di sekolah, Ito segera meletakkan tasnya dekat kaki dan hormat pada bendera. Selama kurang lebih 30 menit dan merasa pegal beberapa kali, Ito mendengar langkah kaki seseorang berlari ke arahnya sambil terengah. Ito bingung. Ia segera mencari sumber suara itu dan menemukan sosok Atta yang sepertinya tidak sedang dihukum.
"Ito telat?" Tanya Atta masih dengan nafas tak stabil.
"Bukan, ini gue lagi menghormati bendera aja."
"Hah? Masa?"
"Ya, iyalah telat! Apalagi coba kalau bukan?" Ito membuang pandangannya.
"Yaudah. Atta bantuin ya."
Atta berdiri di samping Ito sambil melakukan hormat. Persis seperti yang Ito lakukan.
"Loh? Ngapain lo?"
"Sesama teman itu harus saling membantu!"
Ito hanya diam. Malas untuk membalas percakapan tak jelas dari Atta. Terlihat bibir Atta sedikit mengangkat, menandakan senyum malu-malu. Padahal Ito sendiri tidak paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERITO - On Going
Teen Fiction"Cinta pertama itu bukan orang pertama yang kamu pacari, tapi orang pertama yang mampu melihatmu tanpa jaim dengan nyaman." -Austin Nicholas - Gara-gara menyatakan perasaan secara terang-terangan, Atta jadi buronan gengster SMA Tjraka. Selain diinca...