Minggu ujian benar-benar membuat stres. Aku banyak mengalami kesulitan saat mengerjakaan soal ujian tertulis. Kami baru melakukan Ujian Sekolah, belum Ujian Nasional. Saat Ujian Praktik, aku lebih banyak berinteraksi dengan Rian. Walaupun hanya sebatas diskusi kelompok. Entah bagaimana, kami banyak bersama dalam tugas ujian kelompok.
Beruntungya aku, aku bisa bersikap profesional selayaknya Rian. Bersikap seolah kami memang baik-baik saja dan tidak terlibat masalah apapun. Rian dan Seno sudah tidak lagi aktif dalam Tim PD. Sekolah sudah mulai mencari tim baru. Mereka lebih fokus pada belajar. Kami juga mulai sibuk memilih universitas baik negeri maupun swasta yang kami inginkan. Aku mulai berkonsultasi dengan orang tua dan BK mengenai jurusan dan tempat kuliahku.
Yang membuatku terkejut, aku mendengar selentingan kabar kalau Rian mendapat beasiswa. Aku tidak tahu bagaimana, tapi Puti ataupun Seno tidak pernah membicarakannya. Rian sendiri tidak membicarakannya saat kita berempat berkumpul di minimart. Tidak ada yang mengatakan apapun padaku soal beasiswa. Tapi teman-teman yang lain heboh kalau Rian dapat beasiswa.
Saat itu, aku hanya bisa diam. Aku tidak punya keberanian untuk bertanya kebenarannya. Puti dan Seno juga terlihat tak ingin membicarakannya. Jadi aku hanya bisa mendengarkan rumor tak jelas itu. Tanpa mendapat konfirmasi apapun.
Rasanya seolah Rian benar-benar sudah menjauh dariku. Segala yang kudengar tentangnya kini kudengar dari orang lain. Bukan lagi darinya sendiri. Dulu, aku selalu mendengar apapun keadaannya dari mulutnya sendiri. Selalu menjadi orang yang pertama mengetahui apapun tentang Rian. Bahkan aku satu-satunya orang yang tahu alasan sebenarnya Rian putus dengan Kak Mia.
Rian juga kian dekat dengan Melati. Dia kini lebih sering lagi membonceng Melati di belakangnya. Kadang aku muak saat melihat Melati tampak menatapku penuh kemenangan saat Rian mengantarnya pulang. Dan aku hanya bisa mendengus kesal.
Aku sudah baikan dengan Kak Juna. Mungkin karena kami memiliki masalah yang sama. Aku jadi lebih dekat lagi dengan Kak Juna. Sebagai teman. Kami kadang bertukar pendapat mengenai pelajaran. Atau tentang keadaan kami berdua yang ternyata cukup menyedihkan. Terjebak dalam pertemanan yang menyebalkan.
"Aku ingin lebih dari teman dengannya, tapi dia tidak memikirkannya. Aku merasa bodoh sekali, Ka."
"Itu juga yang kurasakan, Mi. Tapi aku menikmatinya. Aku tidak bisa seperti kalian berdua. Meninggalkan begitu saja tanpa sebab."
"Bukan tanpa sebab. Dia ga mau berteman denganku. Dan karena aku juga ga mau, aku memilih pergi. Dia kan ga suka aku."
Kak Juna menggeleng. "Aku kan sudah bilang, coba perhatikan sekelilingmu lebih teliti lagi. Dengan begitu kamu mungkin mendapatkan inti masalahnya."
"Aku ga bisa menemukan apapun, Kak. Aku masih bingung sampai sekarang."
Kak Juna menghela nafas pasrah. "Begini deh, Mi. Saat ini kamu suka dia. Tapi kamu jauhi dia. Kamu ga ingin berusaha buat dia suka kamu juga?"
"Dia ga mau berteman denganku, menurutmu gimana caranya buat dia suka aku?"
"Lalu kalau tiba-tiba dia minta kamu jadi temannya, kamu mau bagaimana?"
Aku diam. aku tidak memikirkan ini. Rian sepertinya tidak akan mengajakku berteman lagi, kan? Ini sudah hampir tiga bulan sejak kami bertengkar. Tiga bulan. Dan tidak sedikit pun tanda kita berdua akan seperti dulu lagi. Lagipun sepertinya Rian sudah mulai dekat dengan Melati. Aku mungkin tidak bisa bertahan dengan kedekatan mereka.
Tapi tepat setelah Ujian berakhir, aku dikejutkan dengan kedatangan Rivan di gerbang sekolah. Dia memang sempat bilang akan menjemputku pagi tadi. Tapi aku tidak pernah membalas atau menyetujuinya. Ini membuatku benar-benar terkejut. Apalagi saat dia datang dengan setangkai mawar biru yang cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...