Kak Juna Kembali

6 2 0
                                    

Hubunganku dengan Rian kian dingin. Dia lebih sering menghabiskan waktunya dengan Tim PD dan menjalan tugas. Berkeliling sekolah sampai ke sudut terdalam. Menangkap berandal-berandal kecil yang tak pernah terduga akan tertangkap. Para pelaku pelanggaran itu kian membencinya. Tapi Rian tak pernah peduli. Dia seolah menutup mata dan telinga pada kebencian itu.

Dia juga kian dekat dengan Melati. Aku sempat mendengar selentingan kabar kalau mereka sudah resmi berpacaran. Tapi Puti atau Seno tidak pernah memberi tahuku kebenarannya. Jadi mungkin itu hanya rumor. Setidaknya ku harap begitu.

Aku sendiri menyibukkan diri dengan melatih anggota baru di PMR. Berusaha bersikap normal seolah tak ada yang terjadi. Bahkan saat Melati menatapku dengan pandangan meremehkan. Aku tak banyak peduli padanya. Bukan dia yang jadi perhatianku.

"Kak, ada beberapa obat yang sudah mau habis. Nanti beli ya?" Aku mengangguk. Memeriksa catatan obat yang baru dibuat Rivan. Dia menulis obat yang sudah habis atau kadaluarsa.

"Oke. Nanti ke apotek." Aku mencari orang yang bisa menemaniku. Paling tidak aku tidak pergi sendirian.

"Sama aku aja, Kak. Aku bawa mobil..."

Aku agak terkejut. "Memangnya kamu punya SIM?"

Rivan mengangguk bangga. Dia mengeluarkan dompet dan menunjukan SIM B nya padaku. Aku menyorak kagum. Kupikir buat SIM harus sudah berusia tujuh belas? Tapi mengingat papanya Rivan yang adalah komisaris polisi, aku tidak heran juga.

Akhirnya aku mengangguk saja. Rivan bisa membawa obatnya nanti. Dan kita tidak akan kepanasan kalau pakai mobil. Setidaknya begitu yang kupikirkan. Tapi saat kami akan pergi, Rian tiba-tiba meminta tolong Rivan untuk membantunya membereskan ruang peralatan yang harus dibersihkan hari itu juga. Ketua tim PMR mengomel sejak kemarin soal ruang peralatan yang berantakan itu.

"Mau kemana memangnya?" Kak Juna, yang sedang berkunjung ke sekolah saat itu bertanya saat melihatku keberatan dengan permintaan Rian.

"Mau ke apotek. Banyak persediaan obat udah mau habis..." Rivan yang menjawab.

"Sama aku aja. Biar Rivan bantu Rian dulu..."

Rivan mengangguk setuju setelah beberapa pertimbangan. Dia akhirnya membantu Rian di ruang peralatan sementara aku ditemani Kak Juna. Dia bilang pada Kak Mia dulu sebelum pergi.

Apotek yang kami tuju ada di pusat kota. Apoteknya besar dan sudah menjadi langganan kami. Kami biasanya memakai surat pengantar dari pembina juga untuk membelinya. Supaya diberikan obat yang baik katanya. Mendapatkan obat-obat itu tidak terlalu lama. Terutama karena kami datang sudah agak sore. Apotek sudah mulai sepi. Menjelang sore, kami sudah melaju pulang kembali ke sekolah.

"Kita mau kemana?" aku bertanya saat Kak Juna justru berbelok dari arah ke sekolah. Dia malah masuk ke sebuah kedai es krim yang terkenal. Aku ingat dulu kami sering datang ke sini.

"Es krim?"

Aku mengernyit. Agak aneh medengarnya bertanya begitu. Biasanya Rian yang bilang begitu. Aku mengangguk saja. Apalagi dia sendiri bilang kalau dia akan mentraktirku. Aku memesan satu cup es krim vanila berukuran besar. Mumpung dia yang bayar.

"Yakin bakal habis? Biasanya kamu pesan yang sedang."

Aku mengangguk penuh percaya diri. "Aku lagi stres menjelang ujian." Dia hanya tertawa. Kami tak banyak mengobrol. Aku sendiri hanya menatap sekeliling. Tak banyak berubah.

"Sudah lama, ya. Kayanya ga banyak yang berubah.."

Aku mengeleng. "Dulu ga ada gambar itu di dinding. Dindingnya polos..."

Kak Juna mengangguk. "Sekarang lukisan dinding lagi trend." Dia makan es krim. "Gimana kabarmu? Teman-temanmu?"

Untuk beberapa alasan, aku merasa Kak Juna memang sengaja menemaniku kali ini. Dia memang berniat bicara padaku. "Aku baik. Temanku juga baik."

Kak Juna diam sebentar. "Mi, aku kenal kamu bukan satu dua bulan. Meskipun kita sudah pisah hampir dua tahun, aku masih bisa memahami kamu loh..."

Aku diam. Es krimku rasanya semakin dingin. Aku malah makin lahap menghabiskannya. "Kakak sendiri gimana? Masih begitu saja dengan Kak Mia?"

Dia menghela nafas. Meletakkan sendok es krim begitu saja. "Sekarang kamu mulai memahami perasaanku pada Mia, ya? Kamu malah tanya aku sesantai itu? Yang kamu tanya itu mantan pacar sama gebetannya loh.."

Aku mengangkat bahu tak ambil peduli. "Cuma mantan, kan? Kakak juga tahu sekali perasaanku sama Kak Juna sudah benar-benar hilang."

Dia mencibir. Hening sebentar. "Dia masih memikirkan temanmu."

Gerakanku terhenti. Mau tak mau aku menatapnya. "Aku tidak tahu kenapa, tapi dia masih sering membicarakan temanmu. Sepertinya dia benar-benar meninggalkan sesuatu yang berharga untuk Mia."

"Apa?"

"Hatinya. Temanmu mencuri hatinya. Tapi tidak dikembalikan."

Aku terdiam. Menurutku tidak seperti itu. Kak Mia hanya terlalu egois untuk melirik ke sampingnya. Pada orang yang selalu ada untuknya. Jika Kak Mia melakukannya, dia pasti akan menyadarinya. Kak Juna sudah melakukan segalanya untuknya. Bahkan meninggalkanku untuk cinta yang tak kunjung datang darinya. Aku jadi seperti berkaca pada diri sendiri.

"Lalu? Apa yang akan Kakak lakukan?"

Kak Juna menggeleng. "Aku tidak bisa memaksa. Aku Cuma bisa menunggu. Terjebak dalam pertemanan itu menyebalkan ternyata."

Kalimat itu.

Aku mengusap pipiku yang tiba-tiba basah. Aku selemah itu ternyata. Hanya dengan satu kalimat, kau sudah menangis. Kak Juna menatapku. Dia menghapus air mataku dengan ibu jari.

"Kamu terlalu sering menahannya, Mi. Kamu terlalu pandai menutupi semuanya. Terlalu pandai. Sampai aku ga sadar sudah melukai kamu."

"Aku Cuma takut..."

"Apa yang kamu takuti?"

"Dia mungkin tidak suka."

"Kamu Cuma perlu berusaha. Kamu terlalu acuh, karena itu kamu tidak menyadarinya, Mi."

Kak Juna kembali menghapus air mataku yang turun tanpa kendali. Dia tersenyum tipis. "Kalau kamu tidak bisa mengatakannya, jangan dikatakan. Tapi tunjukan apa yang kamu rasakan padanya. Dia mungkin akan mengerti."

Aku menggeleng. Dia tidak akan mengerti. Tidak akan mau. "Dia tidak pernah menganggapku sebagai teman, bagaimana ku bisa menunjukkanny? Keberadaanku bahkan tidak terlihat."

Kak Juna tersentak mendengar ucapanku. Dia mengalihkan pandangannya. Meraih tanganku. Menepuknya seperti yang dilakukan Seno dulu. "Mungkin bukan itu yang dia maksud, Mi. Kamu hanya perlu menyadarinya. Cobalah lebih peka. Perhatikan sekitarmu dengan baik."

Saat itu, aku hanya mengangguk. Ya, aku harus lebih peka. Dan harus lebih memahami sekelilingku. Sikap acuhku sudah terlalu parah hingga tidak bisa memahami apa yang orang lain pikirkan saat berada disekitarku. Aku harus mulai mempelajarinya seperti ucapan Kak Juna.

Hari itu, Kak Juna memberikan satu pencerahan yang tidak aku dapat sebelumnya. Satu pencerahan dari seorang yang berpengalaman dalam mencinta. Kalimat Rian satu lagi benar. Terjebak dalam pertemanan itu menyebalkan. Benar-Benar sangat menyebalkan.

Ice Cream SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang