Inilah kami sekarang. Aku kembali duduk bersama Rian di depan minimart sekolah. Seno dan Puti tidak bisa ikut. Puti sedang demam karena flu. Dia menggerutu saat aku bilang akan tetap makan es krim tanpanya. Seno sudah pergi ke ibu kota. Dia akan kuliah disana. Dan satu temanku yang masih setia di depanku. Makan es krim sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan. Atau mungkin memperhatikan gerbang sekolah yang mulai ramai. Siswa keluar jam sekolah.
"Kamu melamun lagi."
Aku menoleh. Meringis meminta maaf pada Rian. Es krimku sudah mulai mencair. Tapi masih ku makan. Aku masih ingin menikmati momen ini.
"Puti marah-marah padaku. Dia bilang aku ga setiap kawan."
Rian tertawa. "Kita perlu menjenguknya kalau begitu. Sudah lama ga ketemu sih, jadi dia marah-marah. Apalagi Seno sudah pergi ke luar kota. Teman ributnya sudah menghilang."
Aku mengangguk setuju. "Gimana kabarmu? Tiga bulan ga ketemu, sepertinya kamu semakin kurus."
Dia mengangkat bahu. Aku tertawa. Rian memang kurus sejak awal. Tangannya membenarkan kacamata barunya. Ya, kacamatanya sudah baru lagi sejak terakhir aku lihat saat wisuda.
"Kamu sendiri sepertinya bahagia? Pipimu mengembang."
Aku menendangnya. Dia menghindar dan tertawa tanpa peduli. Wadah es krim yang sudah kosong dia buang ke tempat sampah. "Gimana kabar keluarga? Om dan ibu sehat?"
Aku mengangguk. "Kak Akbar akan menikah akhir bulan ini."
Dia terkejut. "Aku sepertinya ga bisa datang."
Aku cemberut. Bulan depan memang sudah aktif kuliah. Aku sendiri ragu apa aku bisa bolos atau tidak. Jika masih di masa ospek, aku ragu senior akan mengizinkan.
"Lalu kamu baik-baik saja? Kalau Kak Akbar menikah, dia bukan milik kamu lagi lho."
Aku cemberut lagi. Itu memang benar. Aku selalu merasa Kak Akbar milikku. Tapi dia akan menikah. Jadi milik istrinya. "Paling tidak aku sudah memilikinya sejak aku lahir. Sekarang kesempatan orang lain untuk memilikinya. Lagipun dia ga sehebat itu, kok."
Dia tertawa. Mungkin masih mengingat bagaimana aku dan Kak Akbar akan bertengkar tak tahu malu saat dia atau yang lain main ke rumah.
"Hai Sen? Sedang apa?"
Aku menoleh. Menyingkirkan Rian dan mengambil alih layar ponselnya. Berteriak girang saat melihat wajah Seno di layar. Rian menggerutu. Dia menggeser kamera ponselnya dan wajah Chika muncul di layar.
"Mi... apa kabar? Aku rindu."
Aku mengangguk. "Kabarku sehat, Chik. Kalian lagi apa?"
Sekedar informasi saja. Seno dan Chika sudah resmi pacaran dua minggu yang lalu. Sebenarnya aku tak begitu terkejut. Mereka sejak bertemu sudah punya chemistri. Cara Seno menjahili Chika kurang lebih mirip dengan caranya menjahili Jihan saat kelas sepuluh. Perbedaannya mungkin Seno sedikit lebih lembut dan manis pada Chika. Yang membuatku sangat terkejut adalah saat pengumuman PTN di unggah sekolah. Nama Chika dan Seno beriringan dalam satu universitas dan fakultas yang sama. Padahal aku sudah tahu jelas mereka memiliki minat yang berbeda.
"Itulah jodoh..." ucapan Seno saat kutanya.
Aku hanya memukulnya saat itu. Nama Rian juga ada di bawahnya dalam jurusan yang berbeda. Dia berdampingan dengan nama Raka yang mengambil jurusan yang berbeda juga.
Chika dan Seno akhirnya berangkat ke ibu kota bersama. Tapi tentu saja tinggal di tempat yang berbeda. Chika tinggal di rumah tantenya. Seno memilih kost. Dia ingin dewasa dan mandiri katanya. Jadi memilih tinggal terpisah dengan kakaknya yang juga di ibu kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...