Hari-Hari Merindu

7 2 0
                                    

Keesokan harinya aku tetap tidak masuk sekolah. Bukan karena hukuman skors, tapi karena aku memang tidak sanggup. Tubuhkku demam tinggi sejak malam. Ibu sampai panik saat masuk ke kamarku dan mendapai suhu tubuhku tinggi. Dia hampir membawaku ke dokter praktek kalau ayah tidak menenangkannya.

"Dia ga makan dari siang. Sekarang jadi demam, Yah..."

"Tenang." Ayah menyuruhnya keluar. "Biar ayah lihat..."

Ayah datang ke kamarku. Dia mengelus kepalaku dengan lembut. "Ayah ga tau kamu kenapa. Tapi apapun yang terjadi sebaiknya jangan dipikirkan. Semakin kamu pikirkan, semakin hancur badanmu. Semakin tinggi demam kamu, semakin kamu ga bisa apa-apa. Kalau kamu masih mau sakit, silahkan pikirkan masalahmu. Kalau kamu mau buat ibu khawatir, lanjutkan pikirkan masalahmu. Kalau kamu mau buat teman-temanmu penasaran, lanjutkan saja. Jangan pikirkan apapun selain masalahmu."

Aku menoleh. Kenapa ayah berkata seperti itu?

"Tapi kalau kamu mau semuanya berakhir cepat, lupakan saja. Lupakan masalahmu barang sejenak. Buat benteng yang tinggi dan koko supaya kamu ga gampang roboh."

Pada akhirnya aku hanya bisa menangis mendengar ucapannya. Aku tidak bisa membangun benteng yang kokoh untuk menyokongku. Hatiku sakit. Masih terdengar jelas bagaiman Rian bilang kalau dia tidak pernah menganggapku sebagai teman. Di dalam pikiranku hanya satu kalimat sejak tadi. Kalau dia tidak menganggapku sebagai teman, lalu aku ini apa?

Mengingatnya lagi semakin menyakitkan. Aku menangis tertahan. Ayah memelukku sambil tersenyum. Dia mengelus punggungku. Membiarkan aku menangis membasahi baju kokonya.

"Ya... keluarkan semuanya. Menangislah, Nak. Kamu terlalu sering memendam perasaanmu. Kamu terlalu banyak menahan amarah dan kesedihan. Itu sebabnya kamu lemah. Bentengmu tidak kuat menahannya. Terlalu banyak tekanan."

Aku menangis kencang saat itu. Tidak peduli kalau ibu di luar khawatir. Tidak peduli juga pada Kak Akbar yang ingin tahu dan mengintip di celah pintu. Aku mengeluarkan semua kesedihan yang sudah kutahan selama ini. Kenapa rasanya sakit sekali? Benar, kenapa rasanya sakit sekali?

Kenapa rasanya seolah aku akan mati karena kalimat itu? Apa yang terjadi? Aku bisa mencari teman lain kalau Rian tidak mau. Aku bisa menemukan teman baru. Temanku banyak. Lalu kenapa aku harus menangis sakit hati hanya karena Rian tidak pernah menganggapku sebagai teman?

Karena Rian spesial.

Dia satu-satunya teman yang kupercayai saat aku mendapat masalah. Bahkan saat aku bertengkar dengan ibu, aku akan menceritakannya pada Rian. Saat aku ketakutan melihat teman Kak Akbar mencium leher perempuan di toilet kampusnya, aku ceritakan pada Rian. Dia terbahak-bahak waktu itu. Saat aku mendapat nilai merah di kertas ulanganku, aku akan mengadu pada Rian. Dia akan mengajariku. Saat Kak Akbar tidak bisa mengantarku ke sekolah, aku akan minta dijemput Rian. Dia akan langsung menjemputku.

Tapi, kenapa selalu Rian?

Karena Rian spesial.

Kenapa dia spesial?

Karena Rian selalu ada untukku.

Kenapa dia selalu ada untukku?

Karena aku memintanya.

Kenapa kau memintanya?

Karena dia... spesial.

Karena dia... berharga.

Karena dia... karena aku percaya padanya.

Karena aku menyayanginya.

Aku diam. rasanya seolah ada yang memukul jantungku. Aku menelan ludah susah payah. Tubuhku gemetar hebat. Seolah beban berat lepas dari tubuhku.

Karena aku menyayanginya.

Aku sayang Rian.

Aku suka Rian.

Aku menangis lagi. Kali ini lebih keras hingga aku menggigit tanganku lagi. Tak ingin ibu khawatir. Aku sudah menangis selama dua jam penuh tanpa mengatakan apa-apa. Tanpa tahu apa yang membuatku merasa begitu sakit mendengar ucapan Rian sebelumnya. Tanpa mengerti apa yang terjadi. Kali ini, semua seolah masuk akal. Aku selalu memanggilnya karena aku merasa aku membutuhkannya. Aku suka saat dia ada didekatku. Aku suka saat dia membantuku. Aku suka saat dia tertawa atau sedih denganku.

Aku marah pada Melati karena merasa dia mengancam posisiku. Aku tak suka karena berpikir kalau Melati akan mengambil Rian dari ku. Karena itu aku marah hingga lepas kendali dan bertingkah agresif. Sangat tidak sesuai dengan kepribadian dan sifat asliku. Karena bukan cuma Melati, aku juga suka Rian.

Saat itu, aku menyadarinya. Aku suka Rian. Perasaanku pada Rian sudah berbeda. Semua tidak lagi sama. Aku tidak lagi menganggapnya sebagai teman. Aku menginginkan lebih dari teman. Tapi, kalau Rian bahkan tidak menganggapku sebagai teman, lantas bagaimana kita bisa lebih dari teman?

Saat itu, aku menyadari hari-hariku akan berbeda. Tak akan lagi sama. Aku mungkin akan terluka diam-diam saat aku melilhatnya. Aku juga akan mengalami hari-hari merindu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Ayah benar. Aku harus membangun benteng yang kokoh. Aku harus membuat pertahanan yang kuat agar aku tidak roboh. Jalanku masih panjang. Jika Rian tidak pernah menganggapku sebagai teman, biarkan saja. Aku bukan orang yang akan repot menariknya mendekat. Tidak. Aku tidak sama dengan Melati. Aku tidak akan melakukan apapun yang akan membuat Rian tak nyaman.

Aku sudah jelas-jelas melihat bagaiman Rian tidak nyaman dengan sikap agresif Melati. Maka aku tak akan bersikap seperti itu. Dan lagi, aku masih ingat jelas kalau Rian tak lagi peduli pada cinta semacam itu. Dia menginginkan cinta sejatinya yang nyata. Jadi dia tidak membutuhkan cinta yang semu. Untuk saat ini dia hanya membutuhkan teman.

Tapi dia tidak pernah menganggapku temannya.

Baiklah. Jika dia bukan temanku, maka biarlah. Kami memang tak pantas jadi teman. Terhitung hari ini, aku juga tak ingin berteman dengannya.

Aku mencuci mukaku. Menghapus air mata yang sudah turun selama lebih dari tiga jam. Mataku bengkak. Perih. Tapi aku tidak boleh terlihat menyedihkan. Aku suka Rian. Biarlah dunia tidak tahu. Rian benar. Terjebak dalam pertemanan itu menyebalkan. Maka biarlah kami tidak berteman. Aku tidak ingin merasakan terjebak dalam pertemanan itu.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang