Tingkah menyebalkan Melati nyatanya tak berhenti sampai situ. Saat aku, Rian dan Seno melarikan diri untuk istirahat di minimart depan sekolah, Melati dengan satu temannya keluar dari sekolah juga. Dia memang menyapa dengan sopan. Tapi saat dia duduk bersama kami seolah teman lama, itu membuatku tidak nyaman. Cara dia memandangku seolah meremehkan. Padahal aku tidak tahu letak kesalahanku dimana.
Saat dia diantar oleh kedua orang tuanya ke sekolah untuk acara penutupan MOPD, Rian harus kerepotan membantunya. Juga meyakinkan kedua orang tuanya untuk menjaganya. Padahal Rian punya tugas dan kesibukan sendiri.
"Siswa Baru! Orang tua dan Wali hanya diijinkan menemani sampai jam empat sore. Selebihnya, apabila ada pesan yang akan disampaikan, silahkan hubungi sekertariat kegiatan di lobi sekolah. Kami meminta kerja sama orang tua dan wali demi kelancaran acara kali ini. Terima kasih."
Suara Rian tentu saja menggelegar. Suasana senyap saat dia berteriak. Jadi suaranya dipastikan akan terdengar ke ujung lorong. Saat ini kami ada di lorong kelas sepuluh IPA, tempat tidur laki-laki. Aku sengaja berkelilling dengan Tim PD untuk mengontrol siswa baru. Beberapa ada yang meminta obat mual dan pusing. Aku juga menyempatkan diri menyapa orang tua mereka dan mendengar pesan mereka terhadap masalah kesehatan anak-anaknya.
"Nak Rian, suaranya kencang sekali. Tante sampai terkejut tadi..."
Aku menoleh. Terkejut melihat seorang ibu muda menyapa Rian. Rian mengangguk dan tersenyum sopan. Tanpa suara memberi tahuku kalau ibu muda ini adalah Mama Melati. Aku mengangguk sopan.
"Supaya terdengar sampai ke belakang tante. Dan tadi saya teriak di tempat laki-laki..."
Benar. Bagaimana Mama Melati tahu kalau Rian berteriak. Apa suaranya sekencang itu sampai terdengar ke tempat perempuan di kelas sebelas? Letaknya hampir dari ujung ke ujung. Terpisah oleh lapangan.
"Tadi tante memang cari kamu. Tante penasaran, seperti apa sih orang yang disukai Melati..."
Sekarang aku tahu darimana sifat menyebalkan itu. Aku mencibir diam-diam. Rian hanya tersenyum canggung. Tangannya menyikutku di bawah meja. Jelas meminta pertolongan. Aku mengacuhkannya. Tidak ada hubungannya denganku. Semua orang juga tahu kalau Melati memang menyukainya.
"Tapi saya punya pacar tante. Maaf, kalau tante ngomong begitu, orang bisa salah paham."
Aku terkejut lagi. Rian punya pacar? Siapa? Rian melirikku, aku melotot. Menuntut penjelasannya. Sejak kapan dia punya pacar? Dia menyikut lagi.
"Apasih?!" tanyaku sewot karena refleks. Dia terkejut. Matanya yang sejak tadi melotot padaku semakin melotot horor. Aku mencibir samibl mendorong bahunya. "Sana urusi pacarmu!" ucapku semakin sewot.
Aku mengangguk pada mama Melati sebelum pergi meninggalkan mereka dengan langkah menghentak. Kenapa Rian ga bilang kalau dia punya pacar? Aku ini siapanya sih? Kok dia tidak bilang padaku kalau dia punya pacar? Aku ini kan temannya dari lama. Paling tidak dia kasih tau aku kalau dia punya pacar baru. Siapa juga cewek yang mau jadi pacarnya?! Nyebelin banget.
Nyatanya, Rian tak punya pacar. Waktu itu dia sengaja bilang begitu agar bisa lepas dari mama Melati. Tapi dengan cara yang menyebalkan. Aku tidak mau bicara padanya selama dua jam kalau aku tidak salah hitung. Sayangnya, meskipun mamanya tak lagi meneror Rian, putrinya jelas tak mundur begitu saja. Dia masih gigih mendekati Rian setelah MOPD selesai. Tampak tak ada tanda-tanda mundur sedikitpun. Benar-benar mengganggu.
"Kak, boleh minta obat mual?"
Aku ingat namanya Rivan. Dia masuk ke UKS sebelum upacara hari senin di awal pagi. Wajahnya agak pucat. Aku mengangguk dan memberikan obat mual. "Sudah sarapan?"
Dia menggeleng. Aku memaksa Rian untuk membelikan sarapan di kantin sekolah. Dia harus memakannya bagaimanapun caranya. Rian menurut malas-malasan. Bahkan menyempatkan diri melotot galak pada Rivan yang hanya tersenyum sopan. Rivan kemudian cerita kalau dia tidak sempat sarapan karena terlambat bangun. Dia punya riwayat asam lambung jadi pencernaannya akan terganggu kalau terlambat makan.
"Makanya sadar diri. Kalau penyakitan tuh jaga dirinya baik-baik." Chika berucap pedas sambil melangkah keluar memakai topi tim PMR.
Tim PD akan berjaga di belakang barisan saat upacara, berdampingan dengan PMR. Ini karena mereka mengincar siswa yang mengobrol atau merusak barisan selama upacara. Dan sejauh ini, mata mereka juga lebih jeli dalam menangkap orang yang sakit saat upacara. Rian akan hanya berdiri di tempatnya dan menunjuk atau menegur beberapa orang. Tidak pernah mengobrol. Bukan karena tidak ingin, dia tidak bisa melakukannya karena akan menjadi boomerang untuknya.
"Kamu sakit lagi?"
Aku menoleh. Rian baru saja bertanya pada Rivan yang berbaring di salah satu bilik UKS. Aku sempat meliriknya, tapi tak banyak peduli. Sejauh ini dia selalu datang dan meminta obat mual. Terutama saat upacara seperti ini. Kali ini aku bertugas di ruang UKS dengan seorang kelas sebelas. Aku lupa namanya.
"Iya kak, asam lambungku naik lagi." Rivan menjawab santai. Tampak tak acuh tak acuh bermain ponsel. Rian menatapnya dengan menyelidik. Tapi tak banyak komentar. Dia melirik Rivan sambil berjalan menghampiriku.
"Titip dong." Ucapnya sambil menyerahkan ponselnya padaku. Aku menerimanya tanpa berkata-apa. Rian keluar dari UKS sambil mengamati Rivan. Aku ingat saat itu tatapannya agak provokatif. Tapi aku tidak begitu mempedulikannya pagi itu.
Tapi saat upacara sudah setengah jalan, Rian datang ke UKS sambil menggendong Melati yang pingsan saat itu sudah agak lama sejak terakhir kali Melati pingsan saat MOPD. Aku agak terkejut melihatnya pingsan lagi. Rian melirik Rivan yang masih tampak santai dengan ponselnya sementara aku merawat Melati.
"Asam lambungmu ga naik. Kamu ga mual. Kenapa kamu disini?"
Aku menoleh. Rian sedang berhadapan dengan Rivan yang duduk dan tampak marah. Kami menatap mereka dengan penasaran. Aku menyerahkan Melati pada tim dan menghampiri mereka. Rivan melirikku sebentar lalu mengacuhkan Rian dan kembali berbaring diatas brankar.
"Rivan, saya bisa skors kamu. Kamu ga sakit, kamu ga berhak tidur disini."
"Kamu bukan guru. Kamu ga punya hak skors saya. Kamu bukan siapa-siapa."
Aku agak terkejut mendengar nada bicara Rivan yang sangat ketus. Jauh berbeda dengan tadi pagi saat dia meminta obat padaku. Yang membuatku terkejut, Rivan tidak menyangkal kalau dia tidak sakit. Dia bohong?
"Kalau kamu ga sakit, kenapa kamu disini?"
Dia agak terkejut mendengar pertanyaanku. Mungkin terkejut juga aku akan ikut campur. Dia diam. Melirikku tanpa mengatakan apapun. Aku menyerahkan ponsel Rian. Membiarkannya membuat catatan mengenai pelanggaran Rivan.
"Rivan, kamu bohong?"
Rivan diam. dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku menatapnya menuntut penjelasan. "Aku malas upacara, kak. Panas..."
"Keluar..."
Aku menelan ludah mendengar suara dingin Rian. Rivan juga sepertinya agak kaget mendengar suara Rian yang seperti itu. Sejauh mengenalnya, aku tidak pernah mendengar Rian berucap dengan nada sedingin itu. Suara Rian yang penuh dominasi membuat Rivan menurutinya. Mereka keluar dari UKS tanpa suara. Aku mengikutinya. Untuk beberapa hal, aku merasa ini tidak akan berakhir baik.
Aku tidak ikut campur pada urusan mereka. Hanya mengamati mereka dari jauh. Rian membawa Rivan menuju ruang kesiswaan. Merekabicara sebelum masuk ke ruangan. Aku tidak bisa mendengarnya walaupun ingin.Posisi ruang kesiswaan yang berada di pinggir lapangan membuat mereka jadi pusatperhatian peserta upacara. Ekspresi Rian tampak tegang sebelum menarik Rivan kedalam ruang kesiswaan secara paksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...