2. Leonidas

2.2K 114 3
                                    

Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Segerombolan motor mulai ramai mendatangi kafe kecil dengan nuansa ala kota. Namanya 'Angkringan Brosta', nama aneh namun berkesan bagi para anggota sekelompok pria keren ini, sekelompok pria dengan jaket almamater berwarna abu dan bertuliskan 'Leonidas' dengan lambang singa.

Seorang pria tinggi membuka jaket abunya dan bersalaman dengan teman-temannya ataupun melakukan tos ala kadarnya. Ia menarik senyum di ujung bibirnya dan mulai ikut berbincang dengan sekawanannya.

Bel pintu masuk kafe berbunyi beberapa kali. Salah satu diantaranya adalah kedatangan angkatan kelas XI yang perawakannya tak kalah bagus dengan kelas kakak kelas.

"Eh, To! Sini sini." Pinta seorang pria dengan muka ala bule.

Ito yang hadir cukup belakangan, mengeluarkan rokok dan isi ulang vape dari sakunya. "Mantap juga lo!" teriak anggota lainnya menepuk sofa sebagai tanda mempersilahkan duduk.

"Gimana jadi anak kelas XI?" tanya pria agak bule dengan name tag bernama "Austin Nicholas".

"Biasa aja, lagipula lo juga paham kalo gua ga suka urusin adek kelas atau semacamnya." jawab Ito cuek.

"Eh jangan salah. Ada anak OSIS nih, mau dikebiri lo hah? hahahahaa...." tawa menyeruak ketika jokes ala kadarnya dibuat snagat teramat lucu.

"Kemarin gua abis nembak cewek gini, would you be my 24/7 sunshine darl? Terus tahu jawabannya ga?" ucap salah satu pria lainnya yang memulai pembicaraan sambil menghembuskan asap vape ke udara.

"'Maaf bang, kita taarufan aja.' Hahahahaa, anjir! Taaruf gundulmu! Dikira gua pacaran cuma buat diem-diem doang apa! Hahahaha." lanjutnya menirukan suara wanita dengan sama.

Ito meraih ponsel di sakunya. Membalas sebuah pesan dari teman wanitanya, Ratu. Tiba-tiba Ratu malah menelponnya, membuatnya izin untuk ke toilet sesaat.

"Hey, kenapa telpon?" tanya Ito mengangkat telpon dengan buru-buru.

"Gapapa sih, gabut."

"Oh, jadi aku temen gabut doang nih? Hahaha,"

"Ih, Ito! Ga gitu!"

Ito tersenyum kecil dan merapikan rambutnya di cermin. "Udah makan?" tanya Ito.

"Belum."

"Mau makan bareng?"

"Aku mau ngomong sama kamu."

Tiba-tiba muka Ito berubah agak panik dan bingung.

"Iya, boleh. Ngomong aja, kenapa?"

"Setelah lulus SMA, bokap nyokap nyuruh aku nikah, To. Katanya dana perusahaan udah tipis. Kalo aku ga nikah sama pewaris utama perusahaan yang diincer bokap, aku bakal disuruh keluar SMA. Maaf ya, To. Harusnya aku janji sama kamu buat ga bakal kemana-mana. Harusnya aku janji buat jadi teman kamu sampai kamu bisa nemu orang yang better than me. Is it?" jelas suara di seberang sana sambil menahan tangis.

Ito diam. Sepertinya rasa kecewa dalam seluruh benaknya tak bisa lagi terekspresikan. "Oh, yaudah, Tu. Kalo itu baik buat kamu, that's good idea. Jangan lupa undang-undang ya." bisik Ito yang seluruh harapan dalam dadanya sudah pupus.

"Iya, To. Kalo gitu aku tutup dulu, ya. Thanks karena udah jadi orang yang paling ngerti aku!"

Panggilan terputus. Ito menghembuskan nafas dengan kasar dan mematikan jaringan data di ponselnya.

Ia kembali menuju meja perkumpulannya dan memasang wajah penuh keputus asaan. Ia mengambil sebatang rokok, membakar ujungnya, lalu menghisap pelan. Candaan yang membuat suasana ribut tampak tak ia hiraukan.

"Heh," toel Austin sambil menyuguhkan capuchino kesukaan Ito.

"Thanks." Jawab Ito sederhana, menenggak sedikit minumannya lalu kembali terbengong dengan rokok yang semakin menipis.

"Ada masalah apa? Cerita." Bisik Austin seolah membuat suasana hanya diantara mereka berdua.

"Ga ada."

"Gua tau kapan lu bohong. Kita ini Leonidas, kita solid kita keluarga. Dan juga gua udah kenal lu dari SMP, jadi ..."

Ito menggebrak meja dengan amarah yang tak lagi tertahan. "Gua cuma butuh waktu sendiri. Sorry," ungkapnya bersegera mengambil almamater geng lalu pergi keluar dari kafe.

Seluruh teman gengnya terdiam dan memandang Ito dengan heran. Aksa yang sedari tadi pura-pura tak mendengar, melirik pada Austin dan menganggukkan kepalanya singkat sebagai tanda untuk memaklumi.

Sementara itu, Ito menaiki motornya dan menancap gas dengan kecepatan penuh. Ia memberhentikan motornya di sebuah taman kota remang yang cukup sepi untuk menyendiri. Tatapannya kosong, seolah menandakan jiwanya tak lagi punya alasan untuk berdiri dengan hidup. Ia meremas sendiri bajunya seolah mengekspresikan amarah yang tak bisa diutarakan.

Dung ding dung ding dung

Suara panggilan masuk beserta getaran di paha, rasanya mengganggu konsentrasinya untuk menangis. Awalnya Ito tak mau membuka ponselnya. Namun, karena berulang kali dan mengganggu nuansa hati, ia memutuskan untuk mengangkat dan berusaha marah apabila itu adalah panggilan yang tidak penting.

"Halo?" suara imut dari seberang sana membuat Ito bingung, sedetik setelah ia angkat panggilan tersebut.

"Saveri Alterito, ya? Apa bukan sih? Apa iyah? Hellooooo? Eh, Icha kok gak ada suaranyaa??" Suara wanita itu kembali dengan ricuhnya namun seperti berbicara sendiri.

"Siapa?" jawab Ito dengan ketus.

"Hah?"

"Lu siapa anjing?"

"SANTAIIIIII, bapak bapak, saya disini gak cari musuh pak. Jadi jangan terbawa syaiton yaa pak?"

"Apaan, gajelas. Ganggu orang aja,"

"E-Eh! Bentaaar!"

Tiba-tiba Ito memutuskan untuk menarik pikirannya. Ia akan mencoba mendengarkan apa yang diinginkan si ricuh dan tak dikenal ini.

"Nama saya Alfattamora, dari XI Mipa 3. Ini cas-casan kamu ketinggalan di kelas. Sorry ya, baru kasih tau. Soalnya, capek bangetttt habis kumpul paduan suara."

"Dapet nomor gua darimana?"

"Dari Kak Austin! Soalnya kan satu ekskul, terus pas aku bawa casannya ke kumpulan, katanya Kak Austin suruh kasih tau kamu aja."

"Gua cuma nanya lu dapet dari siapa anjeng, bukan cerita lu hari ini ada apa. Udahlah, gua juga ga butuh casan. Gua punya banyak cadangan. Buat lu aja." Singkat tanpa basa basi, Ito segera memutus panggilan. Sepertinya rasa sedihnya jadi teralihkan dengan emosi karena sebatas kabel charge.

Sementara Atta yang panik setengah jiwa karena memegang barang orang lain, terus merengek pada Icha dan dua temannya.

Si bodoh tingkat sekolah, Ajeng. Dan satunya lagi adalah gadis primadona sekolah yang bagaikan dewi yunani, Aretha.

"Kasar banget sih, cowok macem apa!" omong Icha sambil mengotak-atik ponselnya.

"Macam kerbau." Jawab Ajeng, polos.

"Kok?"

"Iya, soalnya kan kerbau punggungnya kasar."

"BODOAMAT ANJIR!" serempak ketiganya berteriak sambil menatap dengan emosi.

*tbc

ALTERITO - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang