Aku turun terburu-buru dari angkot. Nyaris berlari menuju gerbang lantaran satpam hampir menutupnya. Baruntungnya aku masih bisa masuk. Siswa berseragam biru berkumpul di lapangan yang langsung ku ikuti. Ini hari pertama sekolah dan aku nyaris terlambat. Kami masih memakai seragam putih biru karena belum memiliki seragam putih abu yang seharusnya kupakai. Disamping itu kami masih dalam Masa Orientasi Siswa di sekolah ini.
"Ami!"
Halimah menyodorkan botol minum padaku yang langsung ku terima dengan senang hati. Kutaruh tas di pinggir lapangan dan mengikuti siswa lain berbaris di lapangan. Beberapa kakak kelas melirik dengan menggoda yang tentu saja tak kupedulikan sama sekali.
Upacara pembukaan Masa Orientasi Siswa dimulai dengan tenang. Kepala sekolah memberi sambutan yang membosankan. Panitia OSIS juga mengucapkan selamat datang. Halimah tidak bisa menahan sengatan panas di lapangan dan memilih mundur ke ruang UKS didampingi oleh panitia OSIS.
Tidak banyak kegiatan hari ini. Kami hanya bertemu dan berkenalan dengan panitia OSIS yang akan mendampingi kami tiga hari ke depan. Juga dengan teman-teman kelompok yang membentuk tim dalam satu ruangan.
Beruntungnya sekolah ini tidak lagi menerapkan perpeloncoan. Hanya Penegak Disiplin yang tegas. Bahkan sejak kemunculannya memunculkan aura gelap yang tak biasa.
"Tidak merokok di lingkungan sekolah, tidak ada tato, tidak ada narkoba." Ketua Penegak Disiplin memberikan arahan peraturan yang harus ditaati. Suaranya kencang hingga aku yakin akan terdengar sampai ruang ujung.
"Dia ganteng." Puti berucap centil disampingku. Ya, kami satu kelompok. Aku menegak ketika pria itu melirik tajam kearah kami berdua. Puti sendiri langsung menunduk.
"Pakai seragam sesuai aturan dan ikuti ucapan panitia pembimbing kalian. Paham?!"
Kami mengangguk serentak. Kalau tidak salah namanya Juna, ketua Penegak Disiplin. Posisinya selalu berdiri di tengah saat mereka berdiri didepan siswa baru. Dengan posisi yang sepertinya sudah diatur sedemikian rupa sehingga susunannya tidak pernah berubah sejak awal mereka muncul.
"Saya tidak dengar. Apa kalian paham?!" suaranya menggelegar. Bahkan panitia OSIS yang membimbing di ruangan pun memucat.
"Ya!" kami refleks menjawab. Dia terlihat mengernyit sebentar tapi tak banyak bicara lagi. Dengan wajah dingin, dia pergi begitu saja bersama Tim Penegak Disiplin lainnya.
Segera setelah Penegak Disiplin pergi, Kak Yudha, pembimbing kelompokku meminta kami untuk berkumpul. Mendiskusikan siapa yang akan menjadi ketua kelompok.
"Ami, Ami! Dia pernah jadi ketua kelas di SMP nya." Puti berucap kurang ajar. Aku langsung melotot mendengarnya. Aku langsung menggeleng melihat Kak Yudha terlihat mempertimbangkan ucapan gadis itu.
"Engga kak. Yang lain saja. Barangkali laki-laki lebih mampu." ucapku sambil menginjak kaki Puti. Dia sempat menjerit tapi aku tak peduli sama sekali.
"Lantas siapa yang berani? Kakak tidak akan memaksa. Kecuali tidak ada yang mengajukan diri." Kak Yudha menatap kami satu persatu. Ada delapan orang dalam satu kelompok dan kelompokku hanya memiliki tiga orang perempuan. Aku, Puti dan Yuyu, teman baru kami.
"Aku siap, kak"
Kami menoleh serentak. Aku agak terkejut. Dia cowok berkaca mata yang meminjam pensilku saat ujian seleksi dulu. Dia satu kelompok denganku? Siapa namanya?
"Kamu yakin Rian? Kamu pasti bakal jadi kambing hitam kalau kelompokmu bermasalah"
Oh, Rian.
"Kalo gitu saya Cuma bisa percaya sama temen-temen. Kalian ga akan bikin masalah, kan? Apalagi sama Penegak Disiplin."
Aku menggeleng mantap. Begitu pun Puti dan Yuyu.
"Ga usah takut sama PD, memangnya dia tuhan yang bisa menentukan kita bersalah atau tidak?!"
Aku agak sewot mendengar komentar itu. Kalau tidak salah namanya Seno, dari Ibu Kota. Ekspresinya pun terlihat arogan.
"Kenyataannya untuk sekarang dan tiga hari kedepan, PD itu akan jadi apa yang kamu sebut tuhan. Mereka akan menentukan apakah kamu salah atau tidak tanpa peduli kamu siapa."
Jawaban dari Rian agak mengejutkanku. Dan Seno pun tak menjawabnya lagi. Dia hanya mengangkat bahu tak mau ambil pusing.
"Kalau begitu, biar Ami yang jadi sekertaris. Supaya Rian punya pendamping." Yuyu mengusulkannya sambil terkikik dengan Puti. Mereka kelihatannya akan menjadi dekat. Sialnya, ucapan Yuyu itu disetujui Kak Yudha dan yang lainnya.
Hari itu kami hanya saling berkenalan dan membuat yel-yel kelompok. Kami mengobrol satu sama lain. Menanyakan alamat agar bisa saling berkomunikasi dengan baik. Ironisnya, hanya aku dan Puti yang alamatnya paling dekat dengan sekolah. Sisanya berlawanan arah denganku. Kecuali Rian.
Teman kelompokku cukup menyenangkan. Seno cukup cerewet, tapi dia lucu. Dia suka sekali bercanda dan membuat lelucon yang mengocok perut. Aku lebih banyak diam, begitu juga Rian. Sepertinya dia juga orang yang tidak banyak bicara.
"Rumah kita satu arah, kan? Jauh gak?"
Aku diam sebentar. Agak terkejut sebenarnya karena dia tiba-tiba menghampiriku dan bertanya seperti itu. "Lumayan. Rumahku di kampung, kalau mau main mungkin agak susah jalannya." jawabku begitu ingat kami sempat menyinggung main ke rumah teman.
Dia mengangguk paham. "Pakai motor ga bisa?"
"Bisa. Tapi masuk gang. Lagian memangnya sudah sepakat mau main ke rumahku? Tadi Seno minta di cafe saja."
Dia mencibir. "Seno anak kota, harus diajak main di kampung sekali sekali. Biar dia merasai menginjak lumpur"
Aku terkikik. Dia juga. Seno mendengar.
"Enak saja! Sepatuku mahal tau! Mana mungkin orang kaya ini main-main di kampung?!"
"Halah... semahal apa sepatumu itu? Sini ku kenalkan dengan sepatu baruku! Baru kubeli di pasar loak kemarin sore..."
Seno langsung menjerit menghindar saat Ricky mencoba menginjak sepatu 'mahal'nya. Mereka berlarian di sekitar kursi hingga mendapat teguran dari pembimbing lain. Kak Yudha sepertinya tak ambil pusing dengan tingkah mereka berdua.
"Catat dan ingat baik-baik nama teman kelompok kalian. Itu akan menunjukkan kekompakan kalian sebagai kelompok. Oke?!"
Kami mengangguk serempak. "Ingat baik-baik, kawan. Namaku Tao Ming Tse. Cowok idaman semua orang..." Seno berucap percaya diri sambil tersenyum miring. Yang tentu saja mendapat sorakan dari yang lain. Aku mencoba mengingat baik-baik nama teman-teman satu kelompokku.
Hari itu, tidak ada yang aneh sedikitpun denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ice Cream Senja
Teen Fiction"Terjebak dalam cinta lama memang menyebalkan. Tapi terjebak dalam persahabatan itu lebih mengerikan bagiku." - Rian Ya. Rian benar. terjebak dalam pertemanan amat sangat menyebalkan. Karena berteman dengannya sangat menyebalkan. Maka biarlah kita t...