Dua Puluh

6.8K 477 26
                                    

"Kamu nggak pulang?" Tanya Adam, setelah keheningan yang cukup lama.

"Aku menunggu pak Amar untuk menjemputku."

"Oh. Tadi pas aku telpon, Bapak bilang akan mengantar mas Afraz ke bandara. Mungkin balik dari bandara baru dia akan menjemputmu."

"Benarkah? Pantas pak Amar nggak membalas pesanku, mungkin dia sedang dijalan. Kalau saja bukan karena permintaan bu Evelyn, aku bisa pergi dan pulang sendiri menggunakan angkutan umum."

"Itu tandanya mbak Evelyn mengkhawatirkanmu. Apalagi kalau sampai meminta bantuan Bapak. Karena sebenarnya tugas Bapak dirumah itu sebagai tukang kebun. Namun jika itu menyangkut hal penting atau menurut mereka cukup privasi, mereka akan meminta Bapak untuk melakukannya."

"Sepertinya pak Amar menjadi salah satu orang kepercayaan mereka."

"Mungkin. Mengingat Bapak sudah bekerja dikeluarga mas Afraz sejak ia lulus SMA. Bahkan dulu keluarga mas Afraz sempat ingin membiayai kuliah Bapak, tapi Bapak menolak karena ingin fokus mencari uang untuk membantu perekonomian kakek dan nenek. Dan sekarang, malah pendidikanku yang dibiayai oleh mas Afraz. Dia orang yang sangat baik. Aku berhutang budi padanya."

Orang baik?

Mungkin saat Lily bertemu dengan Afraz dalam keadaan yang berbeda, laki-laki itu juga bisa terlihat baik dimatanya.

"Kamu kuliah dimana?" tanya Lily mengalihkan pembicaraan.

"Di Universitas Juanda."

"Bukankah itu Universitas khusus untuk ilmu kesehatan."

"Iya. Aku mengambil jurusan kedokteran, dokter anak lebih tepatnya. Dan Universitas itu milik keluarga dari Ibunya mas Afraz, begitupun Rumah Sakit tempat kakak kamu di rawat. Makanya kedua bangunan itu hanya berjarak beberapa meter, namanya bahkan sama. Hampir semua Dokter di Rumah Sakit juga mengajar di Universitas. Begitupun dengan mahasiswa yang lebih sering dan dipermudah untuk menjalani praktek di Rumah Sakit."

Lily terkejut, bahkan terlihat tidak percaya saat mendengar penjelasan Adam. Lily tahu jika Afraz dan Evelyn berasal dari keluarga kaya, tapi ia tidak pernah mengira bahwa keluarga mereka sekaya raya itu.

Pantas. Pantas sangat mudah untuk mereka jika menginginkan sesuatu. Bahkan jika itu menyangkut kelangsungan hidup seseorang seperti dirinya sekalipun.

"Aku baru tahu jika mereka sekaya itu."

"Padahal mereka sering menjadi perbincangan hangat di kota, bahkan negara ini." Beritahu Adam.

"Aku bukan penduduk asli kota ini, aku hanya pendatang."

"Wah, ternyata banyak hal yang aku nggak tahu tentang kamu."

"Bagaimana kamu akan tahu kalau kita berinteraksi saja, baru-baru ini. Walau satu sekolah, kita nggak pernah dekat."

"Dekat pun, belum tentu aku tahu kalau kamu nggak cerita. Sama halnya kasusmu dengan Syeila. Aku masih sangat ingat ekspresi terkejutmu saat mengetahui kalau mbak Evelyn itu kakaknya Syeila."

Lily mengangguk setuju, "Benar, karena Syeila nggak pernah cerita. Aku juga nggak pernah bertanya."

"Syeila memang tipe orang yang seperti itu. Nggak pernah mau kalau orang-orang tahu siapa keluarganya. Dia bilang itu membuatnya lebih nyaman."

"Sepertinya kamu cukup dekat dengan Syeila."

"Nggak juga. Kami mulai kenal saat penikahan mas Afraz dengan mbak Evelyn."

Suara Adzan isya menghentikan pembicaraan mereka.

"Nggak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Ayo sholat, nanti aku antar pulang."

PAINFUL [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang