Baikan

6 2 0
                                    

Rian membawaku mampir ke minimart depan sekolah. Tanpa kata, dia memarkir motornya dan menarikku ke dalam minimart. Membeli tiga es krim yang salah satunya di berikan padaku. Aku tidak ingin bertanya untuk siapa es krim yang satunya. Dan aku masih tidak melihat Puti ataupun Seno. Mereka juga tidak menghubungiku.

Kami makan es krim dalam diam. Tidak ada yang bicara. Aku tidak ingin memulai pembicaraan lebih dulu. Terlalu gugup.

"Kamu harusnya jangan diam saja dong. Sudah jelas kamu tidak suka, jangan diam saja. Setidaknya abaikan dia sejak awal."

Aku agak terkejut mendengar Rian tiba-tiba bilang begitu. Ucapannya terdengar ketus dan sebal. Aku mengangkat wajah. Dia menatapku dengan agak tajam. Tapi pandangannya jelas-jelas sedikit lembut.

"Aku belum sempat bilang apa-apa. Kamu tiba-tiba datang."

"Jadi aku mengganggu?"

Aku diam. "Kurang lebih sih begitu."

Dia mendelik. "APA?!"

Aku menghela nafas sebal mendengarnya membentakku. "Kalau mau berantem, kenapa kamu ajak aku ke sini?"

Dia mendecak. "Kamu suka dia? Kalian kelihatan dekat?"

Aku mengangkat bahu. "Dia teman bicara yang menyenangkan."

Rian diam sebentar. "Kamu ga suka dia. Jadi tadi aku bantu kamu jawab. Kamu kelihatannya ga bisa jawab dia."

Aku diam. Itu memang benar. Selama hidupku, baru dua kali menghadapi pernyataan cinta. Pertama Kak Juna, kuterima. Dan ini adalah yang kedua. Kali ini aku tidak suka dia. Dan aku memang tidak tahu cara menolaknya. Rian membantuku.

"Kamu sendiri sepertinya sekarang dekat dengan Melati."

"Kami berteman."

Aku ingin menangis. "Aku bukan teman. Aku lupa."

"Bukan begitu, Mi."

Dia mengangkat kepala. Menatapku tepat di mata. "Maaf. Aku tidak bermaksud begitu, Mi. Aku terbawa emosi waktu itu."

Aku hanya diam. Aku menggeleng. "Tak apa, Yan. Aku tahu diri. Aku memang egois. Wajar kalau kamu ga mau berteman denganku."

"Aku ga bermaksud begitu, Mi. Aku keterlaluan hari itu. Dan aku terlalu malu untuk meminta maaf padamu. Aku sadar kata-kataku terlalu kasar dan sudah pasti menyakitimu. Aku minta maaf."

"Apa bedanya dulu dengan sekarang, Yan? Aku tetap egois. kenapa kamu harus minta maaf? Aku bahkan tidak berhak marah. Aku sadar aku egois dan aku tahu itu. Aku ga berhak marah. Ga ada yang perlu dimaafkan."

Ya. Ga ada yang perlu dimaafkan. Semua Cuma karena keegoisanku yang ingin memiliki Rian untuk diriku sendiri. Juga karna sifat pengecutku yang tidak ingin dekat dengannya lagi.

"Lantas kenapa kamu menjauh, Mi?"

"Bukan Cuma aku yang menjauh."

Kami diam. Sama-sama menyadari kalau ucapan kami memang benar. Yang menjauh bukan Cuma aku. Rian juga berusaha untuk tidak banyak berinteraksi denganku. Aku tidak tahu alasannya. Tidak ingin tahu juga. Aku takut itu akan menyakitiku.

"Maafkan aku. Sepertinya aku juga egois, Mi. Bukan Cuma kamu."

Aku Cuma diam. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kita sama-sama egois sejak awal. Dan aku terlalu pengecut untuk berdekatan dengan Rian.

"Maafkan sikap kasarku dulu. Ayo berteman lagi."

Aku diam. Bingung harus bersikap bagaimana. Ucapan Kak Juna beberapa waktu lalu menjadi nyata. Rian mengajak berteman lagi. Lalu, apa yang harus kulakukan?

"Kupikir, sekarang semuanya sudah berbeda."

Aku sudah bilang berkali-kali. Aku tidak ingin berteman dengan Rian. Aku ingin lebih dari teman. Tapi aku tidak mungkin mengatakannya. Dia mungkin akan benar-benar pergi jika aku mengatakannya.

"Tidak ada yang berbeda, Mi. Semuanya masih sama. Aku masih menganggapmu seperti dulu. Aku masih ingin dekat sama kamu. ayo berteman lagi."

Aku masih diam. Jujur aku bingung harus bersikap bagaimana. Aku tidak ingin berteman. Tapi jika aku tidak berteman dengannya, bagaimana kami bisa lebih dari teman?

"Tapi nanti Melati marah lagi. Aku ga mau jadi pengganggu."

Rian menggeleng. "Kamu bukan pengganggu. Aku minta maaf atas nama Melati. Aku sadar dia keterlaluan hari itu. Tapi aku tidak membela kamu. Aku minta maaf juga untuk itu. Tapi kamu ga mengganggu, Mi. Kamu temanku, dan itu yang kamu lakukan untuk membuatku tetap dalam kenyamananku."

"Kudengar kamu pacaran sama dia. Aku ga mau jadi pengganggu lagi, Yan. Akan lebih baik kalau aku menjauh."

"Kamu bukan pengganggu. Dan aku ga pacaran dengan Melati. Kami hanya berteman."

"Yasudah. Lagipun aku rindu sama kamu."

Rian tertawa. "Jangan bilang begitu. Kita punya pengertian yang berbeda. Jangan buat aku salah paham, dong."

Aku ikut tertawa. Tapi diam-diam aku merasa lega. Aku sudah mengutarakan kerinduanku. Apa dia paham maksudku atau tidak, aku tak peduli. Rian benar. Kami punya pengertian rindu yang berbeda. Kesalah pahaman bisa merusak semuanya. Jangan sampai Rian mengerti arti rinduku. Aku takut dia akan marah dan benar-benar pergi dariku seperti sebelumnya.

Pada akhirnya kami pun baikan. Aku dan Rian kembali seperti semula. Perbedaannya mungkin hanyalah padaku yang harus menahan perasaanku yang sebenarnya. Aku belajar dari Kak Juna yang sampai sekarang masih tak ingin mengatakan cintanya pada Kak Mia. Jika Kak Juna masih bisa menahannya sampai selama itu, kenapa aku tidak?

Setelah ujian selesai, kami sibuk mempersiapkan ujian masuk universitas dan wisuda. Tentu saja selama itu aku selalu bersama Rian. Juga dengan Puti dan Seno. Kadang Yuyu atau Didip ikut bergabung. Kadang benar-benar hanya kami berdua. Kami sering mampir ke universitas-universitas terkenal untuk melihat-lihat. Sambil membayangkan seandainya kami kuliah di sana. Atau juga bergaya seperti kakak tingkat yang sudah kuliah disana. Seno bahkan sudah mulai berteman dengan salah satu dari mereka.

Saat wisuda, Rian mendapat penghargaan sebagai lulusan terbaik. Dengan nilai ujian dan ditambah nilai harian yang luar biasa. Seno sebagai siswa teraktif. Dia memang selalu muncul diacara manapun. Semua siswa di sekolah pasti mengenalnya. Belum lagi posisinya sebagai mantan anggota Tim PD. Mereka mendapat tepukan bangga dari Pak yudi dan kepala sekolah.

Aku, Puti dan teman-teman sekelas berteriak paling heboh saat mereka menerima penghargaannya. Dua posisi siswa terbaik sekolah diambil oleh kelas kami. Saat itu, kelas kami paling ramai memberikan sorakan.

Satu kelas meledek Chika lantaran Seno secara tiba-tiba menariknya untuk menemui keluarganya. Mengenalkannya sebagai orang spesial kepada ibunya yang langsung mendapat sambutan manis. Wajah Chika memerah saat ibu Seno menyebutnya calon mantu. Satu kelas menyoraki mereka.

Sampai saat itu, Rian tidak mengatakan apa-apa.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang