Saat keluar dari ruang kesiswaan, beberapa orang melihat kami dengan penasaran. Terutama padaku yang memang menarik perhatian sejak kedatanganku. Ayah merangkul bahuku sambil berpamitan pada Pak Yudi. Mama Melati sudah lama pergi. Mungkin malu karena sudah membela anaknya yang bersalah. Tim PD masih ditahan di dalam. Mereka akan mengevaluasi kasus.
"Masalah anak remaja seharusnya tidak melibatkan orang tua. Kalau sudah begini, yang malu keluarga." Inilah ayahku. Dia juga mengevaluasi kejadian yang baru saja terjadi.
"Ayah ga perlu tanya siapa yang kalian ributkan. Tapi meributkan laki-laki itu seharusnya bukan kamu, Mi. Kamu seharusnya tahu kalau kamu harus menghadapi masalah dengan tenang. Ayah selalu mengingatkan kamu untuk tenang, bukan diam."
"Maaf, ayah."
"Kalau bukan karena panggilan dari sekolah, ayah ga akan tahu kamu terkena masalah seperti ini. Meskipun ini masalah remaja yang memang harus kamu selesaikan sendiri, bukan berarti kamu ga perlu ceritakan apapun sama ayah. Ibu juga mungkin khawatir kalau mendadak seperti ini."
"Iya ayah. Ami minta maaf."
Ayah tiba-tiba tersenyum sopan. Aku jadi menoleh untuk mengecek dibelakangku.
"Om, pulang naik apa?" Rian bertanya sopan sambil mencium tangan ayah. Ayah tersenyum. Menepuk pundaknya dengan bangga.
"Lagi nunggu Akbar jemput." Ayah menatap jas hijau dan lencana Rian. Dia menggeleng bangga. "Dipercaya sekolah untuk memimpin itu berat lho, Mi. Apalagi ini memimpin tugas yang lumayan berat. Yang dilawan bukan Cuma teman-temannya, tapi juga orang tua tak pengertian seperti yang tadi itu."
"Om bisa saja. Ini tugas, Om. Harus saya jalani dengan tanggung jawab. Bahkan kalau saya harus menghukum teman sendiri.." Rian menjawab malu sambil tersenyum sopan.
"Iya. Disitu kamu belajar profesional. Tanggung jawabmu di uji. Kamu dipaksa untuk tidak memihak bahkan disaat kamu tahu siapa yang sebenarnya bersalah. Seperti hakim di pengadilan." Ayah menepuk lengan Rian.
"Meski si hakim tahu siapa yang salah. Tapi kalau tanpa bukti, tidak bisa sembarangan memberikan hukuman, kan?" Rian mengangguk. Mendengarkan nasihat dari ayah dengan seksama.
"Tapi Om percaya kamu bisa melakukan itu dengan baik. Buktinya kamu bisa menghukum Ami dengan hukuman yang tidak main-main. Kalau Om jadi kamu, Om beri hukuman yang lebih berat untuk Ami."
Aku cemberut sementara mereka tertawa. Kak Akbar datang tak lama kemudian. Dia menjemput ayah. Aku akan pulang dengan angkot. Sebelum pergi ayah memberi pesan padaku. "Selesaikan dulu masalahmu. Bicarakan dengan dia supaya kamu paham titik masalahnya dimana. Jangan hanya mengira-ngira. Kamu bisa salah menyimpulkan."
Aku mengangguk waktu itu. Rian mencium tangan ayah sebelum membiarkannya pergi. Kami diam pada akhirnya. Seperti kata ayah, aku harus menyelesaikan masalahku. Melati masih ada di kantin sekolah. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya.
"Mau kemana?"
"Cari Melati. Aku harus selesaikan masalahku..."
Rian menarik tanganku. Menahanku untuk mencari Melati. Dia menatapku dengan dingin yang membekukan. "Dia belum tenang. Yang ada kamu berantem lagi sama dia. Lebih baik kamu selesaikan nanti. Diluar itu, memangnya kamu tau kesalahanmu apa?"
"Justru karena aku tak paham salahku dimana, aku harus minta penjelasannya. Aku harus tahu apa yang buat aku disebut pengganggu."
"Kamu mungkin memang ganggu dia."
"Aku ga mengganggu. Dia yang mengganggu kamu terus. Aku saja kesal kalau dia dekat denganmu. Kamu itu temanku atau bukan?!"
"Kenapa kamu harus kesal lihat aku dekat dengan dia. Kamu siapa?"
Aku terkejut. Ucapannya itu entah bagaimana menusuk hati. Aku merasa sakit hati dan tidak terima. "Aku temanmu! Aku tahu kamu ga suka dia, karena itu aku juga ga suka!"
"Cuma itu?"
"Memangnya aku harus bagaimana?" aku berteriak marah. Tak paham maksud ucapannya. Rasanya ingin menangis. Ucapan Rian itu benar-benar menusuk hati. "Kenapa kamu marah, Rian?"
"Ami, untuk beberapa hal, aku setuju dengan Melati. Kamu egois. Cuma memikirkan dirimu sendiri..." aku benar-benar terkejut dengan ucapannya. "Aku sudah serahkan semuanya. Aku gantung harapanku di kamu. Dan kamu ga pernah sekalipun lihat itu, Mi."
"Harapan apa?" tanyaku sewot. Ucapannya yang membuat sakit hati benar-benar membuatku menangis. "Justru kamu yang kugantungi harapan, Yan. Kugantungkan semuanya sama kamu. Aku percaya kamu. Kamu temanku dan kupercayakan segalanya sama kamu. Tiba-tiba kamu tanya aku siapa dengan nada begitu, menurutmu aku harus gimana?"
Rian mungkin terkejut melihatku menangis. Tapi dia tidak bereaksi banyak Seno datang dari lobi sekolah dan terkejut melihatku menangis. Tapi aku tak peduli banyak. Rasa sakit dihatiku nyatanya lebih menyesakkan.
"Aku selalu percaya kamu, Yan. Aku selalu kagumi kamu. Aku ikuti semua ucapanmu. Saat kamu merasa terganggu aku juga rasain itu. Apa yang salah? Apa Cuma aku yang anggap kita teman?"
Rian diam. Seno juga sepertinya tidak ingin ikut campur. Tapi ucapan Rian setelah itu benar-benar membuatku hancur. Aku jatuh terduduk mendengarnya.
"Ya, Cuma kamu yang menganggap kita teman."
"Yan!!!" Seno mendorong Rian. Apalagi saat melihatku jatuh terduduk di tanah. Aku sengaja menggigit tanganku agar tidak berteriak. Rasanya sangat menyesakkan. Aku memukul dadaku untuk menghilangkan sakitnya tapi tidak ada yang terjadi. Rasanya tetap sakit.
"Cuma kamu yang anggap kita teman, Mi. Sejak awal aku ga pernah anggap kamu temanku."
"Pergi sana! Aku memang ga pantas punya teman!"
Jangan tanya keadaanku. Saat itu, aku bahkan tak tahu apa yang terjadi setelahnya bagaimana. Yang kuingat hanyalah pulang diantar Seno dan Puti. Keduanya menatapku dengan khawatir. Aku tak bercerita pada ibu ataupun Kak Akbar tentang masalahku dengan Rian. Tidak juga pada Seno dan Puti. Seno mungkin sedikit banyak memahaminya, tapi Puti jelas tidak. dia selalu bertanya apa yang terjadi. Yang tidak sekalipun kujawab.
Saat itu, rasanya hatiku hancur sekali. Sesak.Kepalaku pusing kalau memikirkannya. Selama ini, kupikir kami berteman. Dia selalu baik kepadaku. Dia selalu datang kapanpun aku butuh bantuan. Dia selalu ada saat aku butuh seseorang untuk menemani atau mengobrol ringan. Dia selalu disana. Selama itu, kita tidak berteman? Lalu, kita ini apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...