Kak Juna

11 2 0
                                    


Kedekatanku dengan Kak Juna mulai menjadi perhatian. Teman-temanku mulai penasaran pada kedekatan kami. Puti bahkan terang-terangan akan menggodaku dan Kak Juna kalau dia melihat kami bersama. Dan aku akan merasa malu karenanya. Terutama karena mulut cablak Puti sama sekali diluar kontrol.

"Kak Juna, ayo kapan pacari kawanku?! Jangan Cuma diberi harapan palsu, dong!" ucapnya satu kali kami berpapasan dikantin. Aku melotot dan ingin membungkam mulutnya saja. Pipi ku sudah panas waktu itu.

"Iya nanti. Kapan-kapan. Tunggu saja..." balasan Kak Juna sama sekali tidak membantu. Aku malah semakin malu dengan jawaban itu dan Puti semakin menggodaku.

Perkenalan kami secara resmi berawal dari pertemuan PMR waktu itu. Aku terkejut melihat Kak Juna menampilkan kepribadian yang sama sekali berbeda dengan yang dia tunjukan saat Masa Orientasi Siswa sebagai ketua Pengak Disiplin. Bersama PMR, Kak Juna menampilkan pribadi yang ramah dan ceria. Aku yang pendiam tentu saja merasa tertarik.

"Kamu polos sekali." ucapan pertamanya padaku selain perkenalan. Dia mengucapkannya sambil menepuk kepalaku. Hal yang sampai saat ini masih selalu dia lakukan. Aku menyukai cara dia melakukannya. Terlihat lucu.

Hubungan kami semakin dekat sejak saat itu. Kak Juna akan menyapaku kapanpun kami berpapasan. Mungkin kecuali saat dia sedang dalam tugas Penegak Disiplin. Aura angkuh dan arogan akan mengelilinginya dan membuatku bergidik.

Ami?

Ini Juna. Simpan kontakku ya.

Itu pesan pertama yang kudapat darinya. Setelahnya, dia banyak mengirimku pesan yang cukup menghiburku. Kadang aku bertanya mengenai pelajaran yang sulit, atau juga tentang PMR. Beberapa kali tentang teman-temannya. Saling berkirim pesan membuat kami semakin dekat. Saat itu, Puti belum tahu apapun.

"Kenapa Juna mengirim pesan sama kamu? Sejak kapan kalian dekat?" itu responnya begitu tahu aku sering berkirim pesan dengan Kak Juna.

"Kak Juna" koreksiku. Aku membalas pesan Kak Juna dulu. "Dia ketua PMR tahun lalu. memangnya kenapa?"

"Kok aku ga tau?"

"Kenapa harus tahu? Memangnya kamu siapanya dia?"

Puti memutar mata malas. "Kenapa dia kirim pesan sama kamu? Kenapa kamu balas?"

"Apa salahnya? Dia kirimi aku pesan, aku balas. Memangnya kenapa?"

Puti mengangkat bahu. Dia memakan keripiknya sambil menonton TV. "Bukan apa-apa. Menurutku, dia bukan tipe orang yang suka mengirim pesan tak penting. Kufikir dia hanya berkirim pesan mengenai kegiatan PMR saja."

"Tidak ada salahnya sekedar bertanya kabar."

"Kalian bertemu di sekolah. Dia tahu kabarmu." Puti minum sebentar. Dia hampir tersedak tiba-tiba. "Atau mungkin dia naksir kamu?"

"Jangan sembarangan berasumsi. Kenapa dia harus naksir aku? Kamu sendiri yang bilang dia ganteng. Banyak yang naksir dia."

"Yang naksir dia banyak. Kalau yang dia taksir pasti Cuma satu. Dia bukan playboy kan?." Puti diam sejenak. matanya berputar seolah berpikir. "Awalnya kufikir dia naksir Kak Mia. Lalu kamu Cuma jadi pelarian."

Aku menoleh tak terima.

"Nama kalian mirip." balasnya tanpa beban.

Ucapan Puti hari itu tentu saja kufikirkan. Apalagi aku sendiri tertarik pada Kak Juna. Aku tidak munafik. Kak Juna cukup ganteng. Belum lagi aktif dan jadi salah satu kepercayaan guru. Dia juga ramah dan suka bercanda. Tapi aku tidak ingin berharap terlalu tinggi. Aku sadar diri bagaimana aku dan kemampuanku. Jika dibandingkan Kak Mia, aku jelas bukan apa-apa.

Barangkali yang menyadari keraguanku pada Kak Juna bukan hanya Puti dan Yuyu. "Kamu suka Kak Juna?" tanya Rian satu hari. Aku tak bisa menjawab waktu itu. Aku ragu pada diriku sendiri. Bagaimana kalau perasaanku bukanlah suka dalam arti 'cinta'? Mungkin saja rasa tertarik ku ini hanya karena aura Kak Juna yang tampak bersinar. Siapa yang tahu?

"Kamu pernah naksir orang, Mi?" Tanya Kak Juna suatu hari.

Aku menggeleng saat itu. "Mungkin puberku terlambat, kak. Aku belum pernah naksir orang sebelumnya."

"Sudah pernah pacaran?"

Aku menggeleng lagi. Dia mengangguk mengerti. Dia tertawa kecil. "Pantas agak sulit mendekati kamu ya. Bahkan mungkin kamu ragu dengan perasaanmu sendiri apa itu naksir atau bukan?"

Aku mengangguk setuju. Hari itu aku tak paham maksud ucapannya. Tapi aku menyetujui ucapan Kak Juna. Faktanya, aku tidak bisa membedakan perasaanku. Tapi dia tetap menjadi Kak Juna yang kukenal. Dia masih menepuk kepalaku saat akan pergi.

"Kenapa kamu belum pacaran dengan Kak Juna?" Seno bertanya dengan gemas suatu hari. Waktu itu menjelang semester. Seno mengajakku (memaksa, Red) belajar bersama. Yuyu fokus mengerjakan soal belajar walaupun diam-diam melirik penasaran.

"Dia tidak minta aku jadi pacarnya." jawabku spontan.

"Kamu bisa minta dia jadi pacarmu duluan."

"Jangan!" Yuyu yang semula (pura-pura) fokus belajar langsung memotong. Nyaris berteriak. Dia menyimpan pulpennya. "Kamu itu perempuan, Mi. Harga dirimu harus tinggi. Walaupun kamu belum pernah pacaran, jangan mau ngajak pacaran duluan. Kalau dia suka kamu, harusnya dia bilang. Kalau ga bilang, artinya ga suka. Segampang itu, kok." Ucapnya menggebu.

"Tapi kalau Ami suka, kenapa tidak?" Seno menimpali.

"Ami itu perempuan, Seno. Kita perempuan harus punya harga diri yang tinggi. Supaya cowok-cowok seperti kamu tidak merendahkan kami!"

Seno memutar mata malas. "Wanita, dan harga dirinya."

Barangkali, ucapan spontanku pada Seno hari itu benar-benar terjadi. Setelah ujian semester selesai, Kak Juna mengajakku pulang bersamanya. Aku yang memang sedang menghemat uang untuk liburan langsung setuju. Tapi, Kak Juna tidak langsung mengantarku pulang. Dia mengajakku untuk mampir di warung samping sekolah. Tempat siswa nongkrong sepulang sekolah.

"Kamu tahu, Mi. Awalnya, kufikir pacaran itu ga perlu." ucapnya hari itu.

"Kenapa?"

Dia mengangkat bahu. "kupikir, hubungan itu hanya bersifat relatif. Ada yang mengikat ada yang tidak. Mengikat berarti harus siap dengan komitmen. Dulu aku ga siap dengan komitmen apapun."

"Lalu?"

"Lalu aku lihat Mia dan Rian. Yang membuatku sangat kaget. Kenapa Mia bisa suka pada Rian yang lebih muda darinya. Dua tahun. Dan mereka terikat. Walaupun hanya pacaran. Waktu kutanya Mia, kamu tahu apa jawabannya?"

"Apa?"

"Dia bilang, 'aku suka dengan komitmen. Dengan dia jadikan aku pacar, artinya dia siap untuk aku repotkan kapanpun aku punya kesempatan. Dengan dia jadikan aku pacar, artinya aku miliknya. Orang lain akan berpikir ulang kalau mau dekati aku. Dan aku sendiri akan punya batas.' Jawabannya waktu itu buat aku mikir tentang ketidaksiapan ku berkomitmen."

"Artinya sekarang Kak Juna sudah siap berkomitmen dengan orang yang kakak suka?"

Dia mengangguk. Senyumnya tiba-tiba mendebarkan, sekaligus juga menenangkan. "Mi, ayo jalani komitmen bersamaku. Ayo repotkan aku kapanpun kamu butuh aku. Ayo bangun batas untuk orang lain." Kak Juna menatapku lekat-lekat. Aku meremas rok seragam sekolahku. "Jadi pacarku, ya?"

Hari itu, pertama kalinya aku merasakan manisnya pernyataan cinta dari seorang pria. Di tahun pertama ku di SMA, aku mendapatkan cinta untuk pertama kalinya. Hari itu, yang kurasa hanya senang dan bahagia.Sampai aku melupakan satu fakta yang meragukanku sebelumnya.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang