Tapi kisahnya dengan Jihan ternyata tidak sesederhana itu.
"Aku rindu."
Seno terdiam saat mendengar suara Jihan di seberang telepon. Dia menunggu beberapa saat. Melihat sendiri reaksi tubuh dan hatinya terhadap Jihan. Tapi tidak terjadi apa-apa. Debaran yang dulu menggila itu tak ada lagi. Dia tidak lagi merasakan apa-apa. Sebaliknya, Seno justru risih mengingat Jihan punya pacar.
"Kenapa rindu aku?"
"Kamu sudah lama ga hubungi aku. Pesanku juga ga kamu balas. Mana mungkin aku ga rindu."
"Jangan rindu, Han."
"Karena rindu itu berat?"
"Karena aku ga pantas kamu rindukan." Jihan diam. Mungkin terkejut karena respon Seno yang tidak lagi manis. Tapi Seno benar-benar tidak lagi merasakan apa-apa. "Aku ga hubungi kamu karena ku pikir kamu sibuk dengan tugasmu. Kamu kan anak IPA."
Seno mendengar Jihan menghela nafas. "Sepertinya kau salah pilih jurusan, Sen. Sekarang aku malah ingin di IPS."
"Apa bedanya IPA dengan IPS?"
"Di IPA ga ada kamu, Sen."
Seno diam. Lagi, dia merasa risih. Seno seolah merasa mengkhianati pacar Jihan. Apalagi mengingat apa yang pacarnya Jihan lakukan padanya dulu. "Han, jangan begitu. Ingat pacarmu."
"Pacar siapa?"
Seno agak mengernyit heran. "Kamu sudah putus, Han? Kenapa?"
Jihan diam. Hening agak lama waktu itu. Tapi Seno membiarkannya tetap begitu. "Kamu tau darimana, Sen?"
Seno tersenyum simpul. Benar juga. Jihan tidak tahu kalau Seno tahu dia punya pacar. Dulu dia menjauh begitu saja.
"Itu kenapa kamu menjauh teratur?"
Seno menggaruk kepala. Bingung juga harus menjawab bagaimana. "Aku Cuma tahu diri, Han. Pacarmu datangi aku, katanya aku mengganggu kalian. Jadi aku mundur teratur. Aku ga mungkin memaksakan cintaku, kan?"
"Tapi kamu janji akan nunggu."
"Aku tahu diri. Aku tahu batasku."
Dan begitu saja. Seno memutuskan untuk benar-benar berhenti. Dia menjauh dan berusaha untuk tidak terlibat apapun lagi dengan Jihan. Berharap semoga Jihan mengerti dengan keputusannya dan menanggapinya dengan baik.
Sayangnya Jihan tidak begitu. Ucapan Seno setahun yang lalu masih diingatnya. Jihan masih berpikir kalau Seno tetap menunggunya. Dia mulai mengganggu teman-teman Seno. Bertanya pada Chika. Menitip pesan pada Rosa. Bersikap sinis pada Ami. Itu agak mengganggu Seno. Seno tak suka Jihan bersikap begitu pada teman-temannya.
"Kenapa kamu ga balas dia? Kamu kan sudah lama nunggu dia putus sama pacarnya?"
Seno mengangkat bahu tak peduli saat Chika bertanya. "Aku sudah ga memikirkannya lagi, Chika. Terlalu lama menunggu membuatku lelah. Aku memilih istirahat."
"Kalau begitu kenapa ga maju lagi? Memangnya istirahatmu ga cukup?"
Seno menatap Chika saat itu. Ada yang berbeda dengan gadis ini. Dia selalu berucap pedas. Sikapnya juga sinis. Tapi selalu memiliki perhatian khusus pada Seno. Seno menyadarinya. Ucapan pedas itu akan semakin menusuk saat dia berucap pada Seno.
"Masalahnya, aku sudah terlalu nyaman dengan tempat istirahatku. Ga mau beranjak barang sedetik. Jadi aku memilih berhenti."
Chika mendelik. Agak merinding melihat Seno mengatakannya sambil menatapnya begitu. "Lalu kenapa kamu ga coba cari cinta lain? Kata Didip, obat patah hati itu cinta yang baru."
Seno mengangguk. Menendang bola yang mengarah pada Chika. Berteriak marah-marah pada anak-anak yang sedang main bola. "Aku sudah menemukannya kok."
Lalu semuanya berubah lagi. Seno menyadari bagaimana Chika selalu memperhatikannya. Bagaimana Chika akan berkomentar pedas saat Seno bertingkah menyebalkan. Dia tidak berteriak jika Seno menjahili. Sebaliknya, dengan sifat manja dan tak mau kalahnya dia membalas Seno. Jika Seno menyembunyikan bukunya, Chika akan mengambil buku Seno lalu menyerahkannya pada guru sebagai bukunya. Seno yang dihukum. Jika Seno mengotori lantai yang baru di sapu Chika, Chika akan dengan senang hati membersihkannya kembali. Tapi membuang sampahnya di laci meja Seno. Tak mau peduli kalau nantinya Seno diomeli PD karena melanggar aturan kebersihan.
Ini tentu saja berlangsung seru. Teman-teman di kelas akan selalu terhibur dengan pertengkaran dua orang ini. Sri, walaupun dewasa sama sekali tidak berniat memisahkan mereka. Sebaliknya, saat Chika kesal dan mengadu, dia akan mencibir.
"Aku perhatikan saja. Nanti kalau kalian jodoh, aku ga kaget."
Lalu Chika akan menjerit mengeluarkan sumpah serapah yang dia tahu. Seno akan terkikik senang. Karena dia tahu. Sekejam apapun sumpah serapah yang keluar dari mulut Chika, gadis itu akan tetap memperhatikannya. Ini memunculkan pemahaman yang jelas bagi teman-teman sekelasnya. Tapi tidak bagi orang lain.
"Jihan kira kamu suka Ami, Sen. Benar itu?"
Pertanyaan Chika itu benar-benar membuatnya tergugu. Bingung harus bereaksi bagaimana. "Gimana? Kok Ami?"
Chika mengangkat bahu. Tapi jelas ingin tahu. "Ami itu sahabatku. Kalau aku dekat dan perhatikan dia, memang apa salahnya? Lagipula kamu sendiri tahu Ami sudah diincar siapa dari awal."
Chika menipiskan bibir. Setuju dengan Seno. Satu kelas juga tahu Ami disukai siapa. Orangnya saja yang terlalu buta. Tapi pertanyaan Chika itu mau tak mau Seno pikirkan. Kalau tidak di luruskan segera, akan jadi masalah.
Jadi pulang sekolah setelah Chika bertanya begitu, Seno mengajak Jihan pulang bersama. Dia membawanya ke minimart lagi. Menyelesaikan apa yang bermula dari sana.
"Sudah lama ga ke sini bareng kamu."
Jihan berucap pelan. Seno hanya tersenyum tipis. Jihan terlihat berbeda. Pipinya lebih tirus. Kali ini, ada rona kemerahan disana saat Seno menatapnya. Dan Seno menyadari kalau penantiannya setahun ini tidak sia-sia. Sayangnya, penantian itu sudah tidak dibutuhkan lagi.
"Han, tentang satu tahun yang lalu..."
"Aku sudah putus sama pacarku itu." Ucapan Jihan malah membuat Seno menelan ludah. Jika Seno mengatakannya sekarang, akankah semua baik-baik saja?
"Kenapa?"
Jihan menggeleng pelan. "Aku sudah menyadari siapa yang aku suka. Jadi aku tinggalkan dia."
"Siapa yang kamu suka?"
Jihan menunduk. Menyembunyikan pipinya yang mulai merona. Dan Seno merasa tidak senang dengan hal itu. Dia mengalihkan pandangan. Berusaha mencari kalimat yang tepat untuk menyampaikannya pada Jihan.
"Tapi, bagaimana kalau yang kamu suka tidak lagi ada?"
Jihan mendongak. Meski Seno mengatakannya dengan nada selembut dan sehati-hati mungkin, reaksi Jihan tetap tegang. Wajahnya memucat. Dan Seno semakin bingung harus bagaimana.
"Kamu janji menunggu..."
"Aku tidak janji. Saat itu aku memang berpikir aku bisa menunggu, Han. Tapi sudah terlalu lama. Ada banyak hal yang terjadi. Banyak hal berubah. Termasuk hatiku."
"Seno ga suka Jihan lagi?"
Seno menatap Jihan menyesal. "Maaf..."
Dengan itu, Seno benar-benar meninggalkan Jihan. Dia tahu kalau dia sudah sangat jahat meninggalkannya begitu saja. Dia menelepon Amel untuk memberitahunya. Menceritakannya secara jelas agar Amel tahu apa yang harus dilakukannya untuk menenangkan Jihan. Seno percaya pada kekuatan persahabatan. Dia menyerahkan Jihan yang menangis patah hati pada Amel. Lalu pergi tanpa menoleh lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...