Promosi PD

5 2 0
                                    

Penegak Disiplin selalu menjadi sorotan bagi kelas sebelas. Ada cukup banyak siswa yang tertarik menjadi bagian dari Penegak Disiplin. Bukan Cuma karena orang-orang yang tergabung akan menjadi siswa terpandang. Tapi juga karena anggotanya selalu tujuh orang. Tidak pernah lebih. Melalui seleksi ketat dibawah pengawasan kesiswaan dan pembina OSIS sekaligus. Meski begitu, kebanyakan anggotanya berasal dari siswa jurusan IPA. Siswa IPS terlalu malas untuk tergabung dalam organisasi semacam itu.

Saat itu pertengahan bulan maret. Aku ingat Irman baru saja tertangkap merokok dibelakang sekolah oleh salah satu tim PD. Dia sedang menggerutu dalam upacara hari Senin saat Kesiswaan mengumumkan masa promosi tim PD baru. Tim sebelumnya sudah habis masa jabatan sebulan yang lalu karena sibuk Ujian Nasional.

"Mereka sudah ga kerja lagi, tapi aku masih ditangkap. Dasar polisi gadungan. Kalau aku jadi ketuanya, aku bebaskan semuanya..." ini gerutuan Irman. Kemarin orang tuanya datang karena tertangkap kali ini.

Saat masa promosi yang diberi waktu dua minggu, setiap kelas sebelas harus mengusulkan dua nama untuk dicalonkan menjadi Tim PD. Juga bagi yang berminat dipersilakan mendaftar ke pembina OSIS. Beberapa guru juga akan mengusulkan siswa kebanggaannya untuk menjadi salah satu anggota Tim. Seleksi itu menjadi cukup sengit.

"Aku sih malas. Kamu saja, Mi."

Aku menggeleng cepat. Mengikuti keanggotaan seperti bagiku cukup mengerikan. "Aku ga mau. Sibuk."

Chika mencibir. Pada akhirnya diskusi itu tak ada gunanya. Kami tetap mengorbankan Seno (lagi) dan Sri sebagai perwakilan kelas kami. Juga saat hari seleksi tiba, kami mengantar mereka ramai-ramai ke depan ruang kesiswaan.

"Jangan ada yang terpilih, ya. Aku ga mau berteman dengan Tim PD. Mereka menyebalkan..." Kata Irman sebelum pergi. Saat itu Seno hanya menggerutu karena harus dikorbankan sekali lagi. Sri tak banyak komentar. Dia memang paling dewasa dalam satu kelas.

"Lihat saja! Kalau aku terpilih, kubuat kalian berlutut didepanku. Dasar teman-teman durhaka. Bisanya hanya mengorbankan ketua kelas. Kubalas kalian!"

Aku terbahak tak peduli melambaikan tangan membiarkannya berjuang sendirian. Aku punya keyakinan Seno akan terpilih sebagai salah satu Tim PD. Meskipun terlihat konyol dan suka bercanda, Seno punya pengamatan dan tanggung jawab yang sangat kuat dalam dirinya. Hal yang menjadi tolak ukur seorang Penegak Disiplin.

Peserta lain menatap mereka berdua dengan terheran-heran. Mereka mungkin mengira kami semua akan ikut seleksi, nyatanya hanya mengantar dua orang. Dimana salah satunya adalah biang rusuh dalam kelompok. Lalu pergi begitu saja setelah sampai dan mengobrol ringan.

"Mbak Sri, fokus sama seleksi dulu. Jangan pikirkan jualan. Satu dua kali pikirkan tentang harga diri kelas kami yang hancur ini. Tenang saja, nanti jualannya dimakan Marcus..."

Sri menggerutu mendengar ucapan Adi yang itu. Jualannya tentu saja lebih berharga diatas segala-galanya. Jadi anak perempuan memutuskan untuk menggantikannya menjual dagangannya keliling sekolah.

"Kita Cuma jualan dagangan milik Mbak Sri. Kenapa ramai sekali..." tanyaku begitu menyadari kali itu kami cukup ramai. Sampai menjadi pandangan anak-anak kelas sepuluh atau kelas dua belas.

"Kita itu teman sekelas. Harus saling membantu satu sama lain." Ira menjawab ringan. Menawarkan dagangan Sri kepada beberapa anak laki-laki yang berkumpul didepan kelas sepuluh. Mereka akhirnya membelinya.

"Lagipula kalau ramai-ramai gini menarik perhatian. Jadi dagangannya lebih banyak laku." Ini kata Rosa. Aku mengangguk saat itu. Dan jualan Sri memang habis saat kita kembali ke kelas. Lulu dan Halimah bertugas menghitung dan menyimpan pendapatannya.

Saat aku sampai di kelas, kelas ternyata sepi. Anak laki-laki mungkin sedang sembunyi di belakang sekolah dan tidak menyadari ada orang yang mencari ke dalam kelas. Aku terkejut saat melihat Yudi, ketua OSIS tahun itu sedang kebingungan di dalam kelas.

"Cari apa?" Chika bertanya ketus. Ketua OSIS ini adalah mantan pacarnya di kelas sepuluh dulu. Adi kadang mengoloknya karena hal ini.

"Aku cari Rian. Dia dipanggil kesiswaan."

Kami terkejut. "Memangnya ada apa? Rian buat masalah?"

Yudi menggeleng. "Aku Cuma disuruh kesiswaan panggil Rian. Ga tau ada apa... Sudah ya. Kalau Riannya sudah ketemu, tolong diberi tahu."

Kami mengangguk. Setelah Yudi pergi, aku buru-buru pergi ke belakang kelas untuk mencarinya. Dan aku memang menemukan Rian sedang memanjat pohon rambutan dengan Roy dan Ilyas di belakang kelas. Marcus menunggu mereka di bawah sambil meminta rambutan yang matang.

"Rian, kamu dipanggil kesiswaan."

Sepertinya mereka juga kaget. Rian hampir tidak pernah melakukan kesalahan. Mungkin selain terlambat datang ke sekolah, dia hampir tidak pernah melakukan kesalahan. Kenapa harus dipanggil ke kesiswaan? Dia segera turun dengan terburu-buru. Bahkan melompat hingga aku panik karena takut dia jatuh.

"Kenapa kesiswaan panggil aku?"

"Aku ga tau. Tadi Yudi datang dan bilang kamu dipanggil kesiswaan."

"Kamu buat kesalahan apa? Kita perlu merayakannya. Ini pertama kalinya Rian bermasalah dengan kesiswaan." Aku ingin menampar Roy saat itu. Tapi Ilyas yang selama ini dikenal paling alim malah menanggapi dengan tos dan cengiran lebar.

Rian hanya mencibir tak terima. Dia menyempatkan diri mendorong Roy sebelum pergi hingga cowok itu terjungkal jatuh. Marcus terbahak dan mengambil rambutan hasil petikannya. Tak peduli pada siempunya yang jatuh berguling-guling.

"Bedebah! Rian, kubalas kau!"

Seno dan Sri kembali ke kelas satu jam sebelum waktu sekolah berakhir. Tapi sampai saat itu, Rian belum kembali juga.

"Kami di tes wawancara dan tulis. Aku mana tahu soal peraturan sekolah. Dengan pasal-pasal berlaku pula." Sri menggerutu saat menceritakan pengalamannya.

"Aku sih ingat beberapa. Tapi kalau dengan pasal, aku juga ga tau apa-apa. Kita jadi bodoh seketika soal peraturan."

Kami tertawa. Menertawakan Seno lebih tepatnya. "Memangnya dia tanya apa?" ini pertanyaan Bekti.

"Dia tanya, kalau temanmu terlibat perkelahian hingga menimbulkan kerugian bagi orang lain dan sekolah, apa yang akan kamu lakukan?" Seno minum dulu sebelum melanjutkan. "Kujawab saja apa adanya. Akan kulindungi kalau dia adalah gadis cantik."

"Lalu Rian bagaimana? Dia tadi di panggil kesiswaan. Kalian ga ketemu?" ini pertanyaanku. Aku agak khawatir karena Rian masih belum kembali sejauh ini.

Seno dan Sri bersamaan terkejut. Cerita mereka langsung berhenti. "Yang bener kamu? Aku ga ketemu dia, padahal ruang kesiswaan ga begitu luas. Kenapa dia bisa dipanggil?"

"Tidak tahu. Tadi Yudi datang katanya Rian dipanggil kesiswaan."

Kami akhirnya diam. Memikirkan apa yang mungkin membuat Rian dipanggil kesiswaan. Saat itulah Rian masuk ke kelas. Kami menoleh serentak. Hampir bertanya bersamaan saat dia menggeleng tanpa kata. Memamerkan sebuah lencana di ujung kantongnya. Lencana yang kukenal dengan baik. Lencana yang dulu dipakai Kak Juna.

Ketua Penegak Disiplin.

Kami tercengang.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang