Dua Puluh Dalapan

7.3K 498 27
                                    

Aku usahakan 2 part lagi cerita ini selesai ya 😉

***

Lily masuk ke dalam kamar tidurnya dengan degup jantung yang jauh dari kata normal. Usapan lembut Afraz pada perutnya selama membacakan Al-Quran untuk janinnya masih begitu terasa. Terlebih saat laki-laki itu mengecup cukup lama perut buncitnya dari luar pakaiannya setelah selelai membacakan Al-Quran tadi hampir membuatnya tidak bisa bernafas.

"Ya Allah... Perasaan seperti apa ini."

Entah kemana hilangnya rasa takut yang selama ini Lily rasakan setiap kali melihat wajah Afraz. Karena tadi laki-laki itu terlihat sangat jauh berbeda. Bersikap begitu hangat dan lembut, walau hanya sesaat.

Kembali mendapatkan perlakuan yang sudah cukup lama tidak Lily dapatkan, membuat air matanya mengalir tanpa ia sadari. Tiba-tiba merindukan sosok Ibu serta Kakak yang terakhir kali ia jenguk 2 minggu lalu.

Bahkan hal yang selama ini ia harpkan dari Afraz, bisa ia dapatkan. Yaitu kata 'Maaf' dari suami sirinya itu.

Usai mengecup cukup lama perut Lily, Afraz beranjak dan duduk di samping tubuh perempuan yang terdiam kaku dengan detak jantung yang begitu keras dan nafas tertahan.

"Terimakasih." Ucapan Afraz yang terdengar begitu tulus membuat Lily tersadar dan menganggukkan kepala pelan.

"Maaf." Suara itu terdengar lirih, namun mampu membuat Lily menoleh dengan cepat. Mendapati Afraz menatapnya dalam.

"Saya tahu perlakuan saya beberapa waktu lalu begitu buruk. Dan saya ingin meminta maaf."

Kenapa baru sekarang!

Rasanya Lily ingin meneriakkan hal tersebut pada Afraz, tapi tentu saja keberaniannya tidak sebesar itu. Jadi, yang bisa Lily lakukan hanya diam.

Memberi maaf tentulah hal yang mudah untuk Lily lakukan, terlebih saat mendapati Afraz yang terlihat dan terdengar bersungguh-sungguh. Tapi bagaimana ia akan melupakan kejadian tersebut?

Bayang-bayang kejadian itu kadang masih menghampiri pikiran dan mimpinya di malam hari.

Bagaimana buruknya Afraz memperlakukannya malam itu membuat runtuh hampir seluruh kepercayaan diri Lily. Rasanya benar-benar seperti sesosok orang yang tidak berharga. Walau jelas Afraz memberikan harga dengan nilai yang sangat banyak, tapi bukan berarti ia telah mempersiapkan diri dengan perlakuan buruk yang sebelumnya tidak pernah Lily bayangkan akan di lakukan oleh Afraz.

Bukankah statusnya juga sebagi istri sah, walau hanya di mata Tuhan. Tapi ia berhak mendapatkan perlakuan yang lebih baik.

Tidak mendapat respon dari Lily, Afraz kembali melanjutkan. "Saya enggak akan menuntut untuk bisa kamu maafkan, karena itu hak kamu. Tapi saya harap kamu lebih bisa menerima keberadaan saya saat berada di sekitar kamu. Saya ingin ikut menjaga dan memastikan anak saya baik-baik saja. Dan perlu kamu ingat, saya juga memiliki hak untuk itu."

Tentu saja, Afraz ataupun Evelyn memiliki hak apapun atas diri Lily selama kontrak perjanjian mereka masih berlaku. Sedang Lily, bahkan merasa tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri.

"Masuklah tidur. Saya pikir kamu butuh lebih banyak istirahat, demi kabaikan anak saya."

Mengingat percakapan terakhir mereka, membuat Lily menghembuskan nafas kasar.

"Sadar Lily. Semua perlakuan baiknya tadi hanya untuk janin ini, bukan untukmu. Jangan terlena, apalagi sampai lupa diri." Gumaman yang Lily tunjukkan untuk dirinya sendiri membuatnya merasa miris.

PAINFUL [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang