Dua Puluh Satu

6.4K 462 20
                                    

“Bibi Nah, ini apinya bisa dimatikan? Sayurnya sudah matang.” Beritahu Lily yang tengah membantu memasak makan malam.

“Oh, iya Ly. Matikan saja.”

Lily menganggukkan kepala lalu mematikan kompor. Ia mengambil kain lap untuk melapisi tangannya saat memindahkan panci tempat sayur pada meja yang berada beberapa langkah di belakangnya. Kemudian menuang sebagian sayur sop tersebut pada sebuah mangkuk bening yang berukuran cukup besar.

“Ada yang bisa aku bantu lagi bi?” tanya Lily.

“Sudah, kamu istirahat saja. Nanti biar bibi yang selesaikan. Ini juga kan banyak yang bantu bibi.” Balas bibi Nah, melirik beberapa asisten rumah tangga lainnya yang tengah sibuk dengan tugas masing-masing.

“Ya kan nggak apa-apa bik. Lagian nggak baik kerja setengah-setengah, harus dikerjakan sampai selesai. Aku istirahatnya nanti kalau semuanya sudah siap.”

Bibi Nah hanya bisa menggelengkan kepala akan kekeraskepalaan Lily. Beruntung ia bersikap keras kepala dalam hal yang baik.

“Ya sudah, kamu tolong pindahkan makanan yang sudah siap saji ke meja makan ya.”

“Iya.”

Lily membawa dua piring lauk sekaligus ditangan kanan kirinya. Menatanya pada meja makan yang berukuran cukup besar. Lalu kembali mengambil lauk lainnya hingga saat menaruh lauk terakhir, Lily mendengar suara derap langkah beberapa orang yang mendekati meja makan.

Belum sempat Lily berbalik untuk pergi, suara Evelyn lebih dulu menghentikan langkahnya.

“Lily, mau ke mana? Ikutlah makan malam bersama kami di sini.”

“Saya makan malamnya nanti saja Bu Evelyn, permisi.” Tolak Lily sopan dan berjalan cepat meninggalkan ruang makan saat menyadari laki-laki yang berjalan berdampingan bersama Afraz di belakang tubuh Evelyn. Lily memang tidak mengenalnya, namun ia sering melihat laki-laki itu menemui atau menjemput Syeila di sekolah.

Lily menghela nafas lalu duduk pada kursi yang berada di dekat jendela kamar, memandang langit malam yang terlihat semakin gelap karena tidak ada bintang yang menghiasi. Bahkan bulan tertutup awan hitam.

Sejak beberapa minggu yang lalu Lily bertemu Adam di Masjid depan Rumah Sakit, laki-laki itu sering datang berkunjung dan mereka akan menghabiskan waktu dengan mengobrol di halaman belakang atau tepi kolam berenang.

Membicarakan kisah masing-masing di sekolah dulu atau sharing tentang banyak hal. Saking nyamannya saat menghabiskan waktu bersama Adam, Lily bahkan sampai tidak sadar hampir menceritakan kehidupan pribadinya saat laki-laki itu menyinggung tentang orang tuanya.

“Apa orang tuamu nggak khawatir kamu tinggal terpisah dengan mereka.”

Lily menggelengkan kepala dengan senyum sedih.

“Mana mungkin nggak Ly, yang namanya orang tua pasti akan mengkhawatirkan anak-anaknya.” Kata Adam lembut, terlebih saat mendapati raut wajah Lily yang tiba-tiba terlihat sedih.

“Iya, bukankah memang sudah seharusnya orang tua mengkhawatirkan anak-anaknya?”

Mendengar pertanyaan Lily, Adam terlihat bingung.

“Tapi sayang, sepertinya orang tuaku nggak seperti orang tua pada umumnya.”

“Maksud kamu?” tanya Adam dengan alis yang berkerut dalam.

Lily membalik wajah, menatap Adam. Dan tidak lama kemudian menggelengkan kepala. Hampir saja. Hampir saja ia menceritakan masalah pribadinya pada laki-laki yang baru beberapa hari ia kenal itu.

PAINFUL [ SELESAI ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang