Lily terbangun dari tidurnya saat matahari sudah bersinar begitu terang. Ia bangun perlahan dengan tubuh yang terasa remuk redam, ditambah lagi dengan ia yang tidur meringkuk pada lantai yang hanya beralaskan sejadah.
Setelah membuka dan melipat mukena lalu menaruh ditempatnya, Lily berjalan kearah ranjang. Ia memejamkan mata sejenak dengan bibir bawah yang tergigit kuat saat bayang-bayang perlakuan Afraz semalam melintasi kepalanya. Dengan tangan gemetar serta hati yang ia tekan kuat untuk mengenyahkan rasa takut, Lily membuka sprei dan membawanya ke mesin cuci.
"Loh, Lily? Sini spreinya, biar saya yang cuci." Ujar bik Nah dengan tangan terulur meminta sprei yang Lily pegang untuk diberikan kepadanya.
"Nggak usah bik Nah, biar saya saja." Balas Lily, memegang semakin erat sprei yang dipegangnya.
"Lebih baik kamu makan dan istirahat, biarkan saya yang mencucinya. Kamu terlihat sangat pucat. Kamu nggak apa-apa?" Raut wajah bik Nah terlihat khawatir saat menyadari mata sembab dan wajah pucat Lily.
"Iya bik, saya nggak apa-apa. Setelah mencuci ini, baru saya akan makan. Permisi." Lily berlalu dari hadapan bik Nah dan memasuki sebuah ruangan yang didalamnya terletak beberapa mesin cuci.
Sembari menunggu, Lily duduk jongkok dan menyembunyikan wajah pada lipatan tangan yang ia taruh diatas lututnya.
Kesedihan masih melingkupinya, hingga membuatnya bingung harus melakukan apa dan bagaimana. Satu-satunya hal yang ia inginkan sekarang adalah mengunjungi Lita. Sudah hampir satu bulan dia tidak menemui kakaknya karena belum mendapat izin dari Evelyn. Mungkin Lily bisa meminta izin lagi pada wanita itu nanti.
Saat suara mesin cuci tidak lagi terdengar, Lily mengambil cuciannya lalu menjemurnya.
"Biar aku bantu." Ujar Adam yang tiba-tiba sudah berdiri disamping Lily dan membantunya menggantung sprei pada tali tempat jemuran yang cukup tinggi.
"Terimakasih." Balas Lily, menjauhkan tubuhnya dari Adam. Saat akan beranjak pergi, laki-laki itu menahan pergelangan tangannya. Membuat Lily meringis kecil, walau genggaman Adam tidak begitu erat.
"Maaf, apa aku menyakitimu?" Tanya Adam refleks saat medapati raut wajah Lily yang terlihat kesakitan.
"Ng---"
Merasa bersalah, Adam menyingkap baju dibagian pergelangan tangan Lily bahkan sebelum Lily menyelesaikan ucapannya dan melihat kulit wanita itu yang memar.
"Ini bekas apa?" Tanya Adam dengan alis bertaut, merasa penasaran sekaligus khawatir.
"Bukan apa-apa." Jawab Lily cepat, manarik tangannya dan melangkah mundur.
Sadar akan ekspresi Lily yang terlihat tidak nyaman, Adam buru-buru minta maaf.
"Nggak apa-apa. Ada yang mau kamu katakan?" Tinggi tubuh Adam yang cukup jauh dengan tinggi tubuhnya membuat Lily harus mendongak saat berbicara dengan laki-laki itu.
"Nggak, nggak ada. Kamu terlihat kurang sehat, istirahatlah. Aku akan ke tempat Bapak."
Belum sempat Lily membalas, Adam sudah berlalu dari hadapannya.
Adam berusaha cukup keras untuk menenangkan detak jantungnya. Bisa berinteraksi langsung dengan Lily adalah keinginannya sedari dulu. Karena diam-diam Adam mengaguminya. Sosok sederhana yang selalu terlihat tenang dan seringkali berpapasan dengannya di Musholla sekolah dulu.
Menjadi salah satu siswa yang tidak takut makeup nya luntur karena terkena air wudhu. Tidak, bahkan Adam tidak pernah melihat Lily menggunakan alat rias wajah tersebut. Lily cantik apa adanya dengan kulit putih bersih dan mata sipit miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL [ SELESAI ]
De TodoLily menyadari kehidupan yang ia jalani tidak sebaik kehidupan kebanyakan orang pada umumnya. Banyak hal menyakitkan yang harus ia lalu di usia remaja. Kabur dengan kakaknya dari rumah untuk menghindari Ayah mereka yang bertempramental buruk hingga...