Melupakan Itu Sulit

5 2 0
                                    


Apa yang sulit setelah putus cinta? Tentu saja melupakan. Bukan melupakan rasanya. Aku, baru sadar, tidak pernah merasakan perasaan itu sejak lama. Tidak sulit bagiku untuk melupakan rasanya. Yang sulit dilupakan adalah kebiasaannya, kenangannya. Meski usia pacaranku dengan Kak Juna tidak sampai satu tahun, kami punya kebiasaan rutin. Seperti pergi kencan setiap bulan. Atau saling berkirim pesan dalam kurun waktu beberapa jam sekali. Atau juga hanya sekedar mengobrol ringan. Percaya atau tidak, kebiasaan itulah yang sulit kulupakan.

Butuh waktu agak lama bagiku untuk terbiasa tanpa Kak Juna. Aku tidak lagi mencintainya. Cintaku semu. Tapi kebiasaan itu masih tetap ada. Dalam beberapa akhir pekan aku akan bertanya-tanya kenapa Kak Juna tidak mengajakku kencan. Aku akan menunggunya. Atau bahkan hampir berinisiatif mengirim pesan dan mengajaknya kencan lebih dulu. Lalu tepat sebelum pesan terkirim, aku akan merasa tertampar saat menyadari Kak Juna sudah sibuk dengan gadis barunya.

Pernah satu malam ponselku berdering karena ada pesan masuk. Awalnya kupikir Kak Juna mengirimku pesan selamat malam seperti yang biasa dia lakukan, tapi itu hanya Seno yang bertanya tugas sekolah. Lalu setelah itu aku akan ingat Kak Juna tidak akan mengirimku pesan seperti itu lagi.

Atau juga Rian yang memanggilku dari jauh.

"Mi...."

Aku akan langsung menoleh. Merasa seolah suaranya terdengar seperti suara Kak Juna. Padahal itu jelas-jelas Rian. Hanya karena cara dia memanggil mirip seperti Kak Juna memanggilku. Semuanya jadi terdengar bias.

Lalu kenyataan lagi-lagi menamparku. Menyadarkanku satu hal. Bahwa Kak Juna nyaris tidak pernah memanggilku dengan nama lengkap. Dia selalu memanggilku seperti itu. Mungkin itu sebabnya malam itu panggilannya terasa asing. Karena saat itu adalah kali pertamanya memanggilku dengan benar.

Aku tertawa kering. Jadi sejak awal aku memang hanyalah boneka pengganti? Atau mungkin itu datang pada saat kami masih berpacaran. Entahlah. Namaku dengan Kak Mia terdengar mirip. Kami akan menoleh bersama kalau ada orang yang memanggil 'Mi'. Apa mungkin Kak Juna sengaja berpacaran denganku karena tak ingin salah menyebut nama orang lain? Karena kebiasaanya, dia hanya bisa memanggilku "Mi". Tanpa ada emberl-embel atau panggilan kesayangan lain.

"They are fallin love each other since forever. No one can tear them apart. Absolutely."

Puti mencibir saat Seno berkomentar seperti itu. "Sok bule..."

"They just too blind to realize it." Puti mendelik karena Rian ikutan berkomentar dengan bahasa inggris. Keduanya melakukan tos dengan bangga.

Lantas, berapa lama aku harus terbiasa dengan kebiasaan yang hilang itu?

"Kalau tidak salah ingat aku Cuma butuh waktu sebulan. Aku sudah menghindarinya sejak sebelum putus sih..." Rian menjawab kalem sambil menyalin tugas milik Halimah.

"Kamu brengsek." Yuyu berkomentar kalem. Tapi Rian sama sekali tak peduli. Dia hanya mengangkat bahu sambil tetap menyalin tugas.

"Sampai sekarang, rekor move on terlamaku masih saat putus dengan pacar pertama sih. Kalau tidak salah waktu itu aku baru bisa move on setelah tiga bulan. Itupun karena aku punya pacar baru lagi..."

Kami menoleh serentak. Terkejut karena yang baru berucap itu adalah adalah Didip (Diva), cewek tomboi kita. Kupikir dia ga tertarik sama pacaran. Soalnya kebanyakan laki-laki dikelasku takut sama dia. Kalau kalian tidak lupa, Chika bahkan memanggilnya 'Bang Didip'. Maafkan aku Didip.

"Pacarmu itu perempuan atau laki-laki?" Seno mengaduh karena dihajar Didip. Tapi yang lain hanya tertawa. Tak tertarik memisahkan.

"Obat move on paling ampuh itu adalah cinta baru, Mi."

"Iya." Seno kembali duduk di sebelahku. "Karena dapat cinta baru itu semudah mencari jarum di tumpukan jerami, Mi. Kamu akan langsung menemukannya dalam sedetik." Ucapnya telak. Jelas kalimat sindiran untuk ucapan Didip. Aku ingat dokter Dito juga pernah bilang begitu. Tapi ucapan itu memang sulit untuk direalisasikan.

Didip tak banyak pusing dengan ucapan Seno. "Iya." 

Dia menggeser buku Halimah ke sisinya setelah melihat Rian selesai. "Semua Cuma soal waktu. Aku butuh waktu tiga bulan waktu pertama kali. Kupikir dia akan jadi yang pertama dan terakhir. Tapi saat aku putus dengan pacar ke dua kemarin, aku Cuma butuh waktu dua minggu. Semua tentang dia dan kebiasaan kita berdua sudah hilang dan ga aku pikir lagi."

Kami menoleh lagi. "Kamu mungkin ga percaya sama cinta pada pandang pertama, Mi. Itu karena kamu belum pernah mengalaminya. Tapi pepatah lain bilang cinta datang karena terbiasa. 

Aku mendengarkan dengan khidmat. 

"Yang harus kamu inget lagi, cinta ga Cuma soal pasangan. Kamu bisa juga temukan cinta baru dari teman-teman dan keluarga kamu. Cinta ga melulu soal pacar kok."

"Gimana kalo aku ga bisa?"

"Ya jangan dipikirkan. Atau bisa juga karena kamu ga berusaha. Coba kamu tanya, kenapa Seno masih belum bisa melupakan ceweknya itu? Jangankan kebiasaannya, rasanya saja masih dia punya."

"Aku sudah usaha tau!" Seno menyahut tak terima.

"Berarti kamu masih memikirkan cewek itu." Seno diam. Kami juga diam. Yuyu yang masih menyalin melupakan tugasnya. Malah ikut mendengarkan ucapan Didip. "Pernah dengar kan, sesuatu yang kamu pikirkan terus-menerus, bisa menjadi kenyataan. Dia ga bisa melupakan ceweknya itu, memang karena ga bisa, atau karena tidak mau?"

"Mungkin karena cintaku pada si Dia sudah terlampau dalam..." Seno asal menjawab.

"Kamu diperbudak cinta. Begitu saja ga tau. Dasar bodoh..." Yuyu berucap pedas. Menutup bukunya setelah menyadari tugasnya sudah selesai di salin. Tapi tak beranjak dari sana karena masih ingin mendengarkan Didip.

"Coba kalian jawab pertanyaanku. Teman atau pacar?" Didip masih menyalin tugas. "Dalam 1,2,3"

Kami refleks menjawab kompak. Saat itu aku menjawab tanpa memikirkan apa-apa. Semua murni karena refleks mengikuti hitungan Didip. Lalu kita takjub pada jawaban yang kompak meski tanpa kordinasi.

"Teman."

Didip kali ini mengangkat kepalanya. Dia menyimpan buku Halimah di tempatnya lagi. "Kenapa kalian kompak pilih teman? Memangnya ga punya pacar?"

Kami menoleh pada Yuyu yang sebenarnya punya pacar. Dia menggeleng. "Aku ga tau. Itu yang pertama kali aku pikir. Aku bilang aja karena kaget juga Didip tiba-tiba ngitung..."

"Jawaban yang keluar karena refleks itu adalah jawaban muncul dari hatimu. Kalau kalian masih memilih teman, artinya perasaan pada siapapun yang kalian pikir kalian cinta, belum sedalam itu."

"Jadi seharusnya kita masih bisa melupakan dia?" Seno bertanya. Didip mengangguk.

"Seharusnya begitu. Kalau aku jadi kamu, aku Cuma perlu mengacuhkannya. Ga perlu dipikirin bahwa dulu aku begini, dulu aku begitu. Itu kan terjadinya dulu, bukan sekarang. Masa depan ga ada yang tau."

"Artinya aku ga akan sulit lupakan dia. Begitu maksudmu?"

Didip mengangguk lagi. Lalu entah siapa yang memulai. Kami serempak bertepuk tangan untuk Didip. Didip mengangguk-ngangguk menerima penghormatan. Seperti orang yang baru menerima penghargaan luar biasa.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang