Aku menarik nafas berat. Jantungku berdebar cepat. Kutatap gapura gerbang sekolah menengah atas yang menjadi favorit di kotaku. Hari ini adalah hari dimana tes tertulis diadakan. Aku sudah menghabiskan waktu tidurku malam ini untuk belajar demi bisa masuk ke sekolah ini. Semoga keberuntungan berpihak padaku.
Ujian masuk berlangsung tenang. Disampingku seorang gadis berkerudung lebar. Tubuhnya mungil dan wajahnya sangat cantik. Dia agak pendiam sepertiku. Kami tidak banyak bicara. Sebelum ujian dimulai, pengawas memberikan arahan pada semua peserta.
Aku berusaha melakukan ujian semampuku. Ada banyak mata pelajaran yang diujikan dan sejauh ini bisa kulakukan. Kecuali matematika. Aku menyerah saat mengerjakan soal matematika ke tujuh jika aku tidak salah ingat. Sulit sekali.
"Permisi, kamu punya pensil tambahan?"
Aku terkejut dan nyaris terjungkal. Pria dia di depanku tiba-tiba berbalik saat aku sedang fokus menghitung. Pengawas sempat bertanya dan tentu saja kubilang tidak apa-apa.
"Saya pinjam pensil, bu"
Dia berucap kalem. Pengawas hanya mengangguk mengerti saat melihatku memberikan pensil untuknya. "Pinjam dulu yaa...."
Satu persatu peserta ujian menyelesaikan ujiannya. Aku masih diam ditempat lantaran belum selesai. Masih ada lima soal lagi yang belum kukerjakan. Gadis disampingku melirik kertas jawabanku dan mengernyit.
"Belum selesai?" suaranya lembut dan sopan. Aku hanya mengangguk pasrah.
"Susah banget"
Tanpa kuduga, dia mendorong kertas jawabannya padaku. Matanya menatapku. Aku tentu saja langsung paham dan segera menyalin jawabannya. Sambil berdoa semoga aku lolos seleksi dan menjadi siswa sekolah ini.
"Makasih ya..."
Dia hanya mengangguk. Membuka lembar soal dan jawaban miliknya. "Bantu aku soal yang ini."
Aku mengangguk dan memberikan jawaban untuk soal bahasa inggris yang belum diselesaikannya. Simbiosis mutualisme. Kami mengumpulkan lembar jawaban dalam waktu yang hampir bersamaan.
"Terima kasih ya. Tadi soal matematikanya susah banget" Dia hanya mengangguk menjawabku. "Namamu siapa? Aku Ami"
"Aku Halimah" ucapnya lembut. Suaranya benar-benar lembut. Dia gadis yang manis dan lemah lembut. Aku yakin dia akan menjadi sorotan para cowok nantinya. Tapi mungkin karena kerudungnya cukup lebar, cowok-cowok biasanya agak segan.
"Setelah ini langsung pulang?"
Dia hanya mengangguk. "Aku pulang naik angkot"
"Aku juga!" sambarku. Akan menyenangkan kalau aku punya teman diangkot nanti. Tapi aku hanya bisa pasrah saat dia menyebutkan tempat tinggalnya. Kita jelas berlawanan arah.
"Gak papa! Ayo ke gerbang dan naik angkot bareng"
Aku mengangguk setuju dan kami berjalan bersisian ke gerbang sekolah. Sambil melirik beberapa siswa SMA yang sudah menjadi siswa sekolah ini. Mereka akan menjadi kakak kelas kami nantinya. Kami terkikik melihat sepasang sejoli sedang mengobrol malu-malu di pojok gedung dekat gerbang.
"Permisi..."
Aku menoleh. Halimah juga. Kami menatap seorang pria tinggi berkacamata menatapku. Dia tersenyum simpul dan menyerahkan pensil padaku. "Pensilnya. Terima kasih ya. Maaf sudah merepotkan"
Aku mengangguk dan mengambil pensilku dengan canggung. Pria itu hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sekali lagi lalu pergi ke arah tempat parkir. Mungkin mengambil motornya disana. Aku dan Halimah saling bertatapan canggung.
Kami tidak banyak bicara setelah itu. Halimah langsung naik angkot segera setelah angkotnya tiba. Aku hanya mengangguk singkat saat dia pergi. Hari itu, tidak ada yang aneh sedikitpun denganku. Hari itu aku pulang penuh harapan.
---
Satu minggu kemudian aku kembali ke sekolah itu lagi. Masih dengan seragam SMP karena belum resmi jadi murid SMA. Selain itu hari ini aku hanya akan menerima hasil seleksi minggu lalu. Jantungku berdebar lebih keras. Semoga usahaku membuahkan hasil. Semoga aku diterima dan masuk sekolah ini.
"Ami!"
Kupikir itu Halimah yang memanggil. Tapi ternyata itu adalah Puti. Aku terkejut dan langsung menghampirinya. Memeluknya.
"Kamu daftar ke sini?"
Puti mengangguk. Puti adalah temanku saat sekolah dasar. Kami sempat dekat sejak kelas lima. Sayangnya kita terpisah karena melanjutkan di SMP yang berbeda. Lalu sekarang bertemu lagi. Semoga ini awal yang baik.
"Ayo! Kita disuruh masuk aula."
Kami langsung menuju aula. Sudah banyak peserta yang datang dan duduk rapi di sana. beberapa sudah bertemu dan mengobrol dengan teman mereka. Sisanya terlihat tegang dan gugup. Aku agak meringis. Jika bukan karena bertemu dengan Puti, aku mungkin akan jadi salah satu dari mereka.
Ada beberapa sambutan dari panitia pendaftaran sekolah hari itu. Juga dari kepala sekolah. Dan beberapa orang lainnya yang tidak begitu ku ingat. Aku hanya fokus pada amplop yang terlihat menumpuk di atas keranjang di meja panitia. Hasil keputusan seleksi.
Satu per satu peserta dipanggil namanya. Aku sudah mendengar beberapa orang menangis karena tidak lolos dan tidak berhasil masuk ke sekolah ini. Puti memucat lantaran takut menjadi salah satunya. Rambut pendeknya mengembang.
"Jangan llihat rambutku! Aku gugup banget nih!"
Namaku dipanggil lebih dulu dan aku meninggalkannya. Semoga Puti bisa menghadapi kegugupannya sendiri. Ku terima amplopku dengan tangan bergetar. Setelah di luar aula, seperti yang lainnya, kubuka amplopku dan kubuka kertas yang terlipat dengan jantung yang hampir meledak. Lalu mataku terbuka lebar saat melihat satu kata yang di cetak tebal.
"Ami, aku di terima!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...