"Assalamu'alaikum." Ujar Lily yang berada didalam rumah saat mendapati Lita membuka pintu tanpa disertai salam.
Menyadari sindiran adiknya, Lita hanya tersenyum tipis tanpa berniat membalas ucapan salam Lily.
"Kamu lagi apa?" Tanya Lita sebelum mendapat protesan dari Lily.
"Ngerjain PR kak."
"Dari siang ngapain saja, kok baru sekarang ngerjainnya?" Lita menatap Lily dengan pandangan selidik, yang mau tidak mau membuat gadis itu merasa gugup.
"Nggak ada sih kak, cuma pingin ngerjainnya sekarang saja." Jawab Lily berusaha terlihat biasa saja. Ia benar-benar tidak pandai berbohong didepan Lita.
"Yakin? Jangan-jangan dari siang kamu tiduran terus."
Lily hanya tersenyum lebar menampakkan deretan giginya tanpa berniat membalas ucapan kakaknya tersebut.
"Jangan biasakan diri ngerjain PR pas malam-malam begini Ly. Nanti kalau kamu tiba-tiba ngantuk, PR nya malah ditinggalin. Pas disuruh ngumpulin malah belum jadi, terus kena hukuman. Itu juga akan berpengaruh sama nilai kamu. Kakak nggak mau-----"
"Iya kak Lita, maaf. Nggak akan aku ulangin lagi. Tadi kak Lita pulang sama siapa?" Tanya Lily memotong sekaligus mengalihkan pembicaraan, agar Lita tidak melanjutkan ucapannya.
"Raka, dijemput sama dia tadi."
Entah kenapa, jawaban itu membuat hati Lily merasa tercubit. Namun buru-buru ia mengenyahkan pikirannya dan tersenyum lebar pada Lita. "Kak Raka sahabat yang baik banget ya kak." Ujarnya.
Lita menggeleng, merasa tidak setuju. "Bukan cuma baik banget, tapi baik baik baik banget Ly."
Lily tersenyum mendengar balasan kakak perempuannya itu. Benar, satu kata baik tidak cukup untuk mendeskripsikan betapa baiknya Raka pada mereka. Atau lebih tepatnya pada Lita, sahabat yang selalu ditatapnya dengan penuh cinta.
Dan Lily tidak buta untuk menyadari hal itu. Tapi entah kenapa Lita yang menerima tatapan itu malah tidak menyadarinya.
"Ya sudah, kamu lanjutin ngerjain PR nya. Kakak mau mandi dulu."
"Nggak makan dulu kak? Sudah aku siapin di meja makan." Tawar Lily dan dibalas gelengan Lita.
"Kakak mandi dulu, setelah itu baru makan."
Lily hanya mengangguk dan kembali mengerjakan PR yang harus ia kumpulkan di jam pertama besok.
○
"Ini uang belanja sama untuk bayar SPP kamu." Lita menaruh beberapa lembar uang seratus ribuan di atas buku Lily yang baru saja menyelesaikan PR nya.
Lily mengambil tiga lembar dan mengembalikan sisanya kepada Lita. "Segini saja cukup kak, aku masih ada simpanan uang yang bulan kemarin kakak kasih. Sisanya itu kakak pakai untuk bayar uang kontrakan saja." Terang Lily saat mendapati raut bingung Lita.
"Bagaimana bisa masih ada simpanan? Memangnya kamu nggak belanja atau membeli keperluan sekolah kamu?"
"Ya belanja kak, untuk keperluan sekolah nggak begitu banyak yang harus dibeli. Jadi sisanya masih lumayan untuk dipakai belanja." Jelas Lily dengan senyuman, berharap Lita percaya dan tidak bertanya lebih banyak lagi.
"Yakin? Kamu nggak nahan-nahan diri untuk nggak beli apa yang kamu mau kan? Apalagi sampai biarin diri kamu lapar di sekolahan." Lita menatap Lily dengan mata memicing.
"Ya nggak lah kak. Hanya saja beberapa hari ini aku puasa untuk ganti puasa aku yang rusak di bulan Ramadhan kemarin, jadi jarang belanja juga kak."
"Beneran?"
Lily menghela nafas kemudian menatap langsung mata Lita. "Iya kak. Kalau kakak sudah ganti puasa yang rusak dibulan Ramadhan kemarin?"
"Besok." Jawab Lita acuh.
"Besok besok terus, keburu bulan Ramadhan lagi loh kak." Peringat Lily lembut.
Entah kenapa setiap kali membahas tentang kewajiban mereka sebagai umat muslim, Lita selalu terlihat tidak begitu peduli. Hal yang kadang membuat Lily sedih sekaligus kecewa pada kakak perempuan satu-satunya itu.
Baginya, salah satu cara ia menyayangi Lita adalah memastikan kakaknya itu tidak meninggalkan kewajibannya. Ingat, tidak selamanya mereka hidup di dunia ini. Lily juga ingin kembali berkumpul dengan Lita di akhirat kelak, tentunya bersama Ibu mereka juga.
"Iya bawel, sudah sana tidur. Besok sekolah."
"Kakak juga, besok kan kerja."
"Iya. Sisa uang ini jadi kakak gunakan untuk bayar kontrakan bulan ini ya."
Lily mengangguk setuju, lalu membereskan buku-bukunya.
"Aku tidur duluan ya kak."
Lily berjalan menuju kamar dengan nafas lega. Beruntung Lita tidak menanyakan lebih banyak lagi mengenai uang yang ia simpan.
Karena sejujurnya ia memiliki simpanan uang yang lebih dari cukup untuk membayar SPP atau kebutuhannya hingga beberapa bulan kedepan ia lulus SMA.
Gaji yang Lily dapatkan dari bekerja paruh waktu sangat jarang ia pakai dan memutuskan menyimpan uang-uang itu dengan baik agar bisa ia gunakan untuk keadaan mendesak dimasa mendatang.
○○○
"Ly, ditempat kerja kamu nggak lagi buka lowongan pekerjaan?" Tanya Syeila pada Lily yang tengah menikamati makan siangnya di kantin sekolah.
"Kayaknya nggak, kenapa? Kamu mau kerja paruh waktu juga?"
Syaila menagangguk.
"Memangnya sedang butuh uang?"
Kali ini Syaila hanya mengangkat bahu, yang membuat Lily menatapnya bingung. Jika dilihat dari penampilan, Syeila tidak terlihat dari kalangan orang kurang mampu. Bahkan beberapa kali Lily melihatnya diantar atau jemput dengan sebuah mobil mewah.
"Jangan bilang kalau kamu mau kerja hanya agar bisa melihat atau berinteraksi dengan pak Raka setiap hari."
Wajah cengengesan Syeila membuat Lily mendengus.
"Nggak ada Syei, nggak ada lowongan." Tegas Lily.
"Ya ampun Lily, takut banget sih punya saingan kayak aku." Gerutuan Syeila membuat Lily memandangnya dengan kedua alis yang terangkat.
"Beneran lagi nggak buka lowongan Syei. Aku hanya berpikir jika kamu membutuhkan uang mungkin aku bisa sedikit bantu. Tapi kalau tujuan kamu cuma untuk main-main mending nggak usah, lebih baik memberikan pekerjaan itu pada yang lebih membutuhkan kalaupun misal nanti lagi buka lowongan." Jelas Lily panjang lebar.
"Aku juga kan butuh, butuh kepastian dari Mas Raka."
Lily hanya menutar bola mata malas dan kembali melanjutkan makannya.
Apalagi tadi, Mas?
"Nggak asik ah kamu." Gerutu Syaila pada Lily yang tidak lagi menghiraukannya.
○
○
○
Lapak ini masih sepi ya, kayak kuburan 😂
.
Rabu, 18 September 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL [ SELESAI ]
CasualeLily menyadari kehidupan yang ia jalani tidak sebaik kehidupan kebanyakan orang pada umumnya. Banyak hal menyakitkan yang harus ia lalu di usia remaja. Kabur dengan kakaknya dari rumah untuk menghindari Ayah mereka yang bertempramental buruk hingga...