Saat itu sudah pertengahan semester dua kelas sebelas. Aku sedang memotongi kuku tangan Marcus sambil duduk lesehan di depan kelas. Anak itu tak bisa melakukannya sendiri dan selalu meminta bantuan teman perempuannya di kelas. Kali ini dia meminta bantuanku saat menyadari kuku tangannya mulai panjang. Ilyas duduk disampingnya mengamati, baru pulang shalat dhuha. Sri sedang menghitung hasil jualan hari ini.
Pada saat itu, Jihan dan Amel melintas di depan kelas. Sebenarnya bukan hal aneh kalau Jihan dan Amel melintas di depan kelas kami. Kelas kami bersebelahan dengan kebun biologi kelasnya. Padang ilalang yang dulu gersang itu kini ditanami kebun Biologi milik jurusan IPA. Dia dan teman sekelasnya kadang sengaja lewat di depan kelas kami hanya untuk menyapa. Kami pun kadang menghadang mereka saat panen. Atau beberapa kali mencuri hasil kebun mereka untuk dimakan sendiri. Tolong jangan bilang siapapun soal ini. Ini masih menjadi rahasia kelas kita.
Tapi yang menarik saat itu adalah, Jihan melintas sambil menengok ke dalam kelas. Seolah mencari sesuatu.
"Seno, ada yang nyari." Chika berteriak nyaring tiba-tiba di depan pintu. Membuat kami terlonjak bersamaan. Aku bahkan hampir menggunting tangan Marcus. Dia merengek pada Sri.
"Chika, anak gadis ga boleh teriak-teriak! Malu!" Sri menegur. Chika tak ambil peduli. Lebih memilih menertawakan Jihan yang kalang kabut berlari ke kebunnya tepat setelah Chika berteriak. Amel mengikuti setelah mencibir temannya sendiri.
"Kenapa dia?" tanyaku tak banyak peduli. Seno pun tak keluar dari dalam kelas dan tak bersuara. Seingatku dia sedang menonton film dari laptop Roy. Mungkin tak mendengar.
"Kemarin dia tanya Seno sama aku. Kubilang aja, kalau mau tau tengok di kelas."
Aku menoleh. "Masa sih? Penantiannya Seno akhirnya tak sia-sia?"
Chika mengangguk mantap. Tak ragu sama sekali. "Iya. Kubilang juga. Kalau memang mau tahu lebih baik tanya kamu. Tapi sepertinya dia segan denganmu."
"Kenapa harus segan? Kita kan pernah satu kelas."
Chika mengangkat bahu. Dia masuk ke ke kelas tanpa bilang apa-apa.
---
Ucapan Chika hari itu barang kali bukan hanya sekedar candaan ringan. Hari-hari selanjutnya, Jihan memang lebih sering melintas di depan kelas. Dan sepertinya tidak pernah lupa menengok ke kelas. Atau menyempatkan diri untuk mengobrol di depan kelas pada Chika atau Rosa. Tapi tidak sekalipun denganku.
Saat aku sengaja menatapnya, dia akan menghindari tatapanku atau lebih memilih untuk mundur. Pergi sejauh mungkin. Tingkahnya ini terus terang membuatku terganggu. Apa yang sudah kulakukan sampai dia bersikap seperti itu? Apa aku melakukan kesalahan tanpa sadar?
"Seno, kata Jihan balas pesannya. Kamu ga pernah balas pesannya, dia jadi menyuruhku terus." Rosa lagi-lagi menyampaikan pesan itu dari Jihan. Aku yang sedang makan siang bareng dengan Seno langsung menoleh.
"Iya nanti kubalas. Kamu jangan mau dong kalau disuruh-suruh. Jadi tidak direpotkan. Kenapa harus marah-marah sama aku."
"Iya Ros. Kaya aku dong. Sekali ditanyai soal Seno langsung kusamber." Chika menjawab santai.
Aku diam. Menatap Seno yang tampak terganggu. Puti dan Rian juga rupanya menaruh perhatian mereka kali ini. Keduanya menatapku bertanya. Aku tak punya jawaban.
"Es krim?"
Seno menoleh. Menutup kotak bekalnya yang belum habis. "Iya. Aku butuh melepas stres."
Aku mengangguk pada Seno. Mengangguk juga pada Rian dan Puti. Hari itu, pulang sekolah, kami kembali mampir ke minimart.
"Jihan meneleponku sebulan yang lalu. Kupikir ada masalah penting sampai dia meneleponku tiba-tiba. Tapi dia Cuma bilang rindu."
Aku melirik Rian dan Puti. Ini es krim ke dua yang Seno habiskan. Dia mengambil es krim lagi ke dalam minimart. Kali ini membayarnya sendiri.
"Bukannya kamu seharusnya senang? Kamu selalu bilang cintamu pada Jihan sangat dalam. Kalau aku jadi kamu, dirindukan oleh orang yang kita cintai itu menyenangkan." Ucapku setelah dia duduk di tempatnya.
Dia menggeleng. "Jika ini adalah tiga bulan yang lalu, aku mungkin akan senang. Tapi kalau sekarang," dia menghela nafas. "Aku malah merasa terganggu. Apalagi dia menghubungiku terus."
"Jadi cintamu pada Jihan sudah menghilang?" kali ini pertanyaan dari Puti.
"Sepertinya begitu. Aku tidak lagi merasakan apapun sama dia. Dulu aku bisa tersenyum hanya dengan melihatnya. Sekarang, aku justru memikirkan apa yang membuatku mampu tersenyum sementara dia tidak melakukan apa-apa."
"Kamu diperbudak cinta." Puti mencibir. Kali ini dia Cuma minum teh kemasan, lagi diet katanya.
"Lalu kenapa kamu menghindar?"
Seno diam. "Aku tidak menghindar."
"Kamu tidak membalas pesannya. Sampai dia harus minta tolong Rosa dan Chika supaya kamu balas pesannya, artinya kamu menghindarinya. Kamu berusaha untuk ga berhubungan apapun lagi sama dia."
"Aku Cuma berpikir kita ga punya apapun untuk dipertahankan lagi. Dia yang sejak awal sudah menolak kehadiranku. Aku sudah tidak dibutuhkan sejak awal, kenapa dia harus datang setelah aku tak lagi memikirkan apapun? Hatiku ini bukan tempat hiburan yang bisa didatangi sesuka hati."
"Kalau begitu katakan."
Kami menoleh. Rian ini diam saja sejak tadi, tapi satu ucapannya mendapat atensi dari kami bertiga. "Bilang sama dia kalau kamu ga mau lagi terlibat apapun yang berhubungan sama dia. Bilang kalau kamu sudah tidak peduli sama dia. Bilang kalau hatimu sudah mati untuknya."
Seno diam lagi. Kali ini aku menatap Seno. Memperhatikan reaksinya. Setiap gerakannya terhenti. Dia ragu. Kami menyadarinya.
"Apa yang membuat kamu ragu?" Puti bertanya.
"Aku juga ga tau."
"Kamu ragu karena takut." Kami menatap Rian lagi. "Kamu takut kalau kamu belum benar-benar melupakannya. Kamu masih meragukan hatimu. Kamu takut kalau kalian bertemu dan membicarakan hal ini, kamu akan jatuh cinta lagi sama dia."
Seno diam. Puti diam. Aku juga diam. Diam-diam aku menyetujui ucapan Rian. Alasan kenapa aku enggan bertemu dengan Kak Mia setelah aku putus dengan Kak Juna dulu memang itu. Aku takut jika aku akan membenci Kak Mia yang jelas tidak tahu apa-apa.
Kediaman Seno menjelaskan semuanya. Rian menghela nafas. Dia membuang gagang es krim ke tempat sampah. "Lantas gimana cara kamu tahu kebenarannya kalau kamu sendiri menolak?" Dia duduk lagi. Kali ini langsung menatap Seno. "Gimana kamu tahu apa hatimu benar-benar sudah mati buat dia kalau kamu menolak untuk mencari tahunya? Menurutku, ini caranya. Kamu akan tahu jawabannya kalau kamu bertemu dan bicara dengan dia. Seperti katamu, hatimu bukan tempat hiburan. Bilang itu sama dia supaya dia mengerti. Jadi kalian berdua akan tahu apa yang harus kalian lakukan setelahnya."
Aku mengangguk setuju. Aku tahu apa yang harus kulakukan setelah aku bicara dengan Kak Mia saat kondangan dulu. Sekarang semuanya baik-baik saja. Aku tidak lagi ragu pada hatiku.
Matahari mulai turun saat kami memutuskan untuk pulang. Seno masih lebih banyak diam. Mungkin memikirkan ucapan Rian. Atau memikirkan ketakutannya pada cinta lama. Puti pulang dijemput Kak Didi sementara aku diantar Rian.
"Terjebak dalam cinta lama itu mengerikan ya..." ucapku sambil turun dari motor Rian. Rian hanya mengangguk.
"Ya. Terjebak cinta lama memang mengerikan. Tapi terjebak dalam persahbatan jauh lebih mengerikan bagiku."
Rian menepuk kepalaku dengan lembut sebelum memutar motornya dan pergi. Aku hanya menatapnya. Masuk ke dalam rumah dengan memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan Seno dengan Jihan.
Hari itu, aku tak memikirkan ucapan Rian sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...