Afraz memasuki sebuah tempat yang sangat jarang ia datangi jika tidak mendapat ajakan untuk berkumpul dengan teman atau bertemu kliennya. Aroma alkohol, asap rokok, serta lampu yang berkelap-kelip menyambut kedatangannya.
Ia duduk didepan meja bartender, memesan minuman yang seharusnya ia jauhi. Ini kedua kalinya Afraz mengkonsumsi alkohol, yang pertama dulu sekali saat ia masih remaja karena penasaran akan minuman yang sering dinikmati oleh teman-temannya itu.
Rasa mual serta pusing yang ia rasakan kala itu membuat Afraz jera dan enggan untuk meminumnya kembali. Satu-satunya hal yang ingin ia dapat dari mengkonsumsi alkohol kali ini adalah untuk melupakan sejenak masalah yang tengah ia hadapi. Atau mungkin, hilang kesadaran bisa membuatnya menyelesaikan masalahnya.
"Sepertinya anda pengunjung baru, ini pertama kalinya saya melihat." Kata laki-laki yang meracik minuman untuknya. Dan Afraz hanya mengangguk kecil, tidak berniat menjelaskan jika ia menjadi salah satu pengunjung yang seringkali menempati ruang vvip ditempat itu. Walau hanya sekedar untuk memenuhi ajakan teman atau permintaan klien yang ingin bertemu disana.
Setelah meneguk hampir delapan gelas, rasa pusing mulai menghampiri kepala Afraz. Untuk pemula sepertinya, harusnya ia sudah kehilangan kesadaran saat tegukan ketiga atau kelima tadi. Tapi bahkan saat sudah gelas kedelapan, dia baru merasakan sedikit pusing. Entah masalahnya yang terlalu berat atau kekebalan tubuhnya yang begitu kuat. Ia menyerah, dan memutuskan untuk meninggalkan tempat itu setelah sebelumnya membayar minumannya.
○
Secara refleks, Lily membuka mata saat mendengar suara pintu kamarnya yang dibuka lalu ditutup kasar. Melirik jam yang menunjukkan pukul 01.18 dinihari, ia mengerjap-ngerjapkan mata saat melihat siluet seseorang tengah berjalan kearahnya.
"Pak Afraz?" Gumam Lily tidak percaya. "A---apa yang pak Afraz lakukan larut malam di sini?"
Afraz hanya diam dengan mata menatap tajam Lily, membuat gadis itu menelan ludah takut. Tanpa berkata apa-apa, Afraz mendekat dan menindih tubuh Lily. Menahan tangannya saat ia berontak.
"Pak---" Lirih Lily dengan suara bergetar. Ia tahu dan sadar apa tugasnya. Hanya saja dia tidak menyangka akan secepat ini. Terlebih akan kedatangan Afraz yang begitu tiba-tiba dan dalam keadaan mabuk.
Setahu Lily, Afraz laki-laki yang tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai umat muslim karena ia seringkali melihat Afraz dan Evelyn sholat berjamaah di Musholla yang mereka bangun dirumah megah mereka. Namun, saat mencium langsung aroma alkohol yang membuatnya mual, pandangan Lily pada Afraz mulai berubah. Atau mungkin karena keadaan hingga Afraz memilih untuk mendekati apa yang menjadi larangan-Nya?
"Selesaikan tugasmu dan segera pergi dari rumah ini, bahkan hidupku dan istriku." Kata Afraz dingin.
"Tapi---"
"Ingat, kamu sudah dibayar sangat mahal untuk ini."
Mendengar ucapan Afraz, Lily merasa jika harga dirinya terjun bebas. Seolah menjelaskan, jika dirinya tidak ada bedanya dengan perempuan diluar sana yang dengan sukarela dan senang hati menjajakan tubuhnya untuk dinikmati banyak laki-laki.
Apa ia serendah itu?
○
Afraz mengenakan pakaian setelah sebelumnya membersihkan tubuhnya dan berjalan cepat keluar rumah lalu masuk kedalam mobil. Mengendari mobilnya di jalanan sepi dengan kecepatan penuh. Hingga tidak berapa lama kemudian, ia sampai dirumah mertuanya.
Satpam yang berjaga mengerjitkan alis bingung saat membukakan pintu untuk menantu dari majikannya tersebut. "Loh, pak Afraz? Saya pikir tadi nggak balik kesini lagi." Sapa satpam. Afraz tidak membalas dan kembali menjalankan mobilnya memasuki halaman rumah.
Begitu turun dari mobil, Afraz berjalan cepat menuju kamar yang Evelyn tempati. Membuka pintu dan menutupnya kembali dengan pelan karena tidak ingin mengganggu tidur istrinya itu. Ia naik ke tempat tidur, dan memeluk erat tubuh Evelyn, menenggelamkan wajahnya pada tengkuk istrinya.
"Maaf." Lirinya begitu tulus.
Entah kenapa, walau permintaan dan paksaan dari Evelyn, ia tetap merasa luar biasa bersalah. Seolah telah dengan sengaja mengkhianati pernikahan mereka.
Evelyn yang sedari tadi belum bisa memejamkan mata membalik tubuhnya dan memeluk erat Afraz. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang suaminya dengan isak tangis yang tidak bisa lagi ia tahan. "Jangan tinggalin aku lagi Mas. Aku takut, aku nggak mau kehilangan kamu." Lirihnya.
"Nggak akan, ini untuk yang pertama dan terakhir kalinya." Balas Afraz dengan pelukan yang semakin mengerat.
○
Sedang disalah satu kamar rumah mewah mereka, Lily menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Tangannya meremas kuat selimut yang menutupi tubuhnya. Semuanya terjadi dengan cepat dan begitu menyakitkan. Ia pikir hidupnya telah hancur saat memutuskan untuk menerima tawaran Evelyn dulu. Tapi nyatanya sekarang ia merasa jika dirinya jauh lebih hancur lagi.
Diperlakukan begitu kasar dan tanpa perasaan oleh laki-laki yang telah sah menjadi suaminya walau hanya secara Agama, meninggalkan luka yang begitu mendalam baginya. Satu-satunya yang ingin ia lakukan sekarang hanya pergi jauh dan menyembunyikan diri dari laki-laki itu. Membayangkan akan bertemu dan kembali diperlakukan dengan cara yang sama menjadi hal yang begitu menakutkan untuknya.
Selama ini, Lily berusaha begitu keras untuk bersikap biasa saja saat secara tidak sengaja berpapasan atau menyapa Afraz lebih dulu walau tanpa balasan dengan ekspresi tidak peduli yang ditunjukkan laki-laki itu. Ia hanya ingin menjadi istri yang baik, sebagaimana agamanya telah mengajarkan.
Namun sepertinya Lily yang diam, tidak bertingkah dan bahkan tidak terlihat akan lebih baik bagi Afraz. Bagi seluruh penghuni rumah itu.
"Ibu, kak Lita, tolong. Tolong aku." Lirih Lily dan kembali terisak. "Maaf, maaf karena belum bisa menjadi sekuat kalian. Harusnya ini bukan apa-apa jika mengingat bagaimana perjuangan kalian untukku. Maafin aku." Tangis Lily pecah. Ia menutup seluruh tubuh hingga kepalanya untuk meredam tangisnya yang semakin menjadi.
"Aku pikir aku akan baik-baik saja hingga bisa menyelesaikan tanggungjawabku, tapi nyatanya---" Lily meneggelamkan wajahnya pada bantal. Ini adalah awal dari kontrak perjanjian yang ia tanda tangani. Dia tidak bisa menyerah sekarang dan menjadi selemah ini.
Dengan pelan dan tertatih, Lily berjalan menuju kamar mandi. Duduk dibawah shower dalam kurun waktu yang cukup lama. Saat merasa tubuhnya mulai menggigil, Lily membersihkan diri dan mengambil wudhu. Ia butuh sholat agar pikiran dan hatinya kembali tenang.
Setelah menyelesaikan beberapa rakaat sholat tahajud dengan airmata yang tidak bisa ia tahan untuk tidak mengalir deras, suara adzan subuh berkumandang. Lily memutuskan untuk sholat sebelum tidur meringkuk diatas sejadah lengkap bersama mukena yang belum ia lepaskan.
●●●
Kurang lebihnya cerita ini, tolong dikasih masukan yaaa
.
Selasa, 12 November 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL [ SELESAI ]
RandomLily menyadari kehidupan yang ia jalani tidak sebaik kehidupan kebanyakan orang pada umumnya. Banyak hal menyakitkan yang harus ia lalu di usia remaja. Kabur dengan kakaknya dari rumah untuk menghindari Ayah mereka yang bertempramental buruk hingga...