Dua Puluh Tujuh

6.7K 488 17
                                    

Lily terbangun saat merasakan perutnya melilit, minta di isi makanan. Melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 03.30, ia memutuskan untuk Shalat tahajud terlebih dahulu.

Hingga 30 menit kemudian, Lily melepas mukenanya dan berjalan menuju dapur. Samar, ia bisa mendengar suara kompor yang dihidupkan. Lalu suara wajan yang beradu dengan spatula.

Entah siapa yang tengah memasak tengah malam begini, membuat Lily ingin mengurungkan niat untuk ke arah tempat tersimpannya banyak makanan itu.

Pelan, Lily mengintip dari kejauhan. Sosok tubuh tegap dengan kaos putih polos yang tipis tengah berada di depan kompor. Lily jelas mengenal sosok tersebut. Satu-satunya orang yang memiliki fisik nyaris sempurna di rumah ini hanya Afraz.

Lily menghembuskan nafas kasar, rasanya ingin menangis saat ia sudah merasa begitu lapar namun tidak berani mendekat ke dapur karena keberadaan laki-laki itu.

Mungkin Lily bisa menunggu beberapa menit hingga Afraz pergi. Karena di pagi hari, dapur akan lebih ramai lagi oleh para pekerja.

Dan semenjak para pekerja rumah mengetahui keadaannya yang tengah mengandung, karena tidak bisa lagi menyembunyikan perut besarnya. Lily merasa mulai di kucilkan.

Mengetahui itu, Evelyn tentu tidak tinggal diam. Ia menegur para pekerja rumah yang tidak sengaja tengah membicarakan Lily. Dan meminta mereka menghormati serta menghargai Lily sebagaimana mereka menghormati dan menghargai Evelyn.

Namun itu hanya para pekerja rumah lakukan hanya jika Lily tengah bersama Evelyn. Dan selebihnya, mereka memperlakukan dan memandang rendah Lily tanpa mau peduli bagaimana perasaan perempuan itu.

“Kenapa diam di situ? Bukankah kamu keluar untuk makan?” ujar Afraz tiba-tiba, membuat Lily tersentak dan memandang sekelilingnya. Mungkin ada sosok lain yang Afraz maksud.

“Lily.” Panggil Afraz lagi saat Lily tetap bergeming di tempatnya.

Lily terlihat bingung, antara keluar dari persembunyian atau tidak. Lagi pula, dari mana Afraz tahu jika dirinya bersembunyi di sana.

“Saya enggak salah orang kan? Saya bisa melihat bayanganmu dari sini.” Kata Afraz datar, seolah bisa membaca pikirannya.

Andai Lily tidak merasa begitu lapar hingga perutnya terasa panas. Mungkin ia lebih memilih kembali ke dalam kamar. Sekarang ada janin yang harus ia pikirkan dan utamakan.

Lily menarik nafas dari hidung, lalu menghembuskannya pelan dari mulut, sebelum berjalan menuju dapur.

Menyadari bagian tubuh bawah Afraz yang ternyata menggunakan sarung yang terlipat rapi layaknya orang yang akan menjalani kewajibannya, membuat Lily cukup tertegun. Tubuh yang biasanya dilapisi setelan kerja mahal yang membuatnya terlihat angkuh itu kini terlihat sederhana dan alim, serta sedikit——

Ramah?

Dan entah kenapa, perasaan takut yang biasa melingkupi Lily saat berada di dekat Afraz mulai terkikis.

“Makanlah.” Nada dingin Afraz yang menyodorkannya sepiring nasi serta lauk membuat Lily menyesalkan pikiran baik tentang laki-laki itu yang sesaat sempat menghampiri kepalanya.

Lily menggumamkan kata terima kasih sebelum menyantap makanannya dengan cukup tergesa-gesa. Berharap bisa cepat-cepat menjauh dari Afraz, rasanya benar-benar tidak nyaman.

“Saya bisa minta tolong?” kata Afraz saat menyadari Lily yang akan beranjak dari duduknya begitu menyelesaikan makannya.

“Apa yang bisa sa—“

“Saya ingin membacakan Al-Quran untuk anak saya.”

Anak saya?

Jadi maksud Afraz, Lily akan berada di dekat Afraz lebih lama lagi?

PAINFUL [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang