Saat dikelas sebelas, Seno cukup nyaman dengan kelas baru. Dia termasuk siswa pertama yang membaurkan diri dengan teman sekelas. Dia cukup terkejut dengan karakter teman-temannya yang luar biasa. Tapi itu menjadi warna baru. Dia terkejut saat Sri datang pagi-pagi sambil membawa sekeranjang makanan ringan. Menawarkan apa Seno akan jajan atau tidak. Dia pikir orang seperti Sri yang datang jualan ke sekolah itu sudah tidak ada. Beneran deh. Apalagi ini sekolah favorit. Saat kelas sepuluh kok dia tidak pernah lihat Sri ya?
"Aku jualannya baru akhir-akhir ini sih. Itupun Cuma sekitar kelasku aja."
Seno hanya mengangguk. Lalu Seno akan terkejut saat melihat Irman mengeluarkan korek dari kantongnya saat mereka harus membakar sampah di TPA sekolah.
"Kok bawa korek ke sekolah?"
Irman hanya menyeringai. Membuat gestur menggunting dengan ibu jari dan jari tengah. Seno terperangah takjub. "Kamu merokok?"
Irman hanya mengangkat bahu tak peduli. Tapi yang membuat Seno lebih terkejut lagi saat Marcus dengan polosnya bilang tidak bisa jongkok. Dia terbahak dan meledek Marcus saat itu juga. Tak peduli meskipun Sri memukulnya. Cewek itu malah mengajari Marcus cara jongkok yang baik dan benar. Seperti seorang ibu yang mengajari anaknya.
Seno yang pecicilan pernah tersandung tubuh Raka yang tidur dilantai. Cowok itu marah-marah sebentar, tapi lanjut tidur lagi. Seolah tidak terjadi apa-apa. Lalu Seno dikejutkan saat laptopnya terformat ulang, Raka dengan santai memperbaikinya. Sejak saat itu, kalau ada masalah dengan laptop atau ponselnya, Seno akan langsung mencari Raka. Karena itu dia tidak begitu terkejut saat Raka tiba-tiba dipanggil Kurikulum untuk mewakili sekolah dalam OSN Nasional.
Tapi diantara mereka, seorang yang menarik perhatian Seno sejak awal adalah Chika. Dia terkejut saat gadis itu berucap pedas tanpa saringan saat Adi meledeknya. Benar-benar mencerminkan cewek judes yang sulit didekati. Tapi juga tampak bersahabat disaat bersamaan. Chika terlihat manja tapi juga mandiri diwaktu yang sama. Suara kencangnya sudah pasti mengejutkan mengingat tubuhnya mungil.
"Dasar budak cinta. Sudah tahu di tolak, kok masih saja punya harapan. Ga tau diri kamu."
Seno berkali-kali merasa tertohok saat mendengar ucapan pedas Chika. Tapi dia tidak pernah bisa melawan. Karena ucapan Chika walaupun pedas dan tak punya hati, tapi selalu benar. Lalu tiba-tiba, satu hari, ucapan Didip membuatnya termangu luar biasa.
"Semua Cuma soal waktu. Aku butuh waktu tiga bulan waktu pertama kali. Kupikir dia akan jadi yang pertama dan terakhir. Tapi saat aku putus dengan pacar ke dua kemarin, aku Cuma butuh waktu dua minggu. Semua tentang dia dan kebiasaan kita berdua sudah hilang dan ga aku pikir lagi."
Seno menoleh dan mencoba mendengarkan Didip yang sedang menjawab pertanyaan Ami. "Kamu mungkin ga percaya sama cinta pada pandang pertama, Mi. Itu karena kamu belum pernah mengalaminya. Tapi pepatah lain bilang cinta datang karena terbiasa. Yang harus kamu inget lagi, cinta ga Cuma soal pasangan. Kamu bisa juga temukan cinta baru dari teman-teman dan keluarga kamu. Cinta ga melulu soal pacar kok."
"Gimana kalo aku ga bisa?" Seno bertanya penasaran. Selama ini dia selalu berusaha untuk melupakan Jihan. Tapi cewek itu tetap bersarang di hatinya sampai Seno frustasi untuk menghapusnya.
"Ya jangan dipikirkan. Atau bisa juga karena kamu ga berusaha. Coba kamu tanya, kenapa Seno masih belum bisa melupakan ceweknya itu? Jangankan kebiasaannya, rasanya saja masih dia punya."
"Aku sudah usaha tau!" Seno menyahut tak terima.
"Berarti kamu masih memikirkan cewek itu." Seno diam. Ucapan Didip tiba-tiba terasa menohok. Suka atau tidak, ucapan Didip itu benar. Sampai saat itu, Seno selalu memikirkan bagaimana jika seandainya dulu Seno tak pernah suka Jihan. Bagaimana Jika Jihan tak punya pacar. Atau bagaimana yang lain. Yang semuanya selalu berhubungan dengan Jihan.
"Pernah dengar kan, sesuatu yang kamu pikirkan terus-menerus, bisa menjadi kenyataan. Dia ga bisa melupakan ceweknya itu, memang karena ga bisa, atau karena tidak mau?"
"Mungkin karena cintaku pada si dia sudah terlampau dalam..." Seno asal menjawab.
"Kamu di perbudak cinta. Begitu saja ga tau. Dasar bodoh..." Yuyu berucap pedas. Seno hanya membalas dengan cibiran. Tapi tetap memikirkan ucapan Didip itu.
"Coba kalian jawab pertanyaanku. Teman atau pacar?" Didip masih menyalin tugas. "Dalam 1,2,3"
"Teman."
Seno menjawab refleks karena mendengar hitungan Didip yang tiba-tiba. Yang rupanya juga menjadi jawaban kompak yang lainnya juga. Didip kali ini mengangkat kepalanya. Dia menyimpan buku Halimah di tempatnya lagi. "Kenapa kalian kompak pilih teman? Memangnya ga punya pacar?"
Ah benar juga. Kenapa Seno malah menjawab teman? Padahal dalam otaknya saat itu sudah muncul wajah Jihan. Tapi mulutnya berucap refleks tanpa mengikuti perintah otaknya.
"Jawaban yang keluar karena refleks itu adalah jawaban muncul dari hatimu. Kalau kalian masih memilih teman, artinya perasaan pada siapapun yang kalian pikir kalian cinta, belum sedalam itu."
"Jadi seharusnya kita masih bisa melupakan dia?" Seno bertanya. Didip mengangguk.
"Seharusnya begitu. Kalau aku jadi kamu, aku Cuma perlu mengacuhkannya. Ga perlu dipikirin bahwa dulu aku begini, dulu aku begitu. Itu kan terjadinya dulu, bukan sekarang. Masa depan ga ada yang tau."
"Artinya aku ga akan sulit lupakan dia. Begitu maksudmu?"
Didip mengangguk lagi. Seno diam. Saat itu, Seno hanya berpikir bahwa ucapan Didip itu benar. Seno terlalu terpaku pada kata seandainya atau bagaimana. Memikirkan kejadian demi kejadian yang dia lewati dengan Jihan. Tanpa mau menoleh pada masa kini. Bukan tidak mungkin ada gadis lain yang melempar umpan padanya. Seno terlalu terjebak pada Jihan hingga mengacuhkan umpan yang datang. Dia lupa, kalau hidupnya tidak selalu tentang Jihan. Seno lupa, kalau dia berhak bahagia.
Saat itu, untuk pertama kalinya Seno merasa bebannya terangkat perlahan. Dia seolah menemukan dunia baru yang tidak pernah dilihatnya. Dia mengikuti kata Didip. Bersama Ami, dia berusaha menemukan cinta baru yang lebih menyenangkan. Cinta bukan selalu soal pasangan, maka Seno berusaha mencari cinta dalam bentuk yang lain. Orang tuanya sangat penyayang dan memberikan segala kebutuhannya tanpa berpikir. Teman-teman sekelas juga sangat setia kawan. Dia berhasil melupakan cintanya untuk Jihan dalam waktu singkat.
Teman-temannya cukup membantu. Mereka memiliki andil besar dalam membantunya melupakan cintanya pada Jihan. Nama Jihan kini hanya tinggal olokan belaka. Tidak memberikan pengaruh yang besar padanya. Dan ini juga membuat Seno seolah menemukan jati dirinya yang hilang. Dan Seno terlihat lebih bahagia daripada sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...