12. Cepu

986 62 0
                                    

"Ichaaaa! Apa sih tarik-tarik?? Lagi perhatiin Ito tau!" seru Atta dengan nada manja karena kesal.

"Ngapain liatin Ito? Suka?" goda Icha menatap Atta dengan dekat.

"Eh, engg—"

"GUYSSSSS!" Suara teriakan pria yang agak melambai dari kejauhan terdengar nyaring hingga seluruh anggota kelas menatap padanya.

"Ini kakak gue baru beli parfum gucci! Liattt!" Beberapa gadis pun mengumpul padanya.

Begitupun anak kelas lain yang sempat ia gemborkan karena kemewahannya. Aretha dari XI MIPA 4 pun datang jauh-jauh karena seruan lelaki dengan nametag Robi Zidan itu.

Atta melambaikan tangan pada Aretha dan sekelompok gengnya. Di sekolah, Aretha menjadi sosok yang sangat dingin dan cool. Bahkan menurut Atta, Aretha bukanlah Aretha yang ia kenal di sekolah. Apalagi kalau sudah jalan bersama teman satu gengnya, seperti jadi kacang lupa kulit.

Namun, Aretha adalah yang paling lebih baik daripada teman satu gengnya yang lain. Mungkin karena Aretha mengikuti bagian dari anak hits, ia jadi sulit untuk bertingkah bebas.

"Jadii, kakak guee bilang kalo gucci itu dari Korea Selatan, tapi diadopsi ke Kanada guys, for your information ajahh! Soalnya kakak gue ketemuan sama CEO-nya! Gile banget pokoknya mah, uh!" Jelas Robi menyemprotkan parfum ke badan teman-temannya.

Sementara teman kelas Atta lalu lalang sambil berbisik pelan, "Sinting."

"Dari jaman gue belum lahir juga Gucci tuh dari Itali!" seru Fierra salah satu anggota geng Aretha juga yang paling peduli soal barang branded.

"Info salah salah salah! Kakak gueee—"

"KAKAK LO YANG BEGO! HAHAHAHA!" Fierra tiba-tiba mendorong Robi ke lantai sampai botol kaca itu juga jatuh ke lantai dan pecah.

"Bilang aja beli di Bandung!" seru wanita lainnya disertai tawa geli sambil memegangi perut.

Suasana kelas jadi semakin ramai. Atta melihat Aretha ikut tertawa mengejek pada Robi yang kini meratapi parfum mahalnya yang jatuh dan pecah.

Atta rasanya ingin marah, namun marah pun tak ada gunanya. Apa yang Robi katakan justru pamer yang membuat dirinya seolah tak berotak di hadapan orang lain.

"Udahlah, Robi kan emang suka banyak omong. Mulut cabe badan pare." Ucap Icha dengan tajamnya yang tak sepenuhnya disetujui oleh Atta.

Baru mau berdiri, tiba-tiba gerombolan itu seolah berpencar. Memberikan sedikit ruang bagi seseorang yang akan jalan. Namun orang itu tidak masuk, masih di dekat pintu. Lelaki itu menjulurkan tangannya pada Robi. Sementara mata Robi masih berkaca-kaca karena merasa dibully secara tidak langsung.

"Lo gapapa?"

Atta terperanjat kaget. Suara yang jelas mudah sekali ia kenali. Atta segera berdiri dari bangkunya dan beberapa langkah maju untuk melihat siapa orang itu.

Robi meraih tangan Ito dan berdiri sejajar dengan Ito.

"Nih, tisu."

Robi membuang ingusnya pada tisu pemberian Ito dengan terlalu bersemangat hingga berkesan menjijikan. Tak bisa dipungkiri dari mata Ito yang kaget.

Ito berjongkok, mengambil pecahan parfum tadi lalu menyuruh petugas piket menyelesaikan kekacauan ini.

"Ngapain masih disini? Udah waktunya pelajaran, kan?" Tanya Ito dengan muka datar dan wajah serius layak seorang ketua TNI yang arogan.

Akhirnya gerombolan tadi bubarlah dan kembali ke kelas masing-masing. Ito membalikkan badannya dan baru menyadari Atta sedari tadi memperhatikan tanpa berkedip apa yang ia lakukan. Kedua mata Atta membuat jantung Ito kembali berdebar. Seperti diserang virus langsung ke arah jantung, rasanya seluruh organ vitalnya jadi tidak berfungsi.

Namun pada akhirnya Ito mengkondisikan dirinya menjadi sosok yang bisa biasa saja dalam merasakan pandangan wanita. Ia melewatkan tatapan Atta begitu saja dan kembali ke tempat duduknya. Tampaknya masih banyak yang harus ia pikirkan ketimbang masalah wanita.

Perlakuan Ito hari itu sukses membuat Atta makin penasaran. Membuat Atta seolah ingin mengetahui lebih banyak hal mengenai sosok Ito yang mungkin tersembunyi dibalik segala ketidakpeduliannya.

***

Ito membereskan beberapa barangnya dan beranjak untuk segera pergi keluar kelas. Ia pun memilih untuk tidak ikut ekskul karena menurutnya Leonidas adalah keluarga kedua yang tidak boleh hilang.

Beberapa langkah menuju parkiran, suara pria tak asing memanggilnya seperti memang akrab. Ito membalikkan badan.

"Oh, lu. Kenapa?" Tanya Ito pada Robi yang berdiri mematung seolah meminta sesuatu.

"Gue boleh pulang sama lu?"

"Gaboleh." Jawab Ito sesingkat mungkin lalu melanjutkan jalannya.

Namun Robi masih tidak mendengarkan dan tetap merayu-rayu Ito. Tolakan demi tolakan terus dilontarkan Ito hingga sampai ke parkiran.

"Ito denger dulu!" seru Robi terengah-engah mengejar Ito yang langkahnya lebar.

"Gue tahu Austin dimana!" seru Robi berhasil memberhentikan langkah Ito.

"Sekarang lo pasti mau pulang sama gue!"

Ito membalikkan badannya.

"Apa yang lo tau soal Kak Austin?"

"Gue tahu dia dikurung dimana, To!!" Robi membinarkan matanya.

Ito memeluk helm di pinggangnya dan menatap kedua bola mata Robi yang hampir keluar.

"Apa yang lo tahu soal sepupu gue, Antariksa Austinder Michael?" kata Ito menyudahi semua omong kosong Robi.

Robi bingung. Padahal Austin yang ia maksud adalah Austin Nicholas, artis papan atas SMA Tjraka. Pada akhirnya Ito meninggalkan Robi si pembual sendirian di parkiran seperti orang hilang.

Sementara itu Ito segera menuju markas Leonidas. Ia menyusun beberapa rencana bersama Aksa yang amarahnya sudah lebih baik dari sebelumnya. Dalam pikiran Ito, masih ada satu nama. Ia tidak dapat menuduh tanpa bukti, namun ada satu hal yang harus ia pastikan.

Setelah kumpul, tongkrongan yang biasanya ramai pun kini menjadi sepi. Robi yang baru saja membeli beberapa bahan di warung berjalan pelan melewati tongkrongan favorit Leonidas. Ia berdiri di depan tempat itu, membayangkan betapa keren dirinya apabila menjadi bagian dari Leonidas juga. Ia beberapa kali memberikan gaya layaknya sedang berfoto bersama lalu menunjukkan huruf L lewat jarinya dengan senyum bangga. Ia tertawa bahagia dengan dirinya sendiri. Ia menyenangkan untuk dirinya.

Robi melanjutkan perjalanan pulang sambil menyenandungkan lagu anak-anak. Robi adalah sosok yang sangat kekanak-kanakan. Kedua orang tuanya adalah sosok yang teramat penyayang. Karena terlalu sayang, sampai lupa bahwa kini Robi sudah dewasa dan sudah menjadi waktunya untuk berkembang.

"Robi?" panggil sebuah suara ringan pria yang tak pernah Robi duga.

"Ya?"

Aksa berdiri di belakangnya dengan senyum lebar. Robi rasanya sangat berdebar. Nampaknya Aksa sedang membawa totebag yang ia harap hadiah untuknya.

"Lagi sibuk ga lo? Ngopi kuy!" Ajak Aksa merangkul Robi yang malu-malu.

"H-hehe, ngopi di rumah gue aja ya, Sa?" tawar Robi menunjuk arah rumahnya yang tak jauh juga dari tempat favorit Leonidas.

Aksa mengangguk mantap, mengikuti Robi ke sebuah perumahan cukup mewah dekat sana. Orang tua Robi juga merupakan yang mampu membiayai anak untuk ke luar negeri tanpa beasiswa.

"Gue buatin kopi buat lu ya, Aksa!" Seru Robi dengan semangatnya berjalan ke dalam rumah dan membuat Aksa menunggu diluar.

Aksa menatap pada isi totebagnya. Sebuah jas almamater Leonidas yang sudah bulat akan ia berikan pada Robi.

*tbc

ALTERITO - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang