Kosong Enam

6.7K 488 9
                                    

"Saya umumkan, bahwa siswa-siswa di SMA Tunas Bangsa lulus 100%."

Sorak sorai menggema di aula Sekolah tersebut. Para siswa siswi langsung berhamburan keluar menuju halaman Sekolah. Mencoret baju putih abu mereka dengan fylox yang sudah mereka siapkan jauh-jauh hari.

Beberapa dari mereka bahkan ada yang menangis bahagia hingga tertawa lepas dan saling berpelukan.

"Syeila nggak usah ih. Syeila!" Ujar Lily sembari berlari menghindari Syeila yang terus saja berusaha untuk mencoret baju seragam yang ia gunakan.

"Ayolah Ly. Ini akan menjadi kenang-kenangan terakhir kita di Sekolah." Balas Syeila dan masih berusaha mengejar Lily.

"Yang kenang-kenangan itu baju putih abu yang selama tiga tahun ini sudah menemani kita selama masa SMA Syei, dan kenapa malah mau dirusak dengan mencoret-coretnya. Bahkan lebih baiknya lagi mungkin kita bisa menyumbangkan pada yang membutuhkan." Kata Lily.

"Baiklah Lily yang baik hati. Nggak usah ceramah. Ngerusak suasana saja deh." Gerutu Syeila disertai dengusan.

Lily tidak membalas dan malah menatap lembut Syeila disertai perasaan sedih. Ia mengajak taman dekatnya itu untuk duduk di salah satu kursi panjang yang berada di pinggir halaman sekolah.

"Setelah lulus, kita nggak akan ketemu lagi ya Syei." Lirih Lily merasa sedih.

Pasalnya aktivitas sekolah yang selama ini ia jalani menjadi satu-satunya hiburan dan tempat untuk mengalihkan sejenak semua rasa sedih sekaligus sakit dihidup.

Saat berada di sekolah, ia bebas bermain dan bercanda dengan beberapa teman. Menghabiskan waktu dengan membahas hal-hal konyol hingga tertawa lepas.

Bahkan ketika beberapa orang merasa stres karena belajar, Lily malah merasa dengan belajar bisa menghilangkan stresnya. Fokus pada hurup, angka, dan rumus-rumus yang membantunya melupakan bagaimana rumitnya hidup yang ia jalani.

Namun disisi lain Lily juga merasa lega. Karena melihat Lita yang berjuang keras menyekolahkannya tanpa memikirkan dirinya sendiri kadang membuat Lily merasa bersalah.

Lily tahu jika Lita menaruh harapan besar padanya agar menjadi seseorang yang sukses serta bependidikan. Tapi Lily merasa jika ia tidak bisa membuat Lita lebih menderita lagi karena dirinya.

Sepulangnya dari sekolah nanti Lily harus membujuk Lita lagi agar ia tidak perlu melanjutkan kuliah. Ia akan bekerja dan membantu Lita mencari uang untuk bertahan hidup.

"Ih, kok ngelamun sih Ly."

Lily tersentak dan segera mengalihkan perhatiannya pada Syeila.

"Ah iya. Kenapa Syei? Tadi kamu bilang apa?" Tanya Lily saat mendapati wajah cemberut Syeila.

"Dasar. Aku bilang, kita kan cuma akan beda negara, bukan beda alam. Lagian kalau liburan nanti, aku pasti akan berkunjung ke rumahmu." Hibur Syeila. Sejujurnya ia juga merasa sedih karena harus berpisah dengan Lily. Teman yang paling membuatnya nyaman diantara teman-temanya yang lain.

"Janji?" Tanya Lily dengan mata memicing.

"Janji." Balas Syeila dengan senyum manis miliknya. "By the way, kamu akan daftar di universitas mana?" Tanyanya kemudian.

"Nggak tahu, belum aku bicarakan sama kak Lita." Jawab Lily seadanya.

Mereka menghabiskan hari itu dengan mengunjungi beberapa tempat untuk merayakan kelulusan mereka setelah sebelumnya Lily sempat mengubungi Lita untuk meminta izin.

○○○

Lita menghembuskan nafas kasar untuk yang kesekian kalinya setiap mengingat tawaran yang Evelyn berikan beberapa minggu lalu. Ia tidak mengerti bagaimana bisa Evelyn memilihnya ketika banyak wanita diluar sana yang terlihat lebih pantas.

Uang.

Mungkin alasannya karena wanita itu tahu jika Lita sedang membutuhkan uang. Dan sadar pada posisinya yang tidak memiliki banyak pilihan.

Tapi yang membuat Lita tidak habis pikir, bagaimana bisa Evelyn terlihat sesantai itu menanggapi masalah yang menurut Lita sangat sangat serius.

Dan lagi, Lita menghembuskan nafas kasar.

Kadang ia berpikir jika ia satu-satunya manusia yang memiliki cobaan hidup paling berat. Tapi nyatanya, banyak orang diluar sana yang hidupnya bahkan tidak kalah menyedihkan dibanding dirinya.

Ternyata memiliki fisik yang sempurna, keluarga yang utuh serta harta yang melimpah tidak bisa menjamin kebahagiaan dalam hidup seseorang.

Lita melirik kalender yang menggantung di dinding kamarnya. Memandang lekat tanggal yang ia lingkari.

Beberapa minggu lagi para rentenir itu akan kembali menemui Lita untuk menagih uangnya. Dan Lita tidak memiliki ide selain menerima tawaran Evelyn agar bisa melunasinya.

Bahkan jika Lita bekerja selama sehari penuh dalam beberapa bulan tidak akan membuatnya mampu mengumpulkan uang yang dipinjamnya. Ia bahkan membutuhkan uang untuk biaya kuliah Lily.

Lita memejamkan mata erat selama beberapa detik dan begitu kembali membuka mata, ia langsung menghubungi Evelyn.

"Selamat siang Bu."

"Siang Lita. Apa kamu sudah memikirkan----"

"Saya menerima tawaran anda." Potong Lita cepat sebelum ia berubah pikiran dan menyeret Lily dalam masalahnya.

Di seberang sana Evelyn terlihat tersenyum lega sekaligus merasakan sesuatu yang menyakitkan menyusupi hatinya dengan perlahan.

"Baiklah, hari ini kamu tidak perlu masuk kerja dan temui saya di apartemen untuk pembahasan lebih lanjut. Saya akan mengirimkan alamatnya."

"Baik Bu." Balas Lita dan sambungan telpon itu terputus.

Lita menggingit bibir bawahnya dengan mata terpejam erat, menahan rasa yang menyesakkan dada. Perlahan airmata mengaliri pipinya.

Demi Lily, ia akan melakukan apapun. Bahkan masa depannya tidaklah begitu penting dibandingkan dengan masa depan yang Lily miliki.

Setelah menangis sejenak dan merasa baikan, Lita bergegas dan bersiap-siap untuk menemui Evelyn setelah denting tanda pesan masuk dari wanita yang mengirimi alamat apartemennya itu terdengar.

Tidak berapa lama kemudian Lita sudah berada di dalam angkutan umum yang akan membawanya ke kawasan elit tempat apartemen Evelyn.

Sesampainya disana, Lita bisa melihat Evelyn yang berdiri di depan lobi bangunan apartemen tersebut. Menunggu dirinya agar tidak perlu melewati pemeriksaan yang cukup ketat jika tidak memiliki akses untuk masuk kedalam sana.

"Bu Evelyn." Sapa Lita.

"Ikut saya." Balas Evelyn dengan senyum ramah.

Mereka menaiki lift khusus yang mengantarkan mereka langsung pada unit apartemen yang Evelyn tempati.

"Silahkan duduk, saya buatkan minum sembari menunggu suami saya pulang." Kata Evelyn yang langsung dibalas anggukan kecil Lita.

Tidak berapa lama setelah Evelyn menyajikan minuman, suara derap langkah seseorang memasuki apartemen.

Lita membalik tubuh untuk melihat siapa yang datang, dan ia cukup tarpaku pada laki-laki tampan dengan postur tubuh tinggi tegap serta kulit yang terlihat putih bersih yang Lita kenali sebagai suami Evelyn.

Namun ekspresi dingin dan terkesan arogan yang ia tunjukkan saat ini sangat jauh berbeda dengan raut wajah hangat dan perhatian yang ia lihat beberapa waktu lalu saat laki-laki itu menjemput istrinya. Membuat Lita menelan ludah, merasa takut.

Rabu, 25 September 2019.

PAINFUL [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang