Perhatian

6 2 0
                                    


Hari itu aku sedang flu. Repotnya, saat flu mataku akan terus berair. Persis seperti orang menangis. Mataku bengkak. Hidungku mampet. Kepalaku juga rasanya sakit. Jadi aku hanya menidurkan kepalaku di meja. Beralas tas, aku mencoba menyamankan diri. Aku tetap memaksa ke sekolah karena hari itu sedang ujian. Aku ingat sekali perjuanganku belajar dengan Kak Akbar malam sebelumnya. Akan sakit hati kalau aku tidak ikut ujian hari ini hanya karena flu. Lagipula aku sudah merasakannya selama hampir 16 tahun hidupku. Seharusnya tidak sulit.

Tapi faktanya saat ini aku tidak bisa bergerak. Kepalaku rasanya berat. Seolah ada batu di atasnya. Teman-teman yang belum memahaminya bertanya ada apa. Beberapa panik karena melihatku datang ke sekolah dengan berlinang air mata. Aku hanya tertawa.

"Sebenarnya kamu kenapa, Mi?" Sri bertanya khawatir. Terutama melihatku diam sejak datang ke kelas.

Aku hanya menggeleng. "Depresi, Sri. Gagal move on." Ucapku sekenanya. Mulutku bergerak sendiri tanpa memikirkan apapun. Sri hanya mendelik dan mencibir. Tapi tak bertanya lagi.

Aku kembali menidurkan kepalaku dan mencari posisi yang nyaman. Sampai aku merasakan tusukan di pelipisku.

"Ke UKS aja sana. Kenapa pula kamu harus ke sekolah kalau kurang sehat?"

Selalu. Rian selalu menyadari apa yang salah dariku lebih awal. Selalu dia menyadari ada yang tidak beres denganku sebelum yang lain bahkan menyadarinya. Puti bahkan kalah cepat dengannya.

"Engga. Aku ga papa kok. Cuma sakit kepala sama flu aja. Sudah tidur pun sembuh."

Rian menggeleng pelan. Dia pergi keluar dari kelas setelah menggasak rambutku. Aku mendengus karena rambutku berantakan. Tapi tak banyak tingkah. Tubuhku masih lemas.

Aku tidak tahu berapa lama aku tidur. Yang kutahu tubuhku diguncang perlahan. Rian menyodorkan roti dan susu padaku. "Makan. Biar tidurnya nyenyak. Anak PMR kok sakit."

Aku mencibir lagi. Menatap roti pemberian Rian. Sebenarnya aku tidak lapar. Tapi ibu pernah bilang aku tak boleh menolak pemberian orang lain. Paling tidak terima meski hanya untuk kesopanan. Yang mengejutkan, ada obat tidur juga disana. aku yakin dia mengambilnya dari persediaan di UKS.

"Gurunya ga datang! Lagi pergi ke daerah!" Chika berteriak kencang dari pintu. Aku bernafas lega. Setelah ujian di jam pertama tadi otakku rasanya mau meledak. Mungkin karena keadaanku sedang tidak optimal.

"Dia pergi ke daerah setiap minggu kayanya. Absen terus kalo ke kelas kita..." Roy bersiap untuk makan. Raka sudah tergeletak di lantai depan kelas.

"Sudahlah. Kamu juga senang. Aku tahu..."

---

Saat pulang sekolah, aku berencana pulang dengan Kak Akbar. Sayangnya Kak Akbar punya jadwal kuliah mendadak. Dia tak bisa menjemputku. Aku baru akan memaksa naik angkot saat Seno dan Rian menghampiriku dari parkiran sekolah.

"Pulang sama siapa, Mi? Di jemput ga?"

Aku menggeleng. "Kak Akbar sibuk. Pulang sendiri. Paling naik angkot."

"Ayok aku antar..."

Aku diam. Seno diam. Rian diam. Mereka saling lirik. Suasanan agak canggung setelah mereka mengucap kalimat itu bersamaan. Yuyu dan Puti datang hampir bersamaan.

"Pulang sama siapa, Mi? Jangan sendirian, deh. Ngeri aku kalo kamu tiba-tiba pingsan dijalan lalu diculik abang angkot." Aku langsung melotot pada Puti. Dia tertawa.

Selanjutnya Rian dan Seno berebut ingin mengantarku pulang. Aku agak risih. Dengan kepalaku yang sakit, aku naik dibelakang Rian. Membuat Seno menatapku protes.

"Kenapa dengan Rian? Motorku lebih nyaman, tahu."

"Kamu cerewet. Kepalaku sakit..."

Puti tertawa puas dengan kencang. "Yasudah kalo gitu kita ikuti Ami di belakang. Jadi kita bisa tolong kalau Ami pingsan dan jatuh di jalan." Dia naik di belakang Yuyu. Tak mau ambil pusing pada Kak Didi yang menggerutu pulang sendirian.

"Mulutmu loh, Put. Ucapan itu kan doa..." Yuyu menegur. Puti tak ambil pusing dan mereka mengikuti dibelakangnku dan Rian menuju rumahku.

"Sekalian, tadi pagi kan Ami bilang ibu bikin kue. Kali aja kita dapet bagian kalo mampir." Puti menjawab cengengesan. Aku hanya mengerang tak peduli. Kepalaku sudah terkulai di punggung Rian.

Sejak berteman dengan Rian dan Seno, orang bilang sifatku menjadi lebih bersahabat. Puti bilang aku lebih sering tersenyum dan menyapa. Sifat acuhku hanya berlaku pada orang yang benar-benar asing. Aku lebih terbuka pada hal-hal baru.

"Ada untungnya kamu patah hati, Mi. Jadi sifatmu perlahan berubah. Aku lebih suka kamu yang sekarang. Lebih bersahabat dan mudah diajak berteman."

Aku hanya mengangguk saat itu. Tak banyak pusing. Lagipula aku sendiri menyadari perubahat sifatku yang cukup signifikan.

"Nah, kamu kaya Ami dong. Jadi orang yang ramah sekarang. Jangan judes mulu, Chika. Pantas saja kamu jomblo dari dulu!"

"Biar saja. Aku ini jomblo karena ga mau sama cowok seperti kamu, Adi. Gitu saja kok ga paham. Dasar buaya!"

"Oh bagus kalau kamu tidak mau denganku. Aku juga ga mau sama kamu. Lebih baik aku pacari Ami saja. Kan, Mi?"

"Siapa bilang? Aku juga ga mau sama buaya. Hiih..."

Adi terkejut mendengar cibiranku. Mulutnya terbuka karena terlalu terkejut. Dia menyentuh dadanya dengan dramatis. "Ami, aku kaget kamu ngomong begitu. Kamu menyakiti aku. Jadi selama ini kita ini apa, Mi?"

Marcus mendorongnya dengan santai. "Kamu Cuma dianggap kakak, Di. Brotherzone. Sana mundur. Tahu dirilah..." ucapnya lantang. Dia duduk di meja sampingku dan dengan santai merangkul bahuku. Aku menepuk tangannya agar melepaskanku.

"Chill, Dude. Ga akan kuambil, kok. Kan Cuma teman..."

Aku menoleh tak mengerti. Marcus menatap Rian yang duduk dikursi meja yang didudukinya. Rian hanya memutar mata malas.

"Jatuh cinta sama teman sendiri itu sulit, Di. Apalagi kalau dia ga peka. Kalau aku, sudah mundur teratur..."

"Itu karena kamu ga berjuang. Teman itu harus diperjuangkan, Mar. Kalau engga, diambil orang nanti."

"Tapi kan Cuma teman, Di..."

Aku mencibir. "Kalau suka bilang dong. Jangan Cuma main kode. Memangnya aku perangkat komputer bicaranya pakai kode."

Keduanya menoleh terkejut. Langsung mendekat dan memegang tanganku. Keduanya menatapku dengan tajam. Aku menoleh pada Rian meminta tolong. Ini agak mengerikan.

"Iya Mi. Aku suka kamu... Ini aku sudah bilang..."

Chika yang sejak tadi menonton lama-lama jengah. Dia menggulung buku catatannya lalu memukul Marcus dan Adi satu persatu. "Dasar buaya. Semua aja kalian goda! Minggir sana, jangan rayu temanku. Sana!"

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang