"Enak banget ya jadi si Lily. Sudah terlambat, tapi malah dapat senyum manisnya Pak Raka."
"Iya. Coba kalau kita yang terlambat, sudah pasti dipecat."
Lily hanya menghembuskan nafas kasar mendengar sindirian dari teman kerjanya. Raka bukanlah orang yang akan memecat karyawannya hanya karena datang terlambat. Ia bahkan masih bersikap baik jika beberapa dari mereka terlambat datang dengan alasan yang jelas, bukan hanya pada Lily.
"Sana, layani para pelanggan. Sudah datang terlambat, malah mau santai-santai disini sama kita yang lebih dulu mulai bekerja."
Lily hanya menurut tanpa berniat membalas ucapan teman kerjanya. Bukan karena lemah, ia hanya tidak suka membuat keributan. Merasa tidak perlu bicara jika diamnya bisa membuat keadaan tenang dan damai. Sepertinya mereka juga bukan tipe orang yang jika dibalas akan jera, tapi malah sebaliknya.
"Antarkan ini pada meja nomor delapan." Lily mengangguk dan membawa nampan berisi pesanan seorang gadis yang duduk meja dekat jendela.
"Syeila?" Gumam Lily mendapati teman sekelas sekaligus teman dekatnya disekolah itu duduk pada kursi yang akan Lily tuju.
"Hei." Ujar gadis cantik itu tersenyum lebar. Ia melambai-lambaikan tangannya pada Lily yang memandangnya dengan alis bertaut.
"Kamu ngapaian disini?" Tanya Lily sembari memindahkan makanan di nampan yang ia bawa pada meja dihadapan Syeila.
"Ya menikmati makanan yang baru saja kamu sajikan ini. Memangnya kenapa lagi." Jawab Syeila yang tidak langsung dipercayai oleh Lily.
"Yakin?" Lily memandang penuh curiga pada Syeila.
"Ya iyalah."
"Ya sudah, selamat menikmati makananmu."
"Temenin." Pinta Syeila, memberikan pandangan memelas pada gadis berhijab yang berdiri di hadapannya itu.
"Nggak bisa La. Aku masih di jam kerja, bisa-bisa aku di pecat nanti."
"Nggak mungkin lah Ly. Boss kamu kan orangnya baik, ramah, ganteng banget lagi." Syeila tersenyum manis saat mengingat bagaimana tingkah laku Raka saat berinterksi dengan beberapa pelanggan cafenya, termasuk dirinya.
Lily hanya menggelengkan kepala saat mengamati ekspresi Syeila ketika membicarakan Raka.
Iya. Raka memang tipe laki-laki yang akan digandrungi dan diidolakan oleh banyak wanita. Selalu bersikap ramah tanpa membedakan jenis kelamin atau usia lawan bicaranya.
"Tapi bukan berarti dia akan diam saja saat melihat karyawannya bermalas-malasan di jam kerja." Kata Lily meninggalkan Syeila dengan bibir mengerucut lucu.
○○○
"Wah, kita beruntung ya bisa kerja di Restoran ini. Nggak pernah sepi, ramai terus."
"Iya. Pemilik Restorannya juga baik banget. Nggak tanggung-tanggung ngasih kita bonus. Walau posisi kita hanya sebagai waiters."
"Sudah cantik, baik, kaya. Bu Evelyn kurang apalagi coba. Suaminya beruntung banget dapatin dia."
Lita hanya tersenyum mendengar komentar dari teman-temannya terhadap pemilik Restoran tempat mereka bekerja, Evelyn. Wanita yang seumuran dengannya itu benar-benar beruntung.
Memiliki segalanya di usia hampir duapuluh lima tahun. Tidak seperti Lita yang bekerja sana-sini demi bertahan hidup dengan adiknya. Kadang Lita berpikir jika Tuhan itu benar-benar tidak adil.
"Lit, ikut kita makan-makan yuk." Lamunan Lita buyar saat mendengar ajakan teman sesama waiters nya itu.
"Lain kali saja, kasian adik aku sendirian dirumah." Tolak Lita halus sembari menggantung seragam waiters nya pada loker didepannya.
"Enak ya punya kakak kayak kamu, sayang adik banget."
Lita hanya tersenyum mendengar ucapan temannya itu. Ia rasa bukan hanya dirinya, tapi semua kakak di dunia ini pasti akan menyayangi adiknya. Terlebih jika keadaan orangtua mereka seperti apa yang Lita alami.
"Aku duluan ya, bye." Lita berjalan keluar dari ruang ganti, melewati dapur dan keluar dari pintu belakang Restoran.
Langkahnya terhenti saat melihat Evelyn dan suaminya berdiri didepan mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat Lita berdiri. Terlihat tengah terlibat pembicaraan serius.
Tidak ingin menganggu dengan lewat didepan mereka. Lita memutuskan untuk menunggu hingga mereka meninggalkan halaman Restoran. Tidak bermaksud menguping, samar-samar Lita bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Please sayang, jangan terlalu memikirkan perkataan Ibu. Aku nggak mau kamu sampai stres begini. Lihat, sekarang kamu terlihat kurusan." Nada suara laki-laki tampan yang Lita ketahui sebagai suami Evelyn itu terdengar khawatir. Bahkan terlihat jelas dari raut wajahnya.
"Gimana nggak aku pikirin Mas, ini masalah serius. Menyangkut rumah tanggak kita dan juga keluarga mu Mas." Kening Lita mengerut mendengar suara putus asa Evelyn.
Pasalnya, yang ia tahu bos nya itu selalu terlihat baik-baik saja dengan senyum yang sering kali terpatri di wajah cantiknya. Terlihat tidak sedang mengalami atau bahkan tidak pernah mengalami masalah dalam hidupnya.
"Tunggu, kenapa aku peduli." Gumam Lita menggelengkan kepalanya.
Tidak ingin mendengar lebih banyak pembicaraan sepasang suami istri itu, Lita memutuskan memasang earphone ditelinganya dan memutar lagu dari salah satu penyanyi favoritnya.
Lita bersandar pada pohon besar yang ada dibelakangnya dengan mata terpejam, sesekali membuka mata untuk memastikan Evelyn dan suaminya sudah pergi atau belum.
"Lita." Panggilan dari suara yang tepat berada ditelinga sebelah kirinya membuat Lita terlonjak. Ia membalik tubuh dan berdecak saat mendapati Raka yang menatapnya dengan alis bertaut.
"Kenapa disini? Nggak pulang?" Tanya Raka.
"Ini mau pulang. Kamu sendiri kenapa disini?"
"Menurut kamu?"
Lita menghembuskan nafas kasar, menatap Raka dengan pandangan yang sulit di artikan.
"Kamu nggak perlu sebaik ini sama aku Ka. Untuk bantuan kamu yang kemarin-kemarin saja aku sudah sangat berterimaksih dan nggak tahu gimana cara balasnya."
"Berhenti untuk berpikir cara membalas kebaikan aku Lit. Kita ini teman, dan aku bantu kamu tanpa mengharapkan apapun."
"Tap---"
"Justru keberadaan kamu dikota ini membuat aku cukup bersyukur. Setidaknya aku merasa memiliki keluarga."
Lita tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Ia menatap teduh Raka. Sejujurnya keadaan mereka tidak jauh berbeda. Raka sebatang kara.
Lima tahun yang lalu kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas dan meninggalkannya seorang diri. Disaat ia dipusingkan oleh tugas-tugas kuliah, ia juga harus bekerja keras menghandle usaha yang ditinggalkan orangtuanya. Yaitu Cafe yang dikelolanya sekarang.
Raka juga tidak memiliki saudara, ia anak tunggal sama seperti kedua orangtuanya. Ia hanya memiliki seroang Nenek yang tinggal dikampung halaman orangtuanya.
"Ayo pulang, ini sudah hampir larut malam."
Lita hanya menurut saat Raka menuntunnya menaiki motornya.
○
○
○
Selasa, 17 September 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL [ SELESAI ]
RandomLily menyadari kehidupan yang ia jalani tidak sebaik kehidupan kebanyakan orang pada umumnya. Banyak hal menyakitkan yang harus ia lalu di usia remaja. Kabur dengan kakaknya dari rumah untuk menghindari Ayah mereka yang bertempramental buruk hingga...