13. Yang Manusia Inginkan

942 68 2
                                    

Aksa mengotak-atik ponselnya karena bingung harus melakukan apa. Lama-lama ia khawatir, apa pria itu benar-benar bisa membuat kopi atau tidak. Beberapa menit setelah ia khawatirkan, Robi keluar dengan terburu-buru. Pria itu berkspresi totalitas sungguh senang. Pasti banyak hal yang sedang ia sukai. Aksa memencet sebuah tombol di ponselnya lalu memasukkan ponselnya ke saku.

"Lo habis darimana tadi, Sa?" tanya Robi berusaha memulai basa-basi.

"Ga darimana, gue emang mau ketemu sama lo. Kebetulan lo nya aja disitu. Ketemu deh," Aksa menyeruput kopinya dengan santai.

"Gue sebenarnya bingung banget mau mulai darimana Rob." Lanjut Aksa setelah menelan kopi yang ia rasa lebih pahit dari dugaannya.

Robi mengangguk-angguk dengan mantap.

"Gue butuh orang semacam lo buat ada di Leonidas." ucap Aksa to the point pada hal yang benar-benar ingin ia katakan.

"M-maksud lo?"

"Iya. Gue mau lo jadi bagian Leonidas, kita bisa lakuin semua hal buat kupas kejenuhan kita! Seburuk apapun kita di mata orang lain, di mata Leonidas kita tetap hebat!" seru Aksa yang merasakan pusing mulai menjarah kepalanya. Aksa menahan kepalanya yang terasa berat. Ia melanjutkan kalimatnya.

"Ini jaket. Tapi ada syaratnya, Rob. Ini kesepakatan bersama. . ." Aksa menatap lekat mata Robi, berusaha sebaik mungkin agar pria itu tidak menyadari betapa sakitnya kepalanya saat ini.

"Apa, Aksa?"

"Antara sesama anggota Leonidas, gak boleh ada bohong. Apalagi kalau itu menyangkut sesama anggota. Kita ini keluarga, kita perlu jadi orang yang bisa saling merangkul dengan kejujuran jadi—" penjelasan Aksa terpotong.

"Aksa. . ." entah mengapa kini suara Robi terdengar seperti diiringi dengan tangis.

"Kalau gitu gue mau jujur. Karena gue perlu Leonidas buat jadi keluarga gue!" seru Robi sudah mulai menangis seperti bocah.

Got it!

"Gue selalu ditindas. Gue gak pernah merasa bahagia dengan kekayaan yang bokap nyokap gue punya! Gue selalu dibilang tukang bohong, gue gak pernah dipercaya orang! G-gue. . . gue gatau apa gue masih kuat buat hidup sebagai manusia apa nggak tapi, gue minta maaf sama lo dan sekawanan Leonidas—" Robi diam dan mengatur nafasnya.

"Gue yang adu domba Leonidas sama Geng Wibawa."

Rasanya kalimat itu menjadi sebuah jawaban seluruh amukan Aksa hari ini. Rasanya kalimat itu cukup, namun Ito menyuruhnya diam sampai ia menyebutkan kronologi kejadiannya.

"Maksud lo?" tanya Aksa seolah tidak tahu.

"I-iya iya! Gue ini pinter, Sa! Gue lebih pinter dari Ito. Gue selalu punya celah buat ngintip keseharian Leonidas. Mungkin kalo gue mau, gue bisa ngintip lo mandi juga, Sa! Hehe hehe,"

"Anjing ngeri!" pekik Aksa dalam lubuk hatinya sambil menahan seluruh rasa untuk tidak marah.

"Siang itu waktu XII MIPA 7 lagi pelajaran olahraga, gue masuk ke kelasnya buat ambil almamater Austin. Gue kabur keluar sekolah, gue bilang kalo bapak gue ketabrak sepeda, haha konyol tapi dipercaya guru! Habis itu, gue kabur buat cabut nama Austin, gue ganti nama gue! Terus malamnya gue ke tongkrongan Geng Wibawa. Gue disana kayak bos, Sa! Gue keren banget, Sa!" jelas Robi dengan seluruh badan bergemetar hebat.

"Terus?"

Akhirnya kejadian malam itu Robi ceritakan dengan lebih detail. Ia pun memperagakan bagaimana wajahnya saat menantang anak-anak Geng Wibawa seolah tanpa malu.

"Gue bilang gini, Sa. 'Gue dari Leonidas SMA Tjraka dan gue ajudan dari ketua gue Austin Nicholas buat ngajak lo semua berantem disini! LO SEMUA CUMA SAMPAH MASYARAKAT, PENGGANGGU PEMUKIMAN, LO SEMUA GAK BERGUNA HAHAHA!' gua kata gitu sambil gua ludah mereka satu-satu! Gue keren banget, Sa!! Gue bangga banget gue bisa jadi Leonidas sekarang ini! Dan mereka bilang bakal kurung Austin di gudang GOR 40 hari lamanya, Sa!! Gue udah jujur, Sa! Sekarang gue siap jadi anggota Leonidas!" Robi yang terlalu bersemangat rupanya cukup memancing amarah Aksa setelah mendengar nama Austin dipermalukan begitu saja.

"Buat apa lo lakuin hal itu?" tanya Aksa tanpa sadar keluar dari seluruh skenarionya.

"G-gue? Ya, soalnya gue gasuka sama Austin, gue mau jadi kayak Austin, Sa—" belum menyelesaikan jawabannya, Aksa malah terburu-buru menarik baju Robi dan membuat lelaki itu panik setengah mati.

"Kalau Austin sampai luka, badan lu gak gua biarin normal." Bisik Aksa dengan kedua mata yang terus menatap tajam Robi.

BREGGGHH

Suara pukulan melayang tepat di leher Aksa. Rupanya Robi memperkirakan hal seperti ini akan terjadi juga. Karena sepertinya obat tidur yang ia berikan tidak berpengaruh sedikitpun, Robi terpaksa dengan segenap tenaganya meraih gelas bekas minum tadi lalu melayangkannya ke leher Aksa. Untung saja tidak melukai leher Aksa sampai berdarah, karena Robi tidak seanarkis itu.

Robi mendudukkan badan Aksa yang cukup berat itu pada kursi. Nampaknya pria yang ia pikir kuat ternyata hanya manusia lemah yang mampu ia tangani dengan dirinya sendiri. Ia tersenyum kecil. Orang yang dari awal di takdirkan menang, akan menang pada akhirnya. Begitu yang Robi pikirkan saat melihat badan Aksa terbujur lemas tak berdaya.

Robi membalikkan badan dan sukses saja sebuah hantaman tepat mendarat di mukanya, langsung membuat sekujur tubuhnya seperti dihempas ke lautan tanpa di izinkan bernafas sedetikpun.

***
Aksa membuka mata perlahan. Menatap langit-langit rumah sakit berwarna putih cerah yang cukup menyilaukan mata. Rasa sakit di lehernya masih terasa sedikit, namun bisa ia tangani. Matanya menyapu pandangan ke sekeliling dan menemukan Atta yang entah bagaimana tengah menunggu kesadarannya.

"Kak Aksa udah bangun?"

"Ta?"

"ALHAMDULILLAH KAK AKSA UDAH BANGUN! Ya Tuhan Kak, aku udah tanya kayak gitu sampai 30 kali lebih, soalnya kakak banyak gerak kepala gitu, aku jadi takut. Tapi gapapa, sekarang kakak udah aman di rumah sakit sama Atta!" jelas Atta panjang lebar dengan senyum yang tiada berhenti.

"Kamu satu komplek sama Robi?"

"Robi Zidan? Jadi rumah dimana kakak pingsan tadi, Robi Zidan pelakunya?!" Atta mendadak jadi memasang raut wajah marah tapi tidak meninggalkan imutnya.

Aksa tertawa kecil. Atta kemudian melirik pada Aksa dan bertanya apa sebab dari tawa yang tiba-tiba dilontarkan itu.

"Ya, kamu lucu." Ucap Aksa tanpa sadar membuat pipi Atta merona merah.

"Tapi gimana kamu bisa tahu ada kakak disitu?" tanya Aksa lagi untuk menetralkan suasana baper dari Atta.

"Iya rumahnya kan dekat sama rumah Atta, waktu ada polisi datang jadi Atta ikut keluar dan lihat. Waktu tahu ada Kak Aksa, Atta langsung lari pokoknya gimanapun caranya Atta ngaku sebagai wali supaya bisa jagain Kak Aksa sampai sini." Jelas Atta panjang lebar dengan senyum di akhir pembicaraannya.

"Ito dimana?"

"Kakak juga sama Ito??"

"Engga-engga, maksud kakak, sebelumnya kakak lagi sama Ito. Sekarang Ito dimana?"

"Atta gak tahu, kak. Memangnya kakak sedekat itu ya, sama Ito?"

Aksa diam. Barangkali kalau dibahas makin jauh malah membongkar jati diri mereka sebenarnya.

"Teman kecil."

Atta bero-ria. Setelahnya Aksa mulai mengajak berbincang dengan beberapa topik pembicaraan yang sederhana. Namun dalam pembicaraan itu dapat terlihat jelas bahwa Atta sangat senang dapat mendampingi dan menemani Aksa yang sendirian. Sudut senyum Aksa juga menandakan kebahagiaannya menemukan gadis yang mampu hadir disaat ia seharusnya sendiri.

Lalu bagaimana dengan pria yang berdiri di pintu masuk sambil menatap ke arah keduanya? Saveri Alterito yang dalam rasanya terus menghadapi kesendirian.

*tbc

Hello guys, sorry banget yaa baru bisa update lagii.. Oiya berhubung sekarang lagi maraknya kasus Covid-19, aku harap kalian bisa stay at home dan keep safe yaah.. aku bakal usahain buat update beberapa chapter minggu ini buat bahan baca kalian semuaa okeyy💜

ALTERITO - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang