Berteman Dengannya Menyebalkan

5 2 0
                                    

Bertengkar dengan Rian ternyata jauh lebih mengerikan dari yang kuduga. Bukan karena semua orang jadi memusuhiku juga. Tapi karena aku seolah kehilangan teman. Selama ini aku selalu bersama dengan Rian. Berdiskusi atau hanya sekedar mengobrol ringan. Menceritakan apapun yang ingin kuceritakan. Tanpa ada yang terlewati atau kusembunyikan. Semua kutunjukan pada Rian. Lalu tiba-tiba aku harus melakukan semuanya sendiri.

Tak ada yang bisa kulakukan selain diam. Aku hanya akan mengikuti arus sesekali. Selebihnya, aku lebih banyak diam. Ada banyak orang menyadari renggangnya hubunganku dengan Rian. Tapi kami berdua selalu menyangkal. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Aku sendiri kagum pada keprofesionalan kami. Bersikap seolah tidak pernah ada apapun, Nyatanya aku menyembunyikan semua luka itu sendirian.

Aku akan menangis saat malam hari di dalam kamar. Tanpa suara. Aku rindu Rian. Tapi Rian mungkin tidak rindu aku. Rinduku hanya sendirian. Tak berbalas. Jadi aku diam.

"Kamu jadi diam sekarang, Mi. Padahal kemarin kamu mulai menyaingi Puti. Kenapa sih?" Sri bertanya suatu hari. Aku hanya tersenyum simpul.

"Kalau aku banyak tingkah, nanti orang salah paham lagi. Aku ga mau kehilangan teman."

Sri mengernyit tak paham saat itu. Tapi aku sendiri tak memberi pernyataan lebih. Kami bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi. Bersikap seolah aku baik-baik saja. Nyatanya aku selalu ingin menangis setiap melihat Rian.

Rian lebih dekat dengan Melati. Dia mungkin mulai mempertimbangkan Melati. Benar-benar melupakanku. Mereka semakin dekat. Dan aku hanya bisa tersenyum dan bersikap baik. Seolah tidak ada yang terjadi.

"Kalau aku jadi kamu, Mi. Waktu itu ku balas tamparannya. Sudah kamu ditampar, dijambak, di buang pula." Chika berucap sinis dengan kencang di kantin. Jelas ditujukan untuk menyindir Melati dan Rian yang sedang mengobrol santai di bangku panjang kantin. Melati melirik terganggu. Tapi Rian tak peduli.

"Kenapa diem aja sih? Balas dong. Sobek mulutnya, jadi dia paham siapa yang salah... sudah lempar batu kok sembunyi tangan. Menyalahkan orang lain sampai bawa orang tua."

Puti mencibir. "Gapapa, Chik. Ami kan anak baik. Kalau berantem dengan anak TK, dia tidak akan melawan."

Aku menegur mereka berdua supaya diam. Puti dengan Rian kan berteman. Rasanya tidak pantas kalau dia ikut menyindirnya. Chika dan Puti sepertinya tidak terima. Tapi mereka menurut. Kami langsung pergi setelah mendapatkan makanan yang kami mau.

"Aku ga dibuang. Biarkan saja. Lagian kenapa kalian repot sekali?"

"Kami ini temanmu. Aku ga terima temanku diperlakukan begitu. Kalau kamu ga tegur aku, aku akan balas dia atas nama kamu."

Puti mengangguk setuju. Aku hanya memutar mata sebal. Cukup dengan Melati aku berselisih, jangan sampai Rian tidak suka dan mengajak bertengkar lagi. Aku tidak mau.

Bertengkar dengan Rian itu menyebalkan. Aku selalu disangkut pautkan dengan Rian. Dalam tugas kelompok, aku akan disatukan dengan Rian oleh teman sekelas. Alasannya pun aneh sekali, "Rian dan Ami itu satu paket. Kalau dipisah nanti ga lengkap."

Keadaan membuat segalanya terasa canggung. Aku tidak bebas bersikap saat ada Rian disampingku. Bukan karena pertengkaran kami sebelumnya. Tapi karena sekarang semua sudah berbeda.

Caraku memandang Rian bukan lagi seperti dulu. Sekarang semua terasa lebih berarti. Kalau dulu aku akan bersikap apa adanya di depan Rian, kali ini aku tidak bisa. Aku selalu memastikan tidak ada yang salah denganku dulu sebelum berhadapan dengannya. Aku akan memperhatikan kalimatku dulu sebelum mengatakan padanya. Aku akan menghindari tatapannya saat mata kami tak sengaja bertemu. Bukan karena tidak suka, tapi karena aku tidak mampu menguasai degup jantungku sendiri. Rasanya seolah aku akan mati jika tidak melakukannya.

"Kamu sama Rian itu kenapa sih, Mi? Aku ga bisa kamu bohongi, ya! Aku tau kalian punya masalah..."

Aku menggeleng. Tak ingin menjawab pertanyaan Puti. Masih tak ingin membahasnya dengan mereka berdua. Seno pun tak buka suara soal pertengkaran di gerbang itu. Dia hanya akan menatapku jika kami bertemu.

"Kalian seperti bukan kalian aja. Ada apa sebenarnya? Kalau punya masalah, kalian seharusnya membicarakannya. Dewasa dong..."

Sayangnya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Rian sudah jelas-jelas mengatakannya. Dia tidak pernah menganggapku sebagai teman. Maka biarlah kami tak berteman. Aku terlalu sakit untuk berteman dengannya.

"Kak Ami dan Kak Rian musuhan ya?"

Aku mendelik. Rivan meringis meminta maaf. "Habisnya, dulu Kak Ami selalu lengket dengan Kak Rian. Sekarang ga pernah lagi. Kenapa?"

Aku tersenyum simpul. Oh lihat. Aku bahkan sudah sangat mahir tersenyum dengan palsu. "Kalau aku dekat dengan Rian lagi, nanti ada yang marah. Aku ga mau berurusan dengan yang seperti itu lagi. Ini sudah yang kedua, tahu? Aku sampai dicap pelakor sama orang lain."

Rivan diam. Aku tahu ucapanku itu menarik perhatian beberapa orang yang mendengar. Tapi aku tak banyak peduli. Kenyataannya memang seperti itu. "Tapi Kak Ami sendiri yang bilang kalau kalian Cuma teman."

Aku langsung diam mendengarnya. Aku menggigit bibir. Berusaha sekuat tenaga supaya tidak menangis lagi. Aku tak ingin menjadi temannya. Aku ingin lebih dari itu.

"Mungkin enggak juga. Cuma aku yang anggap kita teman. Mereka ga butuh pengganggu. Jadi sebaiknya aku mundur, kan?"

Rivan diam. sepertinya agak terkejut dengan ekspresi wajahku yang ingin menangis. Dia mengangguk paham. Mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Mungkin mengerti kalau aku terluka dengan pembicaraan itu.

"Es krim?" Seno mencegat langkahku di gerbang sekolah setelah kegiatan PMR. Aku pulang sendirian lagi. Rian sudah pulang mengantar Melati.

Aku mengangguk. Segera naik di belakang Seno. Kami meluncur di minimart depan sekolah. Seperti biasa. Seno membeli cola. Aku membeli dua es krim.

"Kamu mungkin butuh lebih dari dua es krim..."

Aku mengangkat bahu. "Nanti aku gemuk kalau terlalu banyak."

Seno tersenyum simpul. Sejak kapan aku peduli pada berat badan. Dia tahu. Suasana sunyi. Hanya terdengar suara kendaraan yang berlalu lalang di depan kami.

"Mi, soal ucapan Rian waktu itu..."

"Tak apa, No." Aku tersenyum. Berusaha tersenyum. "Kalau dia tak mau berteman denganku. Maka biar saja kita ga berteman. Lagipun berteman dengannya menyebalkan. Aku ga suka."

Aku sudah berusaha sekuat tenaga menahan tangisku. Tapi pipiku basah juga. Aku buru-buru menghapusnya. Meski tidak ada gunanya karena Seno melihatnya. Dia akan menyadarinya.

"Ya, sekarang bagimu berteman dengannya memang akan menyebalkan."

Saat itu, Seno hanya menepuk tanganku dan membiarkanku menangis. Dia tahu. Dan aku hanya berharap semoga dia tidak mengalami apa yang kurasakan. Menjalani hari-hari merindu sendirian itu tidak menyenangkan. Berteman dengannya menyebalkan. Maka biar saja kita tidak berteman.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang