Malam mulai beringsut melihat mentari mengintip dari arah barat
Si Kalong turut menepi untuk kembali ke ranjang berselimutkan daun pisang
Untaian Dzikir melompat-lompat riang kepada-Nya
Megah dan indah terlukis di atas kepalaMegap-megap embun menitik ke daun itu
Burung kutilang di pohon itu juga tidak lupa melengkingkan pujian untuk-Nya
Begitu pula pohon itu, lentik ranting menghitung nikmat yang tak terkiraLangit mendung seketika kala matahari mulai memerah
Langit perlahan tersedu dan enggan berucap seperti badai pada hari sebelumnyaBumi bingung
Dan mulai menggoda langit dengan aroma mawar lalu menguapkan air kepadanya
Namun Langit menolak, Ia kembalikan dengan sebuah rinai pembasuh mimpiLangit perlahan mengaduh
Ia kesal pada matahari jika meninggi
Karena apabila siang bertandang
Mata-mata jahat silih berganti memandanginya, Ia malu.
Seringkali wajah indahnya Ia tutupi dengan bercadarkan awan yang berarak
Namun Angin lalu lebih suka menjamah awan tersebut, dan Langit kembali telanjangApalagi ketika senja tinggal sendiri
Semua orang terpesona dan memandangi Langit
Bahkan ada yang ingin memilikinya
Sungguh, Ia sangat maluNamun jika malam hari
Langit tampak bahagia, atau itu karena Ia ikut mengistirahatkan kerisauan
Langit tampak lebih tenang
Pada malam hari tak seorang pun peduli padanya, kecuali kaum perindu yang mendamba temu
Terlebih kala Langit berteman dengan kegelapan
banyak orang malah ketakutan melihatnyaKini Bumi paham
Kisah Langit memberi bukti bahwa banyak yang berpijak padanya, namun lupa Akan-Nya(Pekanbaru, 8 November 2019)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersemayam di Kaki Bulan
PoetrySebelum malam menetak hari Senja perlahan menyeka cahaya jingga Menyediakan waktu untukku mengarak langkah menuju timur Walau barat lebih tampak menyilaukan Aku berupaya berdamai dengan dunia dan seisinya Lantas aku bersemayam di kaki bulan bersama...