Sibuk

7 2 0
                                    


Kelas dua belas menjerit. Mereka mulai disibukkan oleh kegiatan mereka. Ada pelajaran tambahan untuk kelas dua belas untuk mempersiapkan Ujian Nasional. Kak Juna mulai banyak mengacuhkanku. Dia lebih banyak berinteraksi dengan teman dan gurunya. Penegak disiplin mulai sibuk dengan urusan pendidikannya sehingga lebih banyak siswa yang melanggar aturan. Terutama aturan ringan seperti kelengkapan seragam atau keluar kelas.

Beberapa orang yang berpacaran dengan kelas dua belas memilih putus. Aku tidak memiliki pikiran seperti itu. Terutama karena hubunganku dengan Kak Juna tidak punya masalah berarti. Kalau hanya sekedar kesibukan yang sudah tidak bisa ditangani, aku tidak begitu mempermasalahkannya. Aku tahu bagaimana pacarku sibuk dengan pelajarannya. Jadi aku tidak banyak menuntut.

"Kamu yakin gapapa?" tanya Kak Juna. Aku hanya mengangguk saat itu.

"Aku ngerti kakak sibuk. Kalau memang ga bisa terus menamaniku tidak masalah. Toh, kakak ga akan main sama perempuan lain."

Kak Juna menyeringai. "Kenapa kamu yakin sekali?"

"Memangnya kakak punya cewek lain?!" Kak Juna hanya tertawa. Dia menepuk kepalaku seperti biasa. Tidak ada yang salah dengan tidak menjawab. Mungkin memang Kak Juna tidak memiliki jawabannya. Artinya memang tidak ada, kan?

"Kamu suka Kak Juna?"

Terakhir kali Rian bertanya padaku dengan pertanyaan yang sama, aku tidak bisa menjawab. Aku tidak tau bagaimana menjawabnya. Hari ini aku memiliki jawabannya. Sambil makan eskrimku aku mengangguk. Kak Juna masih sibuk dengan kelas tambahan sehingga aku pulang dengan Rian lagi. Bedanya kali ini bersama Puti juga.

"Dia kan pacarnya Kak Juna, mana mungkin dia ga suka. Pertanyaanmu ngaco, Rian." Seno berkomentar. Es krimnya yang mulai mencair dia aduk-aduk. Puti memukul lengannya sambil meringis jijik.

Rian hanya mengangguk. Puti juga tak banyak komentar hari itu. Puti mulai bercerita kala kakak Basket yang disukainya mulai merespon godaannya. Kak Didi, salah satu pemain inti sekolah, sudah disukai Puti sejak awal masuk sekolah. Sekian lama menggodanya, Puti mulai mendapat respon. Dia bercerita dengan histeris.

"Dia ganteng banget. Kemaren dia nyontohin slam dunk, aku meleleh..."

Seno menggerutu lantaran Puti seringkali memukul atau meremas lengannya saat menceritakan bagaimana menggemaskannya Kak Didi. Aku hanya meringis sambil tertawa. Diam-diam sengaja tidak duduk di samping Puti karena tahu dia akan bereaksi seperti itu. Tidak pernah berubah sejak SD dulu.

"Aku ga bisa pulang bareng kamu. Ada tugas yang harus yang harus kerjain sama yang lain."

Aku menghela nafas. Kak Juna menatapku dengan pandangan menyesal. Dia menjawab sapaan beberapa temannya sebentar. "Maaf. Tadinya aku memang sudah niat pulang sama kamu kok. Apalagi kita sudah jarang main bareng. Tapi aku memang ga bisa. Mia nanti ngomel. Aku sudah nunda tugas ini kemarin."

"Kenapa kemarin harus nunda? Kakak sudah janji sama aku." Aku mulai menuntut. Tak ada salahnya menuntut sesekali. Kak Juna terlihat terkejut.

"Kemarin aku ada rapat Penegak Disiplin sama Pak Yudi. Akan ada Penegak Disiplin baru."

Aku merengut. Kakiku menjejak kesal. "Tapi Kak Juna sudah janji."

"Maaf, Mi. Besok kita bisa pulang dan main bareng. Aku janji." Dia mengacungkan jari telunjuk dan tengah.

"Tak perlu." Kesalku. Aku membalik badan enggan menatapnya. "Urusi saja tugas kakak. Jangan pedulikan aku."

Siang itu, aku pulang sendirian. Ini sudah kesekian kali Kak Juna membatalkan janji pulang bersama dalam sebulan. Lihat, aku tidak seacuh yang lainnya. Aku tetap ingin diutamakan. Hanya saja aku tidak terlalu menunjukkannya. Aku berusaha mengerti keadaan pacarku yang sibuk. Sayangnya hari ini pengertianku sudah habis.

"Kamu memang seacuh itu ya?" Aku terkejut. Rian ada tepat di belakangku. Aku hanya merengut sambil menatap lemari es krim. Minggu ini aku dua kali makan eskrim. "Seperti batang hanyut. Kamu ga peduli sekitarmu." Ucapnya lagi. Dia mengambil eskrim pilihannya. Dia juga pasti pulang sendirian karena Kak Mia dengan Kak Juna.

"Aku Cuma lagi ga fokus."

Rian menggeleng. Mengambil es krim pilihanku dan mengajakku pergi ke kasir. "Aku sudah sering datang ke sini. Ada kamu di kasir, di tempat minum, atau di tempat makanan. Tapi ga sekalipun kamu panggil. Padahal aku sudah deketin kamu. Mancing biar dipanggil."

Aku menghela nafas. "Aku bukan ikan. Kalau lihat ya panggil aku. Buatku, kalau ga ada keperluan apapun, ya ga perlu dipanggil."

Dia terkekeh. Membayar es krim kami berdua. Aku agak mengernyit tapi membiarkannya. "Iya. Makanya kubilang kamu kaya batang hanyut. Lewat tanpa permisi atau basa-basi."

Kami berjalan keluar dan duduk di depan minimarket. "Tapi hari ini memang beda. Kamu lagi ga fokus. Makanya ku panggil. Kayanya kamu butuh teman?"

Aku mengangguk. Membuka es krimku perlahan. Aku sudah berusaha membayar es krim ini pada Rian, tapi dia menolak. Jadi aku harus memakannya segera. Aku harus menghargainya. "Aku lagi bete. Jadi sewot mulu dari tadi."

"Kenapa?"

"Kak Juna sibuk lagi."

Rian menghela nafas. Dia meletakkan sendok eskrimnya. "Kamu suka Kak Juna?"

"Kenapa kamu terus-terusan tanya itu sama aku? Dia pacarku. Kuterima dia jadi pacar tentunya karena aku suka dia."

"Tapi kenapa kamu selalu acuh, Mi? Sekarang saja aku kaget kamu ngeluh kalau Kak Juna sibuk. Selama ini kamu keliatan baik-baik aja."

"Dia sibuk setiap hari, Yan. Mana mungkin aku baik-baik aja. Aku juga mau diperhatikan."

"Iya. Aku Cuma kaget. Biasanya kamu diem aja walaupun Kak Juna sibuk. Makanya kutanya, kamu suka Kak Juna? Sifat acuhmu benar-benar luar biasa, tahu?"

Aku diam. Rian juga diam. "Diluar itu, memangnya kamu sudah benar-benar yakin kalau kamu suka Kak Juna? Bukan hanya tertarik karena dia orang yang diidamkan banyak perempuan?"

"Kamu pikir begitu?"

Rian mengangguk. "Karena itu yang kurasakan, Mi. Aku mulai ragu sama perasaanku pada Kak Mia. Aku mulai meragukan hatiku sendiri."

"Kenapa? Karena sekarang Kak Mia sibuk?"

Rian mengangguk. "Awalnya aku selalu mengutamakan dia diatas segalanya. Kamu tau itu. Tapi setelah dia sibuk dengan pendidikannya, semuanya mulai hambar. Mataku seolah terbuka. Kenapa kusukai dia sejak dulu?"

Aku diam.

"Karena dia adalah gadis yang diinginkan semua cowok. Teman-temanku memberiku selamat waktu aku jadi pacarnya. Orang-orang melihatku dengan kagum waktu tau aku pacarnya. Beberapa keliatan ga percaya kalo aku genggam tangannya waktu kita main bareng."

"Tapi dengar Seno cerita kalau dia selalu deg-degan sama Jihan, aku mulai berpikir ulang. Selama ini debaran itu ga pernah aku rasakan, Mi. Satu kalipun."

"Lantas kamu mau apa?"

"Aku ga tau. Yang pasti aku harus berpikir ulang mengenai hubunganku dengan Kak Mia. Apalagi sekarang dia sibuk. Ga ada waktu untuk sekedar pulang bareng."

"Kamu ga berniat jadi cowok brengsek dengan manfaatin momen ini, kan?"

Rian tertawa. Es krimnya sudah habis. "Aku ga sejahat itu. Perasaanku ga ada hubungannya dengan kesibukannya. Kamu ga perlu khawatir."

Aku mengangguk mengerti. Dalam diamku mulai memikirkan ucapan Rian. Apa aku seacuh itu? Apa aku benar-benar tidak mempedulikan apapun sampai tidak mengenali hatiku sendiri? Tapi aku sudah sangat yakin kalau aku memang menyukai Kak Juna. Aku menerimanya karena memang aku menyukainya. Bukankah begitu?

Hari itu, lagi-lagi perasaan aneh mulai mengusikku.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang