Kelas X-3

14 3 0
                                    


Masa Orientasi Sekolah sudah selesai. Hari ini aku berangkat sekolah lebih baik. Bahkan repot-repot membangunkan Kak Akbar agar mengantarku ke sekolah. Butuh perjuangan asal kalian tahu saja. Saat itu hari pertamaku memakai rok abu-abu setelah minggu lalu masih memakai rok biru. Rasanya tentu saja menyenangkan. Begitu sampai disekolah, hal pertama yang aku lihat adalah papan pengumuman. Sudah ada banyak siswa baru berkumpul disana.

"Ami, kamu di kelas mana? Aku kelas X-3." Seno langsung bertanya begitu melihatku. Aku hanya menggeleng. Tak punya bayangan akan berada di kelas mana. Aku hanya berharap semoga ada orang yang ku kenal disana sehingga aku tidak sendirian.

"Ami, ayo. Kita satu kelas di X-3." Yuyu menarik tanganku menjauh dari kerumunan papan pengumuman. Menariku menuju ruang kelas di dekat lapangan. "Kamu duduk denganku saja ya. Aku belum kenal orang lain."

Aku hanya mengangguk pasrah saja. Lagipula aku sendiri belum mengenal banyak orang. Mungkin hanya orang-orang yang saat MOS kemarin berada satu ruangan denganku. Itupun tidak semuanya ku kenali.

Aku menatap Seno dengan heran. Dia menatapku dengan mata menyipit tajam. Begitu juga pada Yuyu, dan sepertinya pada orang di belakang kami. Aku tak begitu memperhatikan siapa dibelakang.

"Kenapa wajah kalian ga asing ya. Dimana aku pernah lihat?!" dia menopang dagu ditangannya. Ekspresinya tampak berpikir.

"Sialan. Dari sembilan kelas, kenapa pula aku harus satu kelas sama kamu!"

Aku langsung menoleh. Di belakangku ternyata ada Ricky dan Hadi. Teman satu kelompokku saat MOS kemarin. Kenapa aku tak menyadarinya?

"Kalian disini? Kukira Cuma aku dan Ami yang satu kelas." suara Yuyu terdengar senang.

"Kalian beneran ga lihat kita duduk disini waktu masuk tadi? Kupikir kalian Cuma pura-pura ga kenal biar dramatis saat kenalan kelas nanti." Hadi berucap datar. Yuyu memukulnya.

"Kita berlima satu kelas? Lalu dimana Puput (Puti), Rian dan Wawan?" Seno mengambil tempat duduk tepat disebelahku. "Sayang banget mereka ga sekelas kita."

"Itu malah kebahagiaan mereka, Sen. Kasian aku sama Rian kamu repotkan terus selama MOS. Berapa kali dia kena bentak Kak Juna gara-gara kamu?!" Ricky menyahut malas.

"Jangan begitu." Seno mengeluarkan botol minumnya dan menyimpannya di meja. "Kalau kelas ini punya aku, kita akan menjadi kelas sorotan. Aku ini terkenal tahu!"

"Iya kamu memang terkenal." Yuyu menyimpan botol minum di atas meja seperti Seno. "Di kebun binatang." ucapnya santai lalu bertos dengan Ricky.

Seno mencibir. Mereka balas saling mengejek setelahnya. Aku tetap diam. Seperti yang biasanya. Aku memang tak banyak bicara. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena malu. Ini kekuranganku. Aku tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Aku selalu merasa canggung pada orang-orang yang baru kukenal. Aku hanya akan ikut tertawa saat mendengar lelucon. Atau ikut mencibir saat mendengar ejekan. Tapi tidak pernah membalas. Aku tidak tahu caranya. Hari itu, aku hanya melihat mereka mengobrol dan bercanda. Hanya menimpali saat ditanya.

---

Kutatap papan tulis dengan malas. Namaku tertulis di sana sebagai sekertaris kelas. Tepat di bawah nama Reinaldi sebagai sekertaris pertama. Cowok bongsor yang duduk di dekat pintu. Beda denganku, dia sepertinya senang dengan jabatan barunya. Sejujurnya, aku enggan menjadi pengurus kelas. Terakhir kali aku memilikinya, teman-teman kelasku membebankan segalanya padaku sendiri. Mungkin sejak itu aku jadi pendiam dan tak pernah membalas apa yang orang lakukan padaku. Dan saat ini aku mendapatkannya lagi. Dengan posisi yang sama. Mari kita berdoa semoga kelas ini bisa bekerja sama.

"Kita sudah punya hampir semua pengurus kelas kecuali ketua kelas." Bu Ida menatap papan tulis dengan bangga. Tulisannya tidak terbaca sama sekali, kecuali karena ingatanku yang lumayan, sepertinya menjadi kebanggaan tersendiri untuknya. Dia menoleh dan menatap kami satu persatu. "Siapa yang siap jadi ketua kelas?"

Kelas mendadak senyap. Tentu saja ketua kelas adalah jabatan paling tinggi di kelas. Juga paling menyebalkan karena selalu menjadi kambing hitam bagi setiap kesalahan kelas. Dan mengingat bagaimana Penegak Disiplin bertindak saat MOS kemarin, sepertinya jabatan itu agak mengerikan.

Bu Ida menatap kami dengan alis bertaut. "Ada yang siap jadi ketua kelas? Kita sudah dapat pengurus lain. Atau ada yang mau mengusulkan?"

"Seno, bu! Tadi dia bilang sama saya dia mau jadi ketua kelas!!"

Aku dan Yuyu menoleh. Ricky baru saja berucap kencang. Usulnya langsung mendapat pelototan tajam dari yang bersangkutan. Aku dan Yuyu kompak terkikik. Seno tidak bisa mengumpan Ricky karena dia sudah jadi seksi upacara. Atau Hadi yang sudah jadi seksi agama. Dan karena sejak tadi dia berteriak mengusulkan nama-nama lain menjadi pengurus kelas, tentu saja dia tak bisa berkutik.

"Iya bu. Seno udah pengalaman jadi ketua! Kemaren dia jadi ketua MOS bu!" Hadi menimpali dengan nada meyakinkan.

Bu Ida terlihat mengernyit. Tentu saja tidak yakin dengan usul mereka berdua. Ditambah lagi Seno terlihat sangat keberatan. Dan sejak tadi Seno adalah orang yang banyak bicara. Dia mengusulkan nyaris separuh nama pengurus kelas yang kini sudah disetujui. Tapi tidak ada tanggapan lain dari siswa lain. "Yang lain? Apa ada usul lain?"

"Kalian dengar? Bu Ida bahkan tahu aku ga cocok jadi ketua kelas! Jangan sembarangan mengusulkan dong!"

"Bilang itu sama dirimu sendiri!" itu suara cewek yang duduk di dekat meja guru. Kalau tak salah namanya Jihan. Sepertinya dia dendam pada Seno karena namanya tertulis sebagai bendahara.

"Aku anak baik. Kuusulkan orang-orang yang kompeten di bidangnya! Aku ga asal-asalan!"

"Kalau kamu anak baik, kenapa ga mau jadi ketua kelas?" aku berucap pelan tanpa sadar.

Seno menatapku terkejut dan tak percaya. Aku agak tak nyaman di buatnya. "Ami, Kamu dari tadi diam aja, satu kali ngomong kok menyebalkan?!"

Aku agak sewot dibilang menyebalkan. "Memangnya kamu sendiri ga menyebalkan?!"

Dia sepertinya terkejut mendengar suara sewotku. Bu Ida menepuk spidol ke papan tulis dan membuat kami diam. "Sudah, jangan bertengkar. Begini saja, siapa yang tidak setuju Seno jadi ketua kelas? Angkat tangan kalian."

Seno mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Saya ga setuju, bu. Saya memberikan kesempatan bagi orang lain yang lebih cocok dan lebih kompeten untuk menjabat sebagai pemimpin kelas ini." ucapnya bangga. Ekspresinya bahkan sudah mengcopy Ir. Soekarno saat sedang pidato. Tampak yakin dan penuh tekad.

Bu Ida meringis menyadari hanya Seno yang mengangkat tangan. Selain itu, aku mendengar sendiri desas-desus disekelilingku. "Biar saja dia jadi ketua kelas, aku sih ogah."

"Yang setuju Seno jadi ketua kelas, angkat tangan kalian." Bu Ida melanjutkan.

Kali ini Seno terperangah. Dia bahkan berdiri dari kursinya. Seluruh kelas, kecuali Seno dan Bu Ida, mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ricky, Hadi dan Jihan bahkan mengangkat kedua tangan.

"Ga bisa gitu dong! Saya ga terima, Bu! Ini pasti ada kecurangan!" Seno maju ke depan. Ricky dan Hadi terkikik tak peduli. "Ini pasti ada makar di baliknya, Bu. Saya yakin!" Seno berucap semangat. Bu Ida sampai agak takut.

"Sudahlah, terima nasib. Ga perlu berlebihan!" Hadi berucap sambil menahan senyum. Membuat Seno semakin melotot tak terima. Dia jelas sudah dijadikan kambing hitam bahkan sebelum resmi menjadi ketua kelas.

"Bu, saya ga terima bu. Pokonya saya pasti ada kecurangan bu. Ini pasti ada..."

"Seno, kamu bisa jadi ketua kelas! Kamu harus yakin sama dirimu sendiri kalau kamu bisa mengemban tugas ini dengan baik."

"Tapi bu.."

"Sidang di tutup. Seno jadi ketua di kelas X-3. Kembali ke tempat duduk kamu."

Aku terkikik dengan Yuyu di tempat duduk kami. Begitu pun Hadi dan Ricky. Hari ini itu, aku hanya berpikir menjadikan Seno yang narsis sebagai ketua kelas adalah hal yang lucu. Kelas mungkin akan hancur dalam sekejap. Tapi lebih baik kami hancur dengan pemimpin daripada hancur sendirian.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang